Filosofi Kota Religius

Filosofi Kota Religius

“Oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis Buku “Dimensi-Dimensi Kitab Kuning” dan Penulis Buku “Indonesia Berdoadan Wakil Ketua Umum MUI Kota Depok

Ketika merespons gagasan kota religius yang muncul di sejumlah daerah, dengan nomenklatur yang berbeda-beda, sudah waktunya masyarakat diajak berpikir secara dialektif, analitik, deduktif, reflektif, dan spekulatif agar masyarakat berpikir secara menyeluruh, mendalam, sistematis, dan rasional.

Secara ontologis, pengetahuan ihwal kota religius bersumber dari fenomena masyarakat bertuhan. Masyarakat bertuhan ini membuktikan bahwa Tuhan diakui keberadaan-Nya. Dalam masyarakat bertuhan, kaum atheis dan nativis tidak mendapat ruang.

Berdasar cara berpikir mendasar seperti ini, kota religius menjadi kenyataan sosio-antropologis yang eksistensial dan tak kuasa disangkal. Artinya untuk membangun sebuah kota, religiusitas agama-agama harus diakui dan bahkan dipayungi secara legal, paling rendah oleh peraturan daerah atau perda.

Untuk itu boleh saja pemuka agama-agama meminta pemerintah untuk mengajukan peraturan tersebut kepada lembaga legislatif untuk mengesahkannya. Peraturan ini penting untuk menjamin setiap sikap religius yang ditampilkan penganut agama-agama di muka publik.

Secara literal pemikirian ihwal kota (polis) religius bisa ditemui dalam pemikiran filosof Yunani tersohor seperti Plato, Sokrates, dan Aristoteles. Dalam buku Al-Madinah al-Fadhilah karya al-Farabi (wafat 950 M), tampak jelas ihwal prinsip-prinsip kota religius.

Berikutnya, secara epistemologis, diskursus tentang kota religius dapat diperoleh dengan beragam riset. Hal ini didasarkan karena memang Tuhan melengkapi manusia dengan panca indra, akal, dan intuisi. Ketiganya melekat pada manusia yang sehat.

Untuk memahami kota religius dalam kitab suci agama-agama, dapat dilakukan riset bayani atau eksplanasi. Laku akademis ini penting untuk mendukung pemerintah dalam mengambil langkah yuridis. Harapannya, agar masyarakat merasa tenteram pada saat mempraktikkannya.

Memahami kota religius secara epistemologis ini pada gilirannya akan mendaratkan masyarakat dari sekadar menjadi konsumen ilmu kepada produsen ilmu, karena masyarakat jadi terus belajar. Selanjutnya, masyarakat tidak lagi dapat diprovokasi dan dimobilisasi untuk menolak kebijakan populis pemerintah.

Selanjutnya, secara aksiologis, hakikat dan manfaat diimplementasikannya peraturan kota religius adalah untuk membuat kian harmoni kehidupan agama-agama. Di samping tentunya agar akselerasi praksis moderasi beragama tercapai. Sebab menyemai moderasi beragama akan tumbuh subur di kota religius.

Bagi al-Farabi praksis kota religius berimplikasi pada kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati pada sebuah kota baru terjadi jika masyarakatnya cerdas. Diskursus kota religius tak ubahnya melempar bola kebahagian agar masyakat memperebutkannya di tengah lapangan, pada kondisi seperti ini diperlukan peraturan.

Pilihannya adalah disahkannya peraturan daerah atau perda kota religius. Secara ontologis, sumber ilmu pengetahuan tentang kota religius bukanlah kitab suci suatu agama, tapi berdasar sumber yang didapat dari fenomena alam raya, fenomena sosial-masyarakat, akal pikiran, dan intuisi (mata batin) manusia berkelas.(sam/mf)