Yang Tak Berubah di Pendidikan

Yang Tak Berubah di Pendidikan

Kementerian Pendidikan Nasional memperoleh darah segar dengan diangkatnya Nadiem Makarim sebagai menteri, orang nomor satu yang memegang kendali perkembangan dan arah pendidikan nasional kita ke depan. Para pemikir dan praktisi pendidikan menunggu penuh harap akan munculnya inovasi dan perbaikan pendidikan nasional yang selama ini selalu dikeluhkan tertinggal dari negara lain.

Di tengah diskusi akan pentingnya peran teknologi ultramodern untuk mengakselerasi peningkatan dan perbaikan kualitas pendidikan di zaman yang penuh disrupsi, di sana terdapat nilai-nilai fundamental yang mesti dijaga agar tidak melemah, atau bahkan hilang, dalam proses pembelajaran siswa. Inilah beberapa nilai fundamental itu.

Sentuhan kasih sayang

Seorang guru tidak cukup hanya mentransfer formula ilmu pengetahuan kepada murid, melainkan mesti berbagi kasih sayang kepada mereka. Anak-anak yang tumbuh minus kasih sayang akan mengalami defisit kasih sayang sehingga sulit menyayangi orang lain.

Kita semua punya pengalaman, guru yang berhasil membesarkan anak didik dan dicintai murid-muridnya sampai tua adalah guru yang masuk kelas dengan hati dan senantiasa menebar kasih sayang. Dengan kelembutan hati akan terpatri hubungan emosi positif antara guru dan murid.

Kemerdekaan berekspresi

Ibarat sebuah biji yang di dalamnya tersimpan potensi untuk tumbuh jadi pohon besar, setiap anak didik mesti memperoleh suasana kebebasan berekspresi tanpa rasa takut salah untuk menyampaikan perasaan dan pikirannya agar tumbuh berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya.

Guru yang baik adalah yang mampu menginspirasi dan memotivasi anak didik untuk melakukan eksplorasi pemikiran dan eksperimentasi tindakan dalam koridor moral yang tak membahayakan dirinya dan mengganggu orang lain. Pengajaran yang dipenuhi formula perintah dan larangan akan mematikan kegairahan dan kebebasan berpikir dan membuat anak didik jadi kerdil.

Suasana gembira

Hasil kajian neurologi mengatakan bahwa belajar dalam suasana gembira itu hasilnya akan lebih efektif. Daya serap otak melebar ibarat curahan air akan banyak yang tertampung.

Kita semua mengalami bahwa saat belajar dalam suasana tertekan dan takut, informasi yang terserap sedikit. Oleh karena itu, sekarang semakin dipopulerkan konsep joyful learning tanpa menyepelekan makna disiplin dan tanggung jawab.

Dalam hal ini pendidikan di Finlandia menjadi contoh yang fenomenal, kebalikan dari suasana belajar di Tiongkok dan Russia yang militeristik. Suasana sekolah di Finlandia berbaur antara belajar dan bermain.

Pembentukan karakter

Yang tak kalah pentingnya dari apa yang saya kemukakan di atas adalah pendidikan karakter. Siapa pun orang tua pasti punya obsesi mengirimkan anaknya ke sekolah tidak semata memperoleh ilmu pengetahuan dan ijazah, melainkan juga agar anaknya mendapatkan pendidikan karakter.

Anak membiasakan diri dengan dan mencintai kejujuran, bekerja keras, menghormati orang tua dan guru, menghargai teman, menaati norma-norma sosial dan hukum. Pendeknya agar anak-anak itu jadi warga negara yang baik di mata orang tua dan masyarakat, bertanggung jawab terhadap dirinya.

Sesungguhnya pelajaran seni itu pun bagian dari pendidikan karakter untuk menghaluskan perasaan, pendidikan olah raga untuk membentuk pribadi yang sportif dan memiliki semangat juang, lalu matematika agar senantiasa berpikir konsisten, jujur.

Penanaman nilai spiritualitas

Dalam masyarakat Barat, spiritualitas tidak selalu dikaitkan dengan agama. Sedangkan di Indonesia spiritualitas cenderung dipahami sebagai substansi dari nilai-nilai agama, sebagaimana yang lazim dikaji dalam tasawuf atau mistisisme Islam.

Dalam konteks sosial, spiritualitas ini mendekatkan diri pada penghayatan nilai-nilai kemanusiaan dan keilahian, membebaskan diri dari pemujaan kepada dunia materi. Jadi, baik dalam tradisi Barat maupun Indonesia, keduanya memiliki kesamaan, yaitu perhatian pada nilai-nilai kehidupan yang melampaui dunia kebendaan, beyond material world.

Berpikir kritis, kreatif, dan inovatif

Mengingat dunia senantiasa berubah dan akhir-akhir ini sering terjadi disrupsi, maka dunia pendidikan adalah tempat untuk aktualisasi dan pembinaan potensi para anak didik untuk menapaki hari depan mereka yang penuh tantangan dan ketidakpastian.

Dengan kata lain, sekolah adalah tempat untuk membaca dan memprediksi masa depan bagi anak didik, suatu dunia yang orang tua maupun guru tidak akan memasukinya. Untuk itu, sesungguhnya sekarang ini yang memiliki kebutuhan untuk selalu belajar tidak hanya anak didik, tetapi tak kalah pentingnya adalah para guru dan orangtua, mengingat anak-anak itu akan memasuki dunia yang orang tua dan guru tidak tahu dan tidak akan mengalaminya.

Di sekolah kami, Sekolah Madania, berlaku adagium: Guru yang berhenti belajar, maka dia juga harus berhenti mengajar. Konsekuensinya kami selalu menyelenggarakan training, mentoring, dan coaching untuk para guru.

Melatih dan membiasakan guru-murid berpikir kritis, kreatif, dan inovatif mestinya menjadi agenda dan komitmen harian yang diharapkan menjadi kebiasaan (habit) dan budaya sekolah (school culture). Selama ini muncul kesan, agenda utama sekolah itu hanya berlangsung di dalam ruang kelas, lalu ukuran akhir dari keberhasilannya dicerminkan dalam rapor berupa angka.

Para guru pun dibebani tugas-tugas administratif yang begitu padat, sehingga tidak sempat membaca buku serta mengikuti pelatihan untuk memperkaya wawasan ilmunya. Mereka juga langka berkomunikasi secara personal dengan murid-muridnya.

Kecerdasan sosial

Memasuki kehidupan sosial yang semakin plural dan saling terhubung (being connected) terutama melalui media sosial, ditengarai telah menghambat anak-anak dalam mengembangkan kecerdasan sosialnya. Anak-anak lebih intim menghabiskan waktu dengan gawainya ketimbang terlibat dalam aktivitas sosial.

Terlebih bagi masyarakat Indonesia yang saat ini tengah tumbuh generasi hibrida hasil perkawinan silang antaretnisitas, anak-anak mesti dilatih untuk terampil berkomunikasi menjalin pergaulan sosial guna memperkokoh identitas keindonesiaan.

Yang namanya bangsa Indonesia itu masih dalam proses menjadi (becoming). Ikatan dan identitas etnis semakin kendor, namun bangunan dan identitas bangsa Indonesia sebagai rumah bersama belum berdiri kokoh.

Jadi, pendidikan kecerdasan sosial tidak sebatas keterampilan berkomunikasi dan berempati dalam masyarakat yang semakin majemuk, lebih dari itu sebaiknya diberikan pemahaman dan pendampingan untuk mengenal kebinekaan masyarakat Indonesia agar anak-anak tidak tercerabut dari akar budayanya ketika memasuki pergaulan global.

Yang juga mesti diperhatikan adalah bagaimana membantu siswa menyiapkan diri memasuki masa depan yang sering disebut VUCA, yaitu penuh gejolak (volatile), serba tidak pasti (uncertain), kompleks (complex), dan remang-remang, tidak jelas (ambigu).

Demikianlah, kita berharap Menteri Nadiem Makarim bisa melakukan orkestrasi, memimpin dan memberdayakan modal budaya dan aset guru serta murid yang sangat kaya ini untuk mengejar ketertinggalan dunia pendidikan selama ini.

Prof Dr Komaruddin Hidayat MA, Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Kompas.id, 4 November 2019. (lrf/mf)