Why academic culture, does it matter? Dilemma Penguatan Kultur Akademik Saat Ini

Why academic culture, does it matter? Dilemma Penguatan Kultur Akademik Saat Ini

[caption id="attachment_10937" align="aligncenter" width="150"]Kusmana Sekretaris LPM, Dosen Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Kusmana Sekretaris LPM,
Dosen Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta[/caption]

Oleh: Kusmana Sekretaris LPM dan Jejen Jaenuddin, Koordinator Akreditasi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pada suatu siang Professor Gerald Lambeau sedang menghadiri sebuah pesta sesama koleganya. Saat beramahtamah dengan mereka sambil menggemgam di tangannya segelas anggur putih yang masih diminumnya, tiba-tiba ketika sekelompok mahasiswa menghampirinya. Si Professor sempat menegur para mahasiswa itu yang menganggu weekendnya, tapi begitu para mahasiswa itu memberitahu bahwa masalah matematika tingkat tinggi yang ditulisnya di papan tulis berhasil dipecahkan seseorang, tanpa berpikir lagi Lambeau langsung meluncur ke kampus tempatnya mengajar (MIT) diiringi oleh para mahasiswanya itu. Ternyata yang dikatakan oleh para mahasiswanya benar adanya, masalah matematika tingkat tinggi itu telah dipecahkan seseorang. Cerita selanjutnya mengungkapkan bahwa seorang petugas kebersihan yang memiliki banyak masalah kejahatan memecahkan teka-teki matematis tingkat tinggi itu, Will Hunting. Itulah salah satu penggalan kisah dari film Good Will Hunting yang disutradarai Gus Van Sant dan ditulis oleh Ben Affleck dan Matt Damon.

Yang menarik dari penggalan kisah di atas adalah kilasan imajinatif tentang kultur akademik Massachusetts Institute of Technology di mana seorang guru besar yang sedang berpesta di hari Sabtu mendadak begitu antusias untuk segera pergi ke kampus manakala dia tahu bahwa seorang tak dikenal menyelesaikan teka-teki matematiknya. Kecintaan professor itu pada matematika mencerminkan sebuah dedikasi yang luar biasa. Kampus dalam film ini terlukis seperti sebuah milieu yang mengeklusifkan kepeduliannya pada ilmu pengetahuan, para pengajar dan guru besar adalah mereka yang mengabdikan seluruh jiwa dan raganya pada ilmu yang terkadang membuat mereka tak peduli dengan hal-hal lain dalam kehidupan mereka. Mereka adalah kumpulan orang yang begitu terpikat dan jatuh cinta pada pengetahuan. Gambaran penuh perasaan tentang kampus seperti itu tampaknya mulai bergeser. Perkembangan perguruan tinggi di dunia terus berevolusi menuju titik imajinasinya. Dalam prosenya saat ini terdapat sesuatu yang mengkhawatirkan karena menggeser outlook aspek-aspek dedikasi dan cinta. Tony Becher and Paul R. Trowler, misalnya, dalam karya mereka Academic Tribes and Territories (1996) memberikan gambaran bagaimana sebuah universitas di era informasi ini. Universitas di era pos-industri dilukiskan mereka memiliki karakter perubahan dahsyat yang penuh pergolakan, informasi yang overload, persaingan ketat, ketidakmenentuan, dan penurunan kualitas organisasi.

Dari penggalan kisah film di atas, dan dari gambaran tulisan Becher dan Trowler, ada transisi yang sedang terjadi, yaitu bahwa terjadinya gesekan antara tradisi keilmuan tinggi dengan driving force teknologi informasi yang sebagian pengaruhnya berdampak negatif atas kualitas kultur akademik yang ada. Menarik kalau dua gambaran di atas dipakai untuk membaca dan memetakan apa yang sedang terjadi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kampus yang kita cintai ini. Lebih spesifik lagi, bagaimana nilai-nilai kultur akademik yang tinggi seperti sikap dedikatif, dan totalitas terhadap pengembangan keilmuan, yang tercermin dalam profil Gerald Lambeau disinggung di atas, berhadapan dengan nilai-nilai baru yang lahir dari teknologi informasi seperti akselerasi, visibility, dan accessibility, di mana aspek-aspek substantif harus clash dengan aspek-aspek yang non- substantif.

Di UIN, seperti halnya di perguruan tinggi manapun, kultul akademik yang ada sedang bergerak merespon perkembangan yang terjadi. Terhadap clash antara nilai-nilai substantif dan non-substantif yang terjadi di level yang beragam mulai dari level pembelajaran, adaptasi dengan perkembangan teknologi informasi, tren produksi ilmu pengetahuan kontemporer, manajemen hasil produksi ilmu pengetahuan, dan aturan dan kebijakan negara atas perkembangan hal tersebut, UIN Jakarta, menurut penulis, sedang berusaha dalam kapasitas yang dimilikinya untuk tidak terjebak dalam clash yang tidak perlu. Tentunya tidak mudah bagi siapapun dalam menghadapi pergesekkan nilai antara kekuatan subtantif dan non-substantif. High tech tidak akan mampu menciptakan ilmu pengetahuan dalam waktu semalam. Tidak pula uang itu segala-galanya dalam menopang aktivitas penciptaan pengetahuan, walaupun biaya yang kecil dalam konteks penelitian di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sering menjadi kambing hitam tidak lahirnya ilmu-ilmu yang mumpuni. Tapi sekali lagi, dalam penciptaan ilmu-ilmu tingkat tinggi, uang bukan dirigen yang mengatur segalanya. Demikian juga sebaliknya, dalam takaran yang sesuai kebutuhan high tech dapat membantu penguatan kultur akademik yang diperlukan. Dengan kata lain, sejatinya high tech dan kultur akademik berjalin-kelindang merajut penguatan produksi, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan.

Yang menarik dalam tatanan perguruan tinggi hari ini adalah kenyataan bahwa nilai-nilai kinerja dosen dedikasi, ketelatenan, dan kerja keras mereka terganggu dengan hal-hal yang tidak substantif. Yang tidak substantif dapat ditemukan dalam ekses cara menerjemahkan dan terjemahan gerakan sistematisasi kinerja seperti laporan kegiatan harian (LKP) dan laporan penelitian yang njelimet, penyiapan dokumen akreditasi prodi atau penerjemahan aspek administratif dari loading kerja assessor internal dalam kegiatan Audit Mutu Internal (AMI) yang tidak kalah “membunuh” waktu hening para dosen. Kegiatan-kegiatan itu pada awalnya justru diharapkan dapat meningkatkan kinerja dosen supaya lebih terlibat dan bekerja secara lebih terorganisir dalam menjalankan tugasnya. Namun faktanya, dosen malah terjerembab ke dalam kubangan berbagai kegiatan administratif yang semakin menjauhkan mereka dari penciptaan pengetahuan yang mumpuni.

Kalau direnungkan, apa sebenarnya yang terjadi dari upaya penguatan kultur akademik yang ada di tengah pengaruh perkembangan teknologi informasi kini? Pertanyaan ini tentunya tidak mudah untuk dijawab, memerlukan pertimbangan komprehensif dan kajian mendalam untuk mengurainya. Salah satu unsur penting dalam memahami persoalan pelik saat ini adalah menerjemahkan kemudahan teknologi informasi dan kebijakan-kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi khususnya kebijakan pendidikan tinggi negara kita ke dalam bingkai aspek substantif produksi ilmu pengetahuan dimana praktek sosial keilmuan telah melahirkan ilmu pengetahuan yang menopang peradaban manusia sebesar sekarang, termasuk ikut serta telah melahirkan sains teknologi informasi yang mengakselerisasi cara kita melakukan sesuatu dengan cara yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Perlunya Pendekatan Kontekstual

Kerumitan dari upaya penguatan mutu kultur akademik di Indonesia modern khususnya di lingkungan PTKI sekarang adalah masih umumnya agensi penyelenggara pendidikan dengan kecenderungan pendekatan literalis atas pedoman, panduan, dan pagar-pagar evaluatif yang mengitarinya. Menguatnya pendekatan literalis tersebut terlihat dari kuatnya fenomena faktor eksternal yang mendorong praktek sosial peningkatan kultur akademik sebuah PTKI ke arah teknis administratif. Sementara secara internal, PTKI termasuk di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta masih menghadapi pekerjaan rumah yang tidak sedikit mulai dari ketimpangan kekuatan SDM (Sumber Daya Manusia) antara SDM dosen dan tenaga administratif, kultur kerja yang perlu ditingkatkan, kepemimpinan kolektif yang masih menyimpan area dan kesempatan untuk ditingkatkan, persoalan penafsiran atas kebijakan dan aturan pendidikan tinggi, sampai manajemen keuangan.

Gabungan antara faktor eksternal dan situasi obyektif PTKI itu sendiri melahirkan respon yang merefleksikan “kekhawatiran” untuk tidak menyebut “ketakutan” dalam segala upaya meningkatkan mutu kultur akademik. Misalnya, dalam hubungan manajemen keuangan dan upaya peningkatan penyelenggaraan pendidikan tinggi, akuntabilitas diterjemahkan ke dalam konsistensi perencanaan kegiatan dengan implementasinya dalam bentuk apa yang digunakan harus sesuai dengan apa yang direncanakan hampir di semua kategori pendetaialan bagian-bagian suatu kegiatan. Bagi kalangan praktisi dikenal istilah “kaca mata kuda,” untuk menyebut ketatnya penerjemahaman implementasi kegiatan. Padahal pada faktanya, realitas perencanaan dengan realitas implementasi kegiatan seringkali tidak ideal, baik dari sisi kapasitas agensi perencanaan maupun agensi pelaksanaan. Ketika dinaungi dengan pedoman atau aturan singkronisasi ketat dan kaku seperti itu, maka bisa dimengerti kalau output dari implementasi suatu kegiatan itu pun tidak ideal atau dengan kata lain lebih mengutamakan ketertiban administrasi dari pada kekuatan substansi. Memang idealnya, implementasi suatu kegiatan merefleksikan sehat administrasi sekaligus sehat substansi. Dalam faktanya praktisi penyelenggara pendidikan selalu dihadapkan situasi belum ideal. Penyelenggara pendidikan dituntut untuk kreatif dan memperjuangkan kualitas pendidikan tanpa harus melanggar peraturan yang ada.

Pertanyaannya adalah apa yang mesti dilakukan untuk bersikap kreatif dan menjunjung mutu pendidikan tanpa harus melanggar peraturan yang ada? Salah satu Jawabannya pendekatan kontekstual karena prinsip yang dianutnya adalah menjaga mutu substansi suatu pengembangan program atau implementasi kegiatan, tanpa harus terjerembab ke dalam pelanggaran peraturan yang ada. Dalam ketatnya kebijakan dan aturan keuangan dan akreditasi yang sangat administratif dan kaku, sebenarnya masih banyak ruang untuk kreatif tanpa harus melanggar aturan. Misalnya dalam penelitian, kebijakan multi years untuk implementasi kegiatan dapat diambil. Dengan waktu yang lebih panjang lagi, si peneliti mempunyai waktu yang memadai untuk melakukan riset secara lebih baik. Patut untuk disyukuri lahirnya kebijakan pemerintah tentang laporan penelitian yang lebih mengutamakan substansi. Ini adalah angin segar yang menambah ruang dan kesempatan untuk penguatan substansi implementasi kegiatan atau pengembangan program. Mudah-mudahan kebijakan ini dapat segera diimplementasikan di lingkungan PTKI.

Singkatnya, segala upaya yang mengiring akademisi untuk mengerjakan substansi pekerjaannya akan selalu menjadi aubade (nyanyian) yang merdu di telinga para dosen dan para praktisi akademik lainnya. Sebaliknya, akrobat secanggih apapun yang memalingkan mereka dari pekerjaan intinya tidak saja akan menjadi tontonan yang membosankan, tapi juga akan menjadi beban berat di pundak, dan memutuskan mereka dari keintiman penciptaan ilmu.