Upaya Islam Berkemajuan Merawat Bumi

Upaya Islam Berkemajuan Merawat Bumi

Fathun Karib

 

“JIKA hari kiamat akan tiba sesaat lagi dan engkau masih membawa tunas sebatang pohon untuk kamu tanam di semak belukar, teruskan niatmu dan tanamlah.” (Hadis)

Lebaran kali ini bertepatan dengan dua peristiwa penting terkait dengan bumi kita. Pertama, 22 April 2023, ialah Hari Bumi, diperingati sebagai upaya membangun kesadaran dan solidaritas global untuk berpartisipasi merawat bumi.

Kedua, cuaca ekstrem yang dilaporkan Badan Pusat Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melanda Indonesia dan berbagai kawasan di Asia belakangan ini. Selama Ramadan lalu, warga di berbagai kota di Indonesia dan berbagai wilayah di Asia berjuang menghadapi panas matahari yang tinggi.

Penduduk di berbagai kota seperti Jakarta dan daerah sekitarnya, juga berhadapan dengan buruknya kualitas udara akibat polusi udara yang berada di ambang batas. Ancaman perubahan ekstrem ini menjadi perhatian dalam arus mudik yang tengah berlangsung (Media Indonesia, 12/4/2023).

Dua peristiwa terkait dengan bumi ini merupakan momen yang sehari-hari dihadapi dalam aktivitas keseharian kita terhubung dengan perubahan iklim dan pemanasan global akibat aktvitias manusia.

 

Era Antroposen

Dampak yang ditimbulkan oleh berbagai aktivitas manusia terhadap bumi dan kondisi yang melingkupinya merupakan bagian dari era yang disinyalir para ilmuan sebagai antroposen, yakni sebuah penanda geologi manusia muncul sebagai kekuatan geologis yang memiliki daya, untuk membentuk dan memberikan dampak pada perubahan bumi.

Istilah antroposen ini pertama kali dipopulerkan pada 2000 oleh Paul J Crutzen, ahli kimia atmosfer dan peraih nobel, dan Eugene F Stoermer, ahli biologi. Mereka mengidentifikasi beberapa indikator dampak yang ditimbulkan manusia terhadap bumi seperti bertambahnya populasi manusia, produksi bahan bakar fosil memicu pemanasan global dan efek rumah kaca, terancamnya keanekaragaman hayati, punahnya spesies-spesies akibat deforestasi hutan, juga berkurangnya air bersih didunia, dan kerusakan wilayah pesisir dan kelautan. Indikator-indikator ini bersama penemuan mesin uap dan revolusi industri menjadi penanda pergeseran hubungan manusia dengan bumi secara signifikan.

Dua dekade setelah pernyataan Crutzen dan Stoermer, antroposen menjadi istilah populer yang paling banyak dibicarakan. Majalah The Economist pada 2011 mengeluarkan tajuk utama berjudul Selamat Datang di Antroposen membicarakan kemungkinan kita telah memasuki periode geologis tersebut. Pada 2020, UNDP dalam laporan tahunannya memublikasikan The Next Frontier: Human Development and the Anthropocene. UNDP mengidentifikasi bahwa terdapat ketidakseimbangan planet bumi dan ketidakseimbangan sosial yang berlangsung saat ini.

Lantas, bagaimana dengan respons Muhammadiyah dalam upayanya solidaritas dalam hari bumi dan menghadapi berbagai gejala yang mengarah pada kerusakan bumi? Mengikuti jejak Rasulullah, walaupun bumi sedang mengalami kerusakan bertubi-tubi oleh aktivitas hawa nafsu manusia, beliau menanamkan optimisme dalam menghadapi suatu peristiwa kehancuran yang akan datang untuk tetap tenang dan berpartisipasi menanam tunas pohon.

Semangat Ramadan dan Idul Fitri juga seyogianya melatih kita untuk menahan hawa nafsu untuk mengeksploitasi bumi secara berlebihan. Dalam konteks ini, Muhammadiyah dan segenap warganya selayaknya turut ikut serta dalam partisipasi merawat bumi dengan berperan aktif memasuki era antroposen. Meskipun isu antroposen belum masuk perbincangan di Muktamar ke-48 lalu, beberapa keputusannya dapat dijadikan pijakan Muhammadiyah dalam merumuskan politik kebangsaan di abad ke-21 sebagai landasan merawat bumi dan memasuki era antroposen ini.

 

Politik Kebangsaan Abad ke-21

Pada awal abad ke-20 para pendiri bangsa Indonesia seperti Tjokroaminoto, Soekarno, dan Hatta menghadapi tantangan kapitalisme kolonial Belanda. Para pendiri bangsa menyadari bahwa kehadiran Belanda di Tanah Air merupakan upaya menguasai sumber daya alam dengan membangun berbagai perkebunan komoditas seperti gula, kopi, dan karet untuk kepentingan Belanda.

Abad ke-19 diwarnai berbagai macam kebijakan, seperti tanam paksa Van den Bosch mulai 1830 dan diakhiri munculnya era liberal dengan hadirnya UU Agrarische Wet 1870. UU Agraria ini membuka ruang masuknya investasi dan perusahaan asing tidak hanya dari Belanda, tetapi juga negara lain seperti Amerika, Inggris, dan Jepang. Dalam pleidoinya Indonesia menggugat di pengadilan kolonial, Soekarno memprotes kebijakan liberalisasi ini sebagai “politik pintu terbuka” yang mengambil sumber daya alam Indonesia untuk kepentingan di luar bangsa Indonesia.

Kenyataan ini ialah realitas yang dihadapi para pendiri bangsa di saat menjalankan politik kebangsaan di abad ke-20. Politik kebangsaan, dalam hal ini ialah menyangkut persoalan politik sumber daya alam yang berada dalam relasi sistem ekonomi dan politik global yang timpang. Di balik cita-cita utama politik kebangsaan, terdapat kesadaran akan pentingnya politik sumber daya alam dan hak atas penguasaan yang tecermin dari dasar hukum Indonesia, terutama pada UUD 1945 Pasal 33 mengenai penguasaan sumber daya alam.

Politik Kebangsaan di abad ke-21 mengalami pergeseran setelah merdeka. Memasuki era antroposen tantangannya bukan lagi kapitalisme kolonial, melainkan juga perubahan iklim dan bencana yang ditumbulkan dalam penghancuran bumi akibat perilaku manusia. Dalam hal ini, politik kebangsaan merespons gejala “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS 30:41-42).”

Muhammadiyah memainkan peranan penting untuk memformulasikan politik kebangsaan, dengan mempertimbangkan bahwa umat manusia dan bumi sebagai ciptaan Allah SWT yang dititipkan tata-kelolanya telah memasuki era antroposen. Di sini, agenda politik kebangsaan Muhammadiyah berlandaskan “Islam Berkemajuan dalam upaya merawat bumi dan mewujudkan Rahmat bagi Seluruh Alam”. Ada tiga landasan hasil Muktamar ke-48 Muhammadiyah 2022 yang dapat dijadikan rumusan politik kebangsaan untuk merawat bumi di era antroposen.

Pertama, di bidang penanggulangan bencana, “Muhammadiyah memandang bencana bukanlah bentuk ketidakadilan Allah kepada manusia, tetapi bencana adalah bentuk peringatan atas dasar kasih sayang Allah kepada seluruh Manusia,” (Muktamar 2022, 79).

Dalam menghadapi bencana, “Muhammadiyah secara aktif menyikapinya dengan berupaya melakukan mitigasi (pengurangan), mengelola risiko bencana, mengelola kerentanan, memberikan kepada korban hak untuk mendapatkan bantuan darurat, hak rehabilitasi dan rekonstruksi, hak melaksanakan sistem penanggulangan bencana dan hak Tangguh,” (Muktamar 2022, 79).

Kedua, di bidang pelestarian lingkungan, “Globalisasi peran Muhammadiyah ditunjukkan dalam menyikapi kasus-kasus kerusakan lingkungan yang bukan saja menjadi ancaman bagi suatu negara tertentu, tetapi juga bagi masyarakat dunia,” (Muktamar 2022, 84).

Hasil Muktamar mengidentifikasi “kerusakan lingkungan, seperti banjir, tanah longsor, pendangkalan sungai dan danau, kelangkaan air, polusi air dan udara, pemanasan global, penurunan keanekaragaman hayati, wabah penyakit hewan dan manusia, serta kelangkaan pangan mengalami peningkatan sebagai dampak dari ketidakseimbangan dan kerusakan lingkungan fisik maupun nonfisik di permukaan bumi,” (Muktamar 2022, 84).

Ketidakseimbangan dan kerusakan lingkungan ini “semua itu tidak hanya merupakan dampak dari siklus perubahan alam, tetapi juga akibat perbuatan rekayasa tangan manusia,” (Muktamar 2022, 84). Perilaku manusia menyebabkan perubahan iklim yang terjadi dalam skala global dipicu “perilaku yang boros terhadap energi dan semena-mena terhadap lingkungan telah menyebabkan peningkatan panas dan perubahan yang cepat di lapisan atmosfer, laut dan daratan,” (Muktamar 2022, 84).

Ketiga, selain dimensi bencana dan kerusakan lingkungan, isu mengenai keadilan dan HAM dalam Muktamar menjadi dimensi penting yang dilupakan Crutzen dan Stoermer. Di sini, kesadaran Islam berkemajuan terhadap dimensi bencana dan kerusakan lingkungan didukung kenyataan bahwa perubahan sosio-ekologis di era antroposen sering kali berdampak pada marginalisasi hak kemanusiaan dari warga mustad’afin di Indonesia.

Melalui ketiga landasan ini, Muhammadiyah memiliki pijakan kuat untuk berperan aktif dalam mengatasi persoalan-persoalan yang ditimbulkan manusia, sebagai kekuatan geologis terkait dengan bumi dan kehidupan berbagai spesies di dalamnya.

 

Politik Sumber Daya Alam

Politik kebangsaan di era antroposen ialah bentuk partisipasi dalam politik planet (planetary politics) menjaga bumi dari akumulasi kerusakan yang dilakukan sebagian manusia. Politik planet di sini ialah menjaga bumi dari kerusakan yang ditimbulkan aktivitas estraktif pertambangan, proses deforestasi oleh ekspansi perkebunan, pencemaran lingkungan oleh sampah industrialisasi, perusakan ekosistem pesisir dan kelautan, dan marginalisasi kaum mustad’afin yang terdampak dalam proses transformasi sosio-ekologis yang berlangsung.

Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah melalui tiga landasan politik kebangsaan membangun divisi Politik Sumber Daya Alam. Visinya adalah partisipasi aktif dan peran warga Muhammadiyah dalam dinamika kebangsaan merespons perubahan sosio-ekologis dan transformasi lingkungan skala planet bumi di era antroposen.

Dengan isu utama “Antroposen, Perubahan Iklim dan Politik Sumber Daya Alam” terdapat enam sektor yang menjadi wilayah partisipasi Muhammadiyah merawat bumi, yaitu pengelolan hutan dalam menghadapi deforestasi, mengurangi kegiatan ekstratif baik pertambangan maupun perkebunan yang memproduksi bahan bakar fosil dan pemanasan global, tata kelola limbah baik dari proses industri maupun proses konsumsi, mencegah kerusakan wilayah pesisir dan kelautan, menghindari ancaman keanekaragaman hayati baik di darat maupun di lautan, dan mendorong penegakan hukum terkait dengan isu kerusakan lingkungan dan perlindungan kaum mustad’afin dari ketidakadilan lingkungan dan sumber daya alam, termasuk perempuan dan kaum disabilitas.

Muhammadiyah, dengan kesadaran planet (planetary consciousness) akan nasib masa depan bumi dituangkan dalam rumusan politik abad ke-21, dan dipertajam dengan politik sumber daya alam berperan aktif di era antroposen. Melalui kesadaran ini, dapat berperan serta bersama lembaga nonpemerintah lainnya menyiapkan manusia-manusia yang memiliki kesadaran untuk merawat dan melestarikan bumi beserta isinya. Selain itu, politik kebangsaan dan politik sumber daya alam yang telah dirumuskan di atas dapat menjadi barometer dalam menguji calon pemimpin dan partai politik, yang akan mengajukan diri untuk menjadi pengurus negara di masa lima tahun mendatang.

Apakah para politikus dan para pembuat kebijakan di negeri ini sadar bahwa umat manusia telah memasuki era antroposen? Apakah mereka memiliki dan menawarkan visi politik kebangsaan dan politik sumber daya alam yang dapat membawa Indonesia dalam posisi berkontribusi merawat bumi dari kerusakan lingkungan dan perubahan iklim? Politik planet Indonesia seharusnya bukan hanya aktif “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”, melainkan juga ikut merawat dan menjaga keberlangsungan bumi, serta kehidupan berbagai spesies di dalamnya dari kerusakan akibat manusia. (zm)

Penulis adalah Anggota Divisi Politik Sumber Daya Alam, LHKP PP Muhammadiyah; Dosen Sosiologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Pasca-Doktoral, Pusat Kajian Kewilayahan, IPSH BRIN. Artikel dimuat di Media Indonesia, Rabu 26 April 2023, dan bisa diakses di https://mediaindonesia.com/opini/576638/upaya-islam-berkemajuan-merawat-bumi