Urgensi Mengimpor Guru

Urgensi Mengimpor Guru

PERNYATAAN Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani yang ingin mendatangkan guru dari luar negeri (Jumat, 10/05/2019) menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Ada yang menafsirkan, ide itu sebagai ketidakpercayaan pemerintah terhadap kualitas guru-guru di dalam negeri.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy meluruskan bahwa impor guru bukan untuk menggantikan guru Indonesia, tetapi untuk melatih guru-guru Indonesia yang masih lemah kompetensinya misalnya dalam pembelajaran dan penilaian yang memuat high order thinking skills (HOTS).

Penilaian Programme for International Students Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) menunjukkan bahwa siswa-siswi kita masih sangat lemah dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi. Guru yang tidak kompeten dianggap sebagai faktor utama penyebabnya. Apakah impor guru merupakan solusi tepat atas persoalan lemahnya kualitas guru tersebut? Berikut penjelasannya.

Dua Kategori

Tidak semua guru Indonesia lemah kualitasnya. Banyak guru yang punya kompeten, bagus, dan berprestasi. Mereka bisa dijadikan teladan oleh guru-guru lainnya. Guru kompeten dan tidak kompeten ada pada dua kategori berikut: guru besertifikat dan guru tidak besertifikat.

Idealnya, guru besertifikat sudah harus kompeten, baik yang PNS maupun non-PNS. Namun, faktanya ternyata tidak sebab proses sertifikasi portofolio, Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), atau Pendidikan Profesi Guru (PPG) rupanya tidak bisa menjamin guru menjadi profesional.

Berdasarkan banyak riset, kompetensi dan kinerja guru besertifikat tidak memuaskan, bahkan kalah dari guru (honorer) yang tidak besertifikat sekalipun. Padahal, dari sisi penghasilan mereka sudah sejahtera—khususnya yang PNS. Atas kenyataan ini, beberapa kali muncul gagasan peninjauan ulang atas tunjangan profesi guru (TPG).

Guru profesional tidak bisa lahir hanya melalui program sertifikasi, tetapi melalui sistem perekrutan calon guru yang ketat, hingga menjaga kualitas Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), fasilitas, mutu dosen, dan proses pembelajaran termasuk di dalamnya.

Tidak Merata

Peningkatan kompetensi guru berkelanjutan (continuous improvement) telah dilakukan pemerintah melalui Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan(P4TK). Guru dalam jabatan mendapatkan pelatihan berkala di 12 P4TK berdasarkan mata pelajaran. Pelatihnya disebut widyaiswara.

Jika guru umum mendapat pelatihan di P4TK Kemendikbud, maka guru agama atau madrasah di Pusdiklat Keagamaan Kementerian Agama (Kemenag). Masalahnya, tidak semua guru mendapatkan kesempatan pelatihan. Ada yang sering, tapi banyak guru yang belum pernah sama sekali. Jangankan guru swasta, guru negeri saja banyak yang tidak merasakan pelatihan dari pemerintah.

Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Kelompok Kerja Guru (KKG) sebagai wadah peningkatan kompetensi guru tidak efektif. Peran organisasi profesi guru juga belum maksimal. Dengan demikian, perangkat pemerintah dan nonpemerintah terkait peningkatan kompetensi guru sudah memadai, tetapi belum efektif dan hasilnya belum maksimal. Banyak hambatan di antaranya dana dan komitmen guru.

Guru Impor

Seandainya terwujud, di manakah posisi guru impor dalam konteks peningkatan kompetensi guru itu? Di P4TK, Pusdiklat, MGMP, KKG, organisasi profesi guru, sekolah, atau di manakah? Sebagai perbandingan, dosen asing biasanya ditempatkan di kampus untuk mengajar mata kuliah yang relevan dengan keahliannya. Dia disebut dosen tamu (visiting professor).

Jika tidak didesain dengan baik, kehadiran guru impor hanya bermanfaat untuk sebagian kecil sekolah atau guru yang sesungguhnya sudah kompeten dan baik. Sehingga, yang baik makin baik, yang buruk makin buruk. Guru impor tidak menyelesaikan akar masalah di atas.

Kasus sekolah favorit, guru, kepala sekolah, pengawas, widyaiswara yang berprestasi, misalnya. Mereka dikirim ke luar negeri, sementara guru standar dan di bawah standar jarang—untuk tidak mengatakan tidak pernah—mendapatkan afirmasi. Misal, guru-guru di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) dan guru swasta.

Guru-guru kompeten terkumpul dalam sekolah favorit, sementara banyak sekolah kekurangan guru. Guru berprestasi tidak atau terbatas mengimbaskan ilmunya ke guru-guru di sekitarnya. Peran MGMP, KKG, dan organisasi profesi guru perlu ditingkatkan dengan bantuan pemerintah. Bantuan pemerintah ada, tetapi perlu evaluasi karena tidak maksimal.

Guru impor tidak buruk asal tepat sasaran dan secara bersamaan dilakukan pemberdayaan MGMP, KKG, dan organisasi profesi guru. Guru impor terbatas waktu dan jangkauannya, sementara tiga organisasi tersebut ada hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Istilah guru impor mungkin kurang tepat. Bisa digunakan istilah guru tamu (visiting teacher) sepadan dengan dosen tamu (visiting professor/ lecture). Guru tamu mengatasi masalah dalam jangka waktu pendek, sementara tiga organisasi guru di atas mengatasi dalam jangka waktu menengah dan panjang (asalkan dibantu pemerintah).

Kecuali itu, pelatihan harus merata ke semua guru, tanpa dikotomi negeri-swasta, Kemendikbud-Kemenag. Selama ini dikotomi tersebut kerap menimbulkan masalah di lapangan. Komunikasi dan koordinasi antara dua kementerian ini perlu ditingkatkan lagi. Dalam beberapa hal malah sering berseberangan.

Guru tamu bukan hal baru. Sudah banyak guru-guru asing dari Amerika, Australia, Inggris, Kanada, Mesir, Sudan, Turki, Maroko, yang mengajar di sekolah, madrasah, dan pesantren Indonesia. Hanya, mayoritas mereka volunteer atau dibiayai oleh negara asalnya.

Kali ini lain, kesannya Pemerintah Indonesia yang akan menanggung biayanya. Pertanyaannya, berapa kali lipat gaji guru impor dibanding guru Indonesia? Belum lagi fasilitas lainnya yang tidak murah. Sementara persoalan guru honorer yang bergaji sangat kecil belum selesai. Peluang Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) tidak diterima semua praktisi pendidikan.

Alih-alih segera mengangkat status dan menyejahterakan guru honorer, pemerintah malah hendak mengimpor guru. Kecuali itu, sesungguhnya kita tidak kekurangan guru yang kompeten, yang bisa melatih guru-guru lainnya agar sama kompeten. Tinggal masalahnya, bagaimana mengelola mereka agar bermanfaat bagi guru-guru lainnya. Pengelolaan guru dalam jabatan perlu terus dibenahi dan ditingkatkan.

Dr Jejen Musfah MA, Kepala Prodi Magistern Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: https://nasional.sindonews.com/read/1403643/18/urgensi-mengimpor-guru-1557683965?fbclid=IwAR2eQa0de8JFGS73CQcsZ02ZKhk3jqNI6L2C2r1KW70_nKM0oWDP0zkNmWA, Senin, 13 Mei 2019. (lrf/mf)