UU Perkawinan Perlu Diamandemen

UU Perkawinan Perlu Diamandemen

 

Kampus UIN Jakarta, UINJKT Online - Pakar hukum Islam dan dosen Fakultas Syariah dan Hukum Dr Jaenal Aripin menyatakan, Undang-undang (UU) No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinilai masih banyak kelemahan. Hal itu terlihat dengan adanya sejumlah pasal dalam UU tersebut yang dilanggar oleh berbagai pihak. Selain itu, UU itu juga tak menyebut secara tegas mengenai sanksi hukum bagi pelanggarnya. "UU tentang perkawinan di negara kita masih berbau Barat dan konvensional, sehingga harus diamandemen," ujarnya dalam perbincangan dengan UINJKT Online di Kampus UIN Jakarta, Selasa (11/11).

 

Menurut Jaenal, amandemen terhadap UU perkawinan, terutama pencantuman sanksi yang tegas, mendesak dilakukan agar tidak banyak kecenderungan orang melanggar, seperti kasus perkawinan antara Syekh Pujiono dengan Lutfiana Ulfah yang masih di bawah umur. Sebagaimana banyak diberitakan, perkawinan kedua sejoli yang berbeda usia itu dianggap telah melanggar UU perkawinan meski sah menurut agama. Pasalnya, usia Lutfiana Ulfah saat dinikahi Syekh Pujiono jauh di bawah usia yang dibolehkan menurut UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni minimal 16 tahun, sementara usia Lutfiana hanya 12 tahun. "Sebagai warga negara, Syekh Puji itu dianggap melanggar UU. Nah, agar tak menjadi preseden buruk ke depan, UU perkawinan sebaiknya diamandemen disertai dengan law enforcement-nya," kata penulis buku berjudul Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia itu.

 

Ia menambahkan, kecenderngan adanya pelanggaran terhadap UU perkawinan tak hanya terjadi dalam kasus menikah di bawah umur melainkan juga dalam kasus poligami. Dikatakan, poligami atau beristri lebih dari satu saat ini banyak dilakukan secara diam-diam. Sementara menurut UU perkawinan, poligami boleh dilakukan jika mendapat izin dari pengadilan agama. "Faktanya, banyak orang berpoligami yang tak mendapat dispensasi dari pengadilan agama. Ini juga jelas suatu pelanggaran," tandasnya.

 

Menurut Jaenal, UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan lahir berdasarkan proses legislasi antara pemerintah bersama DPR. Dalam penyusunan RUU tersebut, di antaranya banyak menerima masukan dari berbagai pihak, baik pemerintah, tokoh agama maupun kalangan aktivis perempuan. Meski sempat menuai banyak kontroversi, RUU itu pun akhirnya diundangkan hingga sekarang. Namun, dalam sejarahnya, tepatnya tahun 1997, UU perkawinan sempat digugat M Insa, warga Binatro, Jakarta Selatan. Ia mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena UU tersebut banyak memuat pasal yang diskriminatif, khususnya pasal-pasal soal poligami. Menurut M Insa, jelas Jaenal, poligami adalah hak setiap warga negara yang dijamin Pasal 28 (ayat 1) UUD 1945. "Hanya saja, pengajuan hak uji materiil atas UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu kemudian ditolak MK dengan alasan bahwa negara bukan hanya berwenang mengatur (bevoeg te regel), tetapi justru memiliki kewajiban untuk mengatur (verplicht te regel)," papar Jaenal.* (ns)