Cegah Paham Radikalisme, Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta Gelar Dialog Kolaboratif Bersama RRI dan Densus 88

Cegah Paham Radikalisme, Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta Gelar Dialog Kolaboratif Bersama RRI dan Densus 88

Teater H.A.R Partosentono, Berita UIN Online — UIN Jakarta melalui Fakultas Ushuluddin bekerja sama dengan RRI dan Densus 88 menggelar Dialog kolaboratif bertema “Kolaborasi untuk Damai: Media, Pemuda, dan Upaya Deradikalisasi” di Teater H.A.R Partosentono, Rabu (18/6/2025). Kegiatan ini bertujuan memberikan wawasan kepada mahasiswa dan masyarakat tentang pencegahan radikalisme melalui sinergi media, akademisi, dan aparat keamanan.

Acara yang dipandu Fahmi Andryan ini dihadiri oleh mahasiswa dan jajaran akademisi UIN Jakarta, termasuk Dekan Fakultas Ushuluddin Prof. Drs. Ismatu Ropi, M.A., Ph.D., serta menghadirkan empat narasumber yaitu Kepala Pusat Pemberitaan LLP RRI Besty Charmin Simatupang, Dosen Fakultas Ushuluddin Dr. Hj. Yuminah Rahmatullah, M.A., aktivis deradikalisasi Ustaz Sofyan Sauri, dan Kanit 1 Kontra Ideologi Densus 88 Polri Kompol Agus Isnaini, M.Si.

Dekan Fakultas Ushuluddin, Prof. Drs. Ismatu Ropi, M.A., Ph.D., memberikan apresiasi atas kolaborasi dalam upaya pencegahan radikalisme. “Kolaborasi ini menjadi upaya untuk menumbuhkan kesadaran generasi muda akan pentingnya berpikir kritis dan memahami agama secara benar sebagai bentuk pencegahan terhadap radikalisme,” ujarnya. 

Selanjutnya, Besty Charmin Simatupang menggarisbawahi bahwa media memiliki tanggung jawab besar dalam mencegah penyebaran paham radikal di kalangan pemuda. Ia menilai pemuda memegang kunci kemajuan bangsa, sehingga ketika integritas mereka rapuh dan mudah disusupi kelompok tertentu, maka keberlangsungan negara pun terancam.

"Peran media sangat penting khususnya para pemuda dan mahasiswa karena di tangan pemuda kemajuan bangsa ini ditorehkan. RRI hadir diharapkan dapat memberikan pembelajaran yang positif dan kemudian bisa menangkal paham-paham yang tidak perlu diikuti," ujarnya.

RRI, lanjut Besty, berperan sebagai lembaga yang menaungi dan memberikan pencerahan kepada masyarakat, sekaligus memberikan sosialisasi dan masukan kepada kaum muda untuk mencegah dampak paham radikalisme melalui kekuatan iman, persatuan, dan pendidikan yang kokoh.

Pada kesempatan yang sama, Ustaz Sofyan Sauri, mantan anggota kelompok radikal, mengungkap bahwa proses radikalisasi bisa terjadi dengan cepat dan tanpa disadari. “Prosesnya dimulai dari intoleransi yaitu rasa benci terhadap yang berbeda lalu berkembang menjadi radikalisme, merasa paling benar dan menolak keberagaman. Jika dibiarkan, ini bisa berujung pada ekstremisme dan terorisme,” jelasnya.

Selain itu, ia menyoroti peran media sosial sebagai sarana penyebaran radikalisme yang masif dan tak terkontrol. “Seseorang bisa terpapar radikal hanya lewat handphone tanpa tatap muka. Oleh karena itu, orangtua perlu mengawasi dan membimbing anak dalam menggunakan media sosial serta memilih lingkungan pergaulan,” tambah Ustaz Sofyan.

Senada dengan itu, Dr. Hj. Yuminah Rahmatullah, M.A., menuturkan bahwa kelompok radikal kerap menjadikan pemuda sebagai sasaran utama karena karakteristik usia yang sedang mencari jati diri, cenderung idealis, dan memiliki rasa ingin tahu tinggi.

“Pemuda menjadi target karena sedang berada dalam fase pencarian arah hidup. Kelompok seperti Negara Islam Indonesia (NII) memanfaatkan celah ini dengan pendekatan melalui program Syariah, Tarbiyah, dan Maliyah,” jelas Yuminah.

Ia menekankan gerakan seperti NII kerap menyusup ke dalam komunitas keagamaan dengan narasi yang tampak moderat di awal, tetapi pada akhirnya menanamkan ideologi yang membenarkan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap berbeda.

Dalam data BNPT yang disampaikan Komisaris Polisi Agus Isnaini, M.Si., terdapat 11,7% masyarakat Indonesia telah terpapar paham radikal. Sementara 88,3% masih dalam kondisi baik. Minimnya kejadian teror saat ini terjadi karena sinergi berbagai pihak yang menerapkan dua pendekatan pencegahan utama, yakni penegakan hukum dan kampanye edukasi.

"Kalau melihat dari data statistik, ada 11,7% orang radikal di Indonesia. Dan ada 88,3% orang Indonesia yang sebenarnya baik, dan kita mempertahankan 88,3% orang Indonesia dengan kampanye yang dilakukan," jelasnya.

Dialog ini adalah upaya kolaboratif dalam mencegah penyebaran paham radikalisme di kalangan pemuda. Dengan sinergi antara pendidikan, media, tokoh agama, dan aparat keamanan, diharapkan generasi muda lebih kritis dan tahan terhadap narasi ekstrem di dunia nyata maupun ruang digital.

(Selengkapnya dapat disaksikan melalui Live YouTube: https://www.youtube.com/live/-2I2RzNkZxo?si=ZJi1voT3FlAwp4l4)

(Sabila Weliza/Fauziah M./Syarifah Nur K./Foto: Live Youtube)

Tag :