Van Dam dan Demokrasi (1)

Van Dam dan Demokrasi (1)

Lengkapnya Nikolaus van Dam. Saya berjumpa kembali dengan Pak Nikolaus pekan lalu sejak ia kembali ke Tanah Airnya, Belanda, setelah menyelesaikan tugasnya sebagai duta besar di Indonesia pada Agustus 2010. Kali ini perjumpaan terjadi pada simposium tentang ‘Islam dan Demokrasi’ yang diselenggarakan Konsorsium Belanda untuk Organisasi-Organisasi Migran, Den Haag, 3 November 2011.

Selama bertugas sebagai Duta Besar Belanda untuk Indonesia sejak 2005, van Dam memiliki hubungan luas dan baik dengan berbagai figur, organisasi, dan lembaga Islam. Ini tidak lain karena pengetahuan dan pengalamannya yang dalam tentang Islam dan masyarakat Muslim. Lahir di Amsterdam 1 April 1945, van Dam meraih gelar PhD pada 1977 dari Universitas Amsterdam dengan disertasi tentang “The Role of Sectarianism, Regionalism, and Tribalism in the Struggle for Political Power in Syria”. Pertama kali diterbitkan sejak 1979 dengan revisi seperlunya, karya ini kini sudah empat kali naik cetak dan terakhir pada 2011.

Saya masih ingat ketika bertemu pada awal masa tugasnya, ia belum bisa bicara bahasa Indonesia. Tetapi dalam waktu tidak lama, ia mulai bisa bicara dan bahkan kemudian menulis dengan bahasa Indonesia. Kemampuan bahasa ini menjadi salah satu modal pokok keberhasilannya sebagai Duta Besar Belanda di Indonesia.

Dubes Nikolaus memberikan pelajaran, baik bagi para diplomat Indonesia khususnya; bahwa untuk sukses dalam misi dan tugas diplomatik tidak cukup dengan penguasaan bahasa Inggris belaka. Penguasaan bahasa lokal menjadi salah satu faktor kunci sukses. Dan, ketika kembali bertemu Pak Nikolaus di Den Haag—di mana saya juga menjadi pembicara lain—ia terus mengajak saya berbicara dalam bahasa Indonesia yang masih fasih.

Tampil sebagai pembicara kunci dalam simposium Den Haag tersebut, pandangan Nikolaus van Dam sangat menarik. Pandangan dan pendapatnya tentang Islam umumnya, atau khususnya Islam dan demokrasi tidak tipikal, seperti bisa disimak dari kalangan Eropa atau Barat lainnya.

Seperti dia akui, ia telah mengikuti perkembangan Dunia Islam dan Arab sudah hampir setengah abad; dan sepanjang waktu itu ia sebenarnya tidak terganggu dengan pertanyaan tentang apakah Islam sesuai dengan demokrasi atau tidak. Baginya masalah ini bukanlah sebuah isu, walaupun banyak kalangan Barat mempersoalkan dan menganggapnya sebagai hal sangat penting sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja.

Maka, dalam pandangan van Dam: “Jika orang-orang di Barat, misalnya, menganggap Islam dan demokrasi tidak sesuai, bukankah itu tugas mereka membuktikan demikianlah halnya. Bagaimana kalau, misalnya saya nyatakan, sepanjang abad ke-20 tiga kediktatoran paling merusak memancar dari dalam Eropa; yaitu Nazi Jerman di bawah Hitler, fasis Italia di bawah Mussolini, dan falangist Spanyol di bawah Jenderal Franco.

Dan jika saya tambahkan, ketiga negara ini memiliki penduduk mayoritas [mutlak] Kristen dan kaum mayoritas ini cukup religius pada masa ketiga kediktatoran merajalela di sana. Apakah ini berarti Kristianitas dan demokrasi sebenarnya tidak sejalan? Van Dam mengakui, jika ia membuat pernya taan terakhir ini, pastilah ia ditertawakan karena dianggap mengada-ada. Tetapi kini, sebagian besar negara Eropa adalah demokrasi dan mayoritas terbesar penduduknya tetap merupakan pemeluk Kristianitas. “Dan ini merupakan bukti dengan sendirinya; kita tidak perlu mempelajari kitab Bibel dan teks-teks Kristen lainnya untuk meyakinkan bahwa Kristianitas dan demokrasi berkesesuaian.”

Dalam konteks itu, inilah argumennya tentang Islam dan demokrasi: “Jika kita mengikuti logika yang sama, kita tidak perlu mengkaji Alquran dan teks-teks lainnya untuk meyakinkan kita bahwa Islam dan demokrasi dapat berjalan beriringan. Hal ini terlihat dari negara-negara mayoritas Muslim yang menerapkan demokrasi, seperti Indonesia (dengan 202 juta Muslim), Pakistan (174 juta), Bangladesh (145 juta), serta Turki dan Nigeria (masing-masing 78 juta). Atau demokrasi dengan penduduk Muslim cukup besar, seperti India (dengan 161 juta Muslim), sehingga menjadi negara ketiga terbesar di dunia yang memiliki jumlah penduduk Muslim setelah Indonesia dan Pakistan.”

Dengan logika ini, van Dam melanjutkan, terdapat berbagai negara Muslim dengan sistem politik demokratis, seperti juga terdapat berbagai negara Muslim dengan kediktatoran. Hal yang sama juga berlaku bagi negara-negara non-Muslim; sebagiannya demokratis, tetapi sebagian lagi kediktatoran. “Jadi, semua ini memberikan indikasi bahwa Islam dan demokrasi bisa berjalan seiring dengan baik, tetapi juga bisa sebaliknya. Dan, hal yang sama juga berlaku bagi negara-negara yang memiliki penduduk yang beragama lain, seperti Kristianitas. Karena itu, orang dapat mengambil sebuah kesimpulan pokok bahwa dalam praktiknya tidak ada hubungan spesifik [agama] di sini, apakah dengan demokrasi atau kediktatoran.”

Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tulisan dimuat pada Harian Republika, Kamis (10/11).