Wajah Buram Kampanye Program

Wajah Buram Kampanye Program

KAMPANYE pemilu presiden saat ini sedang berlangsung. Kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden sedang gencar memasarkan diri ke basis-basis pemilih guna meraup suara. Sayangnya, kampanye pilpres hingga saat ini belum banyak kemajuan, membosankan, dan belum banyak menyentuh substansi persoalan kebangsaan!

Kampanye masih berkutat di isu-isu kulit permukaan. Bahkan, di awal masa kampanye ini, media sosial dan media massa justru dibanjiri hoaks, propaganda, dan serangan bersifat personal lainnya, seperti kasus Ratna Sarumpaet. Pertarungan program masih berwajah buram, tersisihkan dari perbincangan sehingga jarang terjadi dialektika menyangkut apa perbedaan program kedua pasangan.

Pendekatan rasional

Rentang masa kampanye dari 23 September 2018 hingga 13 April 2019 seharusnya menjadi pertarungan program dan gagasan. Misalnya, pembangunan ekonomi berkelanjutan, penegakkan hukum, tata kelola pemerintahan, kebijakan luar negeri, dan lain-lain. Pesan kampanye masih berkutat di isu-isu sosiologis, seperti primordialisme dan sektarianisme. Selain itu, juga lebih banyak diisi isu-isu psikologis seperti partisanship.

Kampanye masih abai dengan pendekatan rasional, seperti gambaran program yang paling tepat mengatasi persoalan hari ini dan lima tahun ke depan seperti apa dan bagaimana. Ada tiga argumentasi mengapa kampanye program seharusnya menjadi wajah dominan dalam penyelenggaraan kampanye Pilpres 2019. Pertama, Pilpres 2019 merupakan pertandingan ulang (rematch) antara Jokowi dan Prabowo dari pertandingan sebelumnya di 2014. Artinya, polarisasi sudah terjadi di masyarakat sejak pemilu lalu. Ada pendukung bahkan loyalis Prabowo dan juga ada pendukung dan loyalis Jokowi.

Mereka membangun pola relasi politik untuk menggantikan maupun mempertahankan. Ini merupakan fenomena umum dalam rivalitas dan interaksi politik setiap kontestasi elektoral. Meminjam asumsi G Helmke dan S Levitsky dalam tulisannya Informal institutions and comparative politics: a research agenda (2004), yang menggarisbawahi adanya empat pola interaksi politik. Yakni, pola melengkapi (complementary), mengakomodasi (accommodating), menyaingi (competing), dan menggantikan (substitutive).

Pola menyaingi dan menggantikan pasti menjadi pilihan kubu oposisi. Sebagai pertandingan ulang, harusnya narasi kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno meneguhkan ragam pandangan mereka secara lebih tematik, komprehensif, dan membangun dialektika gagasan. Ragam narasi kampanye kubu Jokowi sebagai petahana sudah pasti mengunggulkan capaian-capaian kinerja yang sudah dilakukannya selama satu periode.

Situasi ini, menjadi tantangan bagi Prabowo-Sandi agar mampu mengemas gagasan dan program yang menarik khalayak.

Kontra narasi oposisi harusnya lebih difokuskan ke program dan gagasan alternatif. Bermain di wilayah argumentasi berbasis data dan fakta, bukan sekadar agresivitas verbal sloganistik tanpa ditunjang keajekkan nalar dan pembuktian. Masyarakat yang terpolarisasi di satu sisi bisa jadi tantangan, tetapi di sisi lain juga bisa menjadi peluang. Salah satu peluang tersebut ialah meningkatkan kesadaran politik warga pemilih melalui informasi politik terkait dengan program masing-masing sehingga ada kemauan dan kemampuan dari kandidat dan tim pemenangan untuk membuat kampanye lebih berkualitas.

Kedua, rentang waktu kampanye merujuk ke UU No 7/2017 tentang Pemilu dan Peraturan KPU (PKPU) No 23/ 2018 relatif berjalan panjang. Masa kampanye Pemilu 2019 berlangsung kurang lebih 7 bulanan dari 23 September 2018 hingga 13 April 2019. Belajar dari pemilu-pemilu sebelumnya, rentang masa kampanye yang panjang tak menjadi momentum perbaikan kualitas kampanye di Indonesia.

Di Pemilu 2014, masa kampanye khususnya untuk pemilu legislatif lebih panjang, yakni kurang lebih 15-16 bulan sejak penetapan peserta pemilu berdasarkan UU No 8/2012. Sementara itu, peserta Pemilu 2009 berkampanye 9 bulan, yakni sejak 5 Juli 2008 hingga 5 April 2009 merujuk ke UU No 10/2008.

Hanya saja, panjangnya waktu kampanye kerap tak berbanding lurus dengan kualitas program. Biasanya, bulan-bulan awal masa kampanye berlangsung sepi dari dialektika gagasan dan program. Baru satu bulan menjelang hari H pencoblosan, semua pihak sibuk berkampanye sehingga informasi kerap tumpah ruah tak karuan. Tradisi buruk seperti ini, sudah seharusnya diubah dengan pendekatan kampanye bertahap, berkelanjutan, dalam skema kampanye berbasis penguatan program.

Ketiga, kampanye program sesungguhnya relevan dengan konteks dinamika kekinian yang ditunjang dengan perkembangan teknologi komunikasi. Ragam kanal untuk menjangkau khalayak luas secara masif tidak lagi disediakan media massa, melainkan juga ada media sosial dan aplikasi perbincangan warga lainnya. Artinya, diseminasi gagasan dan program kini dimudahkan oleh bantuan teknologi. Tinggal komitmen para capres/cawapres dan tim suksesnya, untuk membangun infrastruktur dan ekosistem teknologi komunikasi, yang dapat memperluas resonansi program dan gagasan mereka. Tidak semata personalitas diri kandidat dan kampanye menyerang untuk tujuan delegitimasi pihak lawan!

Dari aspek target capaian, kampanye biasanya dimulai dengan upaya menguatkan fondasi dasar dan penguatan organ-organ pemenangan yang nantinya menentukan pergerakan di lapangan. Menaikkan popularitas (popularity), yakni tingkat keterkenalan kandidat di khalayak. Semakin dikenal publik, akan semakin memudahkan kandidat dan timnya bergerak memersuasi pemilih. Menaikkan tingkat penerimaan (acceptability), menyangkut bagaimana kandidat bisa diterima dan dianggap menjadi bagian dari pemilih.

Terakhir, meningkatkan keterpilihan (electability), terkait dengan probabilitas perolehan suara kandidat di basis-basis pemilih, terutama di zona-zona prioritas.

Indikator program

Di ranah akademik, salah satu model kampanye yang kerap dipakai sebagai acuan kampanye rasional ialah model Ostergaard. Dalam pandangan Leon Ostergaard, sebagaimana dikutip Hans-Dieter Klingemann, Public Information Campaigns and Opinion Research (2002), paling tidak ada tiga tahapan dalam kampanye berbasis program. Pertama, identifikasi masalah faktual yang dirasakan. Syarat kampanye, harus berorientasi pada isu/program (issues/program-oriented), bukan semata berorientasi pada citra (image-oriented).

Kampanye merupakan momentum tepat untuk menunjukkan bahwa kandidat memahami benar berbagai persoalan nyata, faktual, elementer, dan membutuhkan penanganan prioritas di masyarakat. Sudah tidak saatnya lagi kampanye hanya menawarkan solusi imajiner yang abstrak, tidak memiliki basis pemecahan masalah yang konkret.

Kedua, pengelolaan kampanye harus dimulai dengan perancangan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Riset perlu dilakukan untuk mengidentifikasi karakteristik khalayak sasaran agar dapat merumuskan pesan, aktor kampanye, saluran, hingga teknis pelaksanaaan kampanye yang sesuai. Pada tahap pengolahan ini, seluruh isi program kampanye diarahkan untuk membekali dan memengaruhi aspek pengetahuan, sikap, serta keterampilan khalayak sasaran.

Ketiga, tahap evaluasi untuk penanggulangan masalah (reduced problem). Dalam hal ini, evaluasi diarahkan pada efektivitas kampanye untuk menghilangkan atau mengurangi masalah sebagaimana telah diidentifikasi pada tahap prakampanye.

Ketiga aspek ini, dalam literatur ilmiah dipercaya menjadi prasyarat terjadinya perubahan perilaku (voting behavior). Kampanye tak cukup hanya bertumpu pada retorika sloganistik. Pemilih harus diajak turut serta untuk mengonsolidasikan demokrasi di Indonesia. Tak lagi cukup hanya mendengarkan slogan, tetapi juga butuh indikator-indikator yang bisa diraba sekaligus diadu pada level gagasan dan program. Kampanye harus diterjemahkan dari tema besar yang serba elitis ke indikator nyata (real world indicators).

Kampanye dengan demikian, bukanlah sebuah mekanisme janji palsu atau pembohongan publik, melainkan sebuah deklarasi komitmen untuk melakukan hal-hal terbaik yang bisa dilakukan. Sekaligus meyakinkan berbagai pihak bahwa para kandidat memiliki berbagai solusi jangka pendek, menengah, dan panjang sebagai formula mengurangi masalah yang ada di masyarakat. Saat pasangan capres dan cawapres mampu menunjukkan platform dan solusi berbagai persoalan negeri ini, bukan tidak mungkin akan muncul dukungan pemilih yang meluas.

Hal substansial yang seharusnya dijaga seluruh pasangan calon tentu saja ialah integritas saat berkampanye. Suasana kompetitif yang cenderung panas, sangat biasa menimbulkan gesekan, dan polarisasi tajam di tengah masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan tanggung jawab politik para pasangan calon untuk menjaga keutuhan prinsip moral dan etika dalam kampanye berintegritas.

Semua orang sudah pasti ingin menang dalam pertarungan, tetapi juga harus ada kedewasaan politik untuk turut menjaga kualitas proses. Paling tidak, ada tiga indikator utama kampanye berkualitas.

Pertama, ragam strategi yang dijalankan tidak merusak kohesi sosial sebagai sebuah bangsa. Dalam suasana kampanye, godaan untuk menggunakan segala cara, termasuk pembunuhan karakter, kampanye hitam, propaganda, dengan mengeksploitasi isu-isu berdaya ledak tinggi seperti SARA akan tinggi.

Membawa sentimen agama dengan memobilisasi massa lewat demonstrasi-demonstrasi besar harus disudahi. Jika ada ketersinggungan, misalnya, terhadap pelaku pembakaran bendera yang kerap diasosiasikan dengan kalimat tauhid, biarlah pelakunya diproses secara hukum. Janganlah isu SARA kembali mendominasi dan memanaskan pilpres, seperti pernah terjadi di Pilkada DKI.

Pilpres bukanlah konflik nonrealistis. Menurut perspektif teori konflik dari Sosiolog Lewis Coser sebagaimana dikutip Wallace & Wolf, Contemporary Sociological Theory: Continuing the Classical Tradition (1986), konflik nonrealistis ialah konflik yang didorong oleh keinginan tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis. Misalnya, konflik antaragama, antaretnis, dan antarkepercayaan. Konflik sejenis ini sulit menemukan solusinya, terutama untuk membangun ulang kohesi sosial yang sudah terkoyak.

Kedua, sumber pendanaan kampanye tidak menimbulkan persoalan, atau membebani paslon bersangkutan di masa mendatang. Misalnya, dana kampanye yang digelontorkan dari para 'investor' baik perorangan maupun korporasi yang punya kepentingan dengan sejumlah proyek, kebijakan publik yang akan dikeluarkan pemerintah. Jika capres maupun cawapres hutang budi luar biasa, kekuasaan biasanya hanyalah menjadi alat yang nyaman bagi para pemburu renten di masa mendatang. Kolusi demokrasi, sangat membahayakan kekayaan negara hanya akan menjadi bancakan segelintir orang.

Ketiga, kampanye yang mengambil cara pragmatis dengan membeli suara pemilih (vote buying). Fenomena nirintegritas ini sangat umum kita dapati saat masa kampanye. Politik uang dengan ragam penyamarannya, dianggap biasa dan seolah-olah sah dilakukan. Padahal, nyata-nyata merusak etos demokratik dan membuat pemilu presiden tak bisa melahirkan pemimpin berkulitas.

Kampanye harus mampu melahirkan harapan bahwa kita menuju ke arah yang tepat, bukan sebaliknya. Dengan munculnya harapan, warga akan tergerak secara sukarela ke bilik suara. Adu gagasan dan program ialah keniscayaan. Bukan eranya lagi para kandidat menjadikan hujatan, kebohongan, dan ujaran kebencian sebagai senjata andalan!

Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik di UIN Jakarta, Anggota Dewan Pakar Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI)

Artikel ini telah dimuat pada Kolom Pakar, harian Media Indonesia edisi, Senin 05 Nov 2018. (lrf)