Wisata Membawa Nestapa

Wisata Membawa Nestapa

Wisata sudah menjadi ritual tahunan sekolah-sekolah Indonesia. Siswa kelas VI, IX, atau XII, bersama guru dan staf biasanya mengunjungi tempat-tempat wisata terkenal di daerah tertentu. Contoh, sekolah di Jawa pergi ke Bali, Jakarta, Jawa Barat, atau Banten. Demikian pula sebaliknya, sekolah di luar Jawa pergi ke Jawa, seperti Jogjakarta, Magelang, dan Malang.

Sekolah menggunakan bus untuk berwisata karena harganya terjangkau dan memudahkan mobilitas dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Apalagi saat ini harga tiket pesawat domestik sangat tinggi. Masalahnya, setiap tahun terjadi kecelakaan ringan, sedang, dan berat yang menimpa rombongan wisata sekolah.

Beberapa siswa dan guru kehilangan nyawa, luka berat, atau luka ringan. Hal ini harus menjadi perhatian bersama, yaitu sekolah, kepolisian, dinas pendidikan, dan pemilik travel. Jika manusia benar, hati-hati, dan teliti dalam bekerja, maka kecelakaan dan kematian bisa dicegah sedini mungkin.

Sehat Ganda

Panitia wisata dan travel harus memastikan mobil dan sopir dalam keadaan sehat. Mobil yang sehat dibutuhkan, apalagi untuk perjalanan jauh, jalanan menanjak dan turunan, serta beban berat.

Mobil yang sehat harus didukung sopir yang sehat pula. Sopir tidak sedang kelelahan, mengantuk, apalagi minum alcohol atau memakai narkoba. Travel bertanggung jawab menyediakan sopir dan mobil yang sehat. Kasus rem blong dan sopir mengantuk sering menjadi sebab kecelakaan.

Bisa jadi kualitas mobil yang disediakan travel sangat terkait dengan harga. Sebaiknya travel hanya menyediakan mobil-mobil yang sehat meskipun harganya lebih tinggi, daripada murah tetapi beresiko kecelakaan di perjalanan.

Kecuali itu, sebaiknya wisata bukan program wajib bagi setiap siswa, tetapi pilihan. Orangtua dan siswa tertentu terpaksa ikut wisata karena wajib membayar, padahal mungkin tidak mampu, tidak berani menolak, atau ada alasan lainnya. Apalagi misalnya siswa sudah pernah wisata lebih dari sekali pada kelas sebelumnya.

Wisata Edukatif

Sah-sah saja wisata dilakukan di tempat-tempat hiburan seperti air terjun, laut, danau, dan arena permainan. Wisata bertujuan melepas penat seseorang setelah sekian bulan bekerja agar kembali ke sekolah dengan pikiran segar.

Sebaiknya, wisata tidak sekedar menyegarkan pikiran atau berbelanja di tempat-tempat tertentu (shoping), tetapi harus menambah pengetahuan dan pengalaman tentang kebudayaan, sejarah, dan pendidikan.

Contoh, siswa dan guru bisa mengunjungi sekolah, pesantren, kampus, candi, keraton, museum, industri rumahan, masyarakat adat, atau tempat peribadatan. Siswa tidak hanya bermain dan berbelanja tetapi belajar. Porsi wisata bisa 60 persen, dan studi 40 persen.

Dengan demikian, kegiatan itu sesuai dengan namanya wisata studi (study tour) atau studi banding (comparative study). Siswa dan guru memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru dari kunjungannya ke lokasi tertentu, disamping penyegaran pikiran (refreshing).

Hal ini juga menunjukkan bahwa kegiatan ini bukan sekedar keinginan siswa dan guru, tetapi merupakan kebutuhan mereka untuk belajar sepanjang hayat (long life education) melalui praktik baik (best practice), misalnya.

Saatnya semua pihak, terutama travel dan guru berbenah diri. Kematian siswa dan guru setiap tahun dalam kegiatan wisata perlu dijadikan peringatan agar guru dan kepala sekolah merencanakan wisata sebaik mungkin.

Travel harus lebih mengutamakan keselamatan dan kenyamanan daripada meraup keuntungan besar. Mobil sakit tidak dipaksakan jalan. Polisi harus tegas dan serius dalam pemberian izin jalan bus-bus pariwisata. Kepedulian dan penghargaan semua pihak terhadap nyawa generasi penerus bangsa akan mencegah kematian dini yang sia-sia.

Dr Jejen Musfah MA, Ketua Prodi Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: PGRI, 15 Juni 2019. (lrf/mf)