Warga Ciasmara Berharap Mahasiswa Kembali

Warga Ciasmara Berharap Mahasiswa Kembali

TANGIS haru menyelimuti sebagian warga Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, seusai Eka Juliana Ariatny, mahasiswi Jurusan Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum semester tujuh, membaca puisi berjudul Salam Perpisahan di Balai Desa Ciasmara, Minggu (14/8) sore. Pembacaan puisi itu merupakan penutup dari rangkaian acara perpisahan peserta kuliah kerja nyata (KKN) kelompok 11 yang digelar selama satu bulan (15 Juli-15 Agustus 2011) di desa tersebut.

Tak hanya warga, sebanyak 20 mahasiswa yang sedang KKN di lokasi itu pun ikut larut bersama mereka. Apalagi anak-anak dan remaja --yang selama KKN-- mendapat bimbingan pendidikan intensif dari peserta.

Peserta KKN di Desa Ciasmara merupakan satu dari 111 kelompok (2.082 peserta) yang digelar Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (LPM) UIN Jakarta tahun ini. Desa-desa yang dijadikan lokasi KKN selain di wilayah Jawa Barat, juga terdapat di Jawa Tengah, Banten, Sumatera, Yogyakarta, dan Bali.

Penutupan KKN di Desa Ciasmara berlangsung sederhana. Acara hanya diisi dengan hiburan marawis, pembagian hadiah berbagai perlombaan untuk kalangan anak-anak dan remaja, serta buka puasa bersama.

“Saya dan warga  di sini (Ciasmara) mengucapkan terimakasih atas kehadiran peserta KKN. Tapi kami berharap mahasiswa kembali datang karena warga masih membutuhkan bimbingan adik-adik,” kata Suhada, Sekretaris Desa Ciasmara yang mewakili kepala desa dalam sambutan perpisahan tersebut.

Desa Ciasmara terletak di lereng Gunung Salak Endah, sekitar 45 kilometer dari Kota Bogor. Desa tersebut berada di ketinggian sekitar 750 meter di atas permukaan laut dengan jumlah penduduk sebanyak 7.534 jiwa atau 1.757 kepala keluarga (KK). Desa ini memiliki luas wilayah sekitar 600 hektare yang terbagi ke dalam 29 rukun tetangga (RT) dan 11 rukun warga (RW).

Desa yang sebelah timurnya berbatasan langsung dengan Desa Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, ini memiliki legenda yang cukup unik. Sesuai dengan namanya, Ciasmara terdiri atas dua kata, yaitu Ci yang artinya air dan Asmara yang berarti cinta atau kasih sayang. Jadi Ciasmara artinya air yang membawa kedamaian dan penuh cinta antarsesama.

Menurut cerita warga setempat, Desa Ciasmara yang dialiri sungai Cibeureum itu pernah menjadi lokasi pertemuan sepasang remaja yang akhirnya berjodoh dan menjadi pasangan suami-istri. Oleh karena itulah, lokasi tersebut hingga kini sering dikunjungi pasangan muda untuk memadu kasih.

Desa Ciasmara masih tergolong daerah tertinggal meskipun sudah dialiri listrik dan jalan beraspal. Sebagian besar warganya tergolong keluarga pra sejahtera, yaitu sekitar 50 persen dari jumlah penduduk, serta berpendidikan rata-rata tamatan SD dan SLTP.  Sementara Penduduk desa ini mayoritasnya bermatapencaharian sebagai petani dan seluruhnya beragama Islam.

“Jadi, kami memilih desa ini dengan beberapa pertimbangan dan alasan tadi,” ujar Wardatul Fajria, ketua kelompok KKN.

Selama masa KKN, menurut Wardatul, banyak kegiatan digelar baik yang bersifat keagamaan maupun sosial-ekonomi, termasuk bidang sains. Misalnya seminar  dan penyuluhan bahaya narkoba, seminar kewirausahaan, khitanan massal dan penyuluhan kesehatan gratis, belajar mengajar, bakti sosial, serta pesantren kilat. Bahkan untuk menguji kemampuan prestasi anak, peserta KKN di antaranya mengadakan perlombaan hafalan al-Qur’an dan cerdas cermat.

“Dari seluruh kegiatan tersebut, khitanan massal dan bakti sosial mendapat apresiasi tertinggi dari warga,” jelas mahasiswi Jurusan Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum itu.

Lilis Suryani Nugraha, salah satu warga yang juga staf Desa Ciasmara, mengungkapkan, mahasiswa KKN dipandang telah berhasil membuat gebrakan baru. Salah satunya berupa khitanan massal dan bakti sosial yang menyentuh sasaran masyarakat kurang mampu.

“Awalnya saya pesimis karena masyarakat kurang mampu tidak akan tersentuh. Tapi ternyata peserta KKN sangat inovatif sehingga kegiatan tersebut tepat sasaran dan sesuai kebutuhan,” ujarnya.

Karena itu, saat digelar acara perpisahan tak sedikit warga yang kemudian terharu dan bahkan merasa kehilangan, termasuk anak-anak sekolah  yang saat itu juga ikut hadir.

Robi misalnya, siswa kelas 6 Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah, ini seakan tak mampu menyembunyikan kesedihannya saat harus berpisah  dengan para peserta KKN. Ia mengaku bukan saja kehilangan tapi juga berat untuk melepas  kepergian mereka.

“Saya sangat sedih bila Kakak harus pulang ke Jakarta. Tapi nanti datang lagi ya, Kak,” ungkapnya dengan nada penuh haru. (apristia krisna dewi)