#UINovatif: Sejarah Tak Hanya di Kelas, Kisah LKISSAH Menjadi Jantung Pemikiran Kritis Mahasiswa UIN Jakarta
Jakarta, Berita UIN Online – Di tengah kesibukan dan rutinitas kuliah yang padat, sekelompok mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memilih jalannya sendiri untuk berkembang. Bukan di ruang kelas, melainkan di lingkaran-lingkaran diskusi kecil yang hangat, penuh tanya, dan sarat dengan perbedaan pendapat yang justru melahirkan pemahaman baru.
Mereka adalah bagian dari Lingkar Kajian Ilmu Sosial dan Sejarah (LKISSAH), Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Jakarta, sebuah komunitas intelektual di bawah naungan Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam (SPI), Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta. Di sinilah, semangat membaca, berdiskusi, dan berpikir kritis terus dijaga agar sejarah tak berhenti sebagai hafalan, melainkan menjadi cara berpikir dan cara hidup.
Menurut mantan Wakil Direktur LKISSAH Muhammad Refi Syahputra, sejak awal berdirinya, LKISSAH dikenal sebagai komunitas yang aktif menghidupkan budaya diskusi di kampus, dengan fokus pada isu-isu sosial dan sejarah yang relevan dengan dinamika bangsa. Melalui berbagai kegiatan seperti bedah buku, diskusi tematik, hingga forum orasi ilmiah, LKISSAH berupaya membentuk ruang belajar alternatif bagi mahasiswa, ruang yang tidak hanya menumbuhkan pengetahuan, tetapi juga kesadaran kritis terhadap realitas sosial di sekitarnya.
“Nama LKISSAH sendiri mencerminkan karakternya yaitu sebagai forum diskusi mahasiswa yang melahirkan gagasan dan perdebatan kritis seputar isu sosial. Kegiatannya sering mengangkat tema nasional, sebagai contoh seperti September Hitam hingga Tragedi Kanjuruhan, kita juga membedah teori sejarah dengan konteks kekinian.” ujarnya.
Ia menambahkan, di luar isu nasional, LKISSAH juga aktif mengadakan kegiatan literasi seperti Satu Jam Membaca, dimana anggota LKISSAH diminta membaca dan membedah buku atau artikel terkait ilmu sosial dan sejarah. “Dengan kegiatan ini, mahasiswa dapat berlatih berpikir kritis, mempertajam kemampuan analisis sosial, serta membangun budaya argumentasi yang sehat,” imbuhnya.
Nilai-nilai kritis yang dibangun LKISSAH tidak hanya hidup dalam diskusi formal, tetapi juga dalam diri anggotanya. Banyak di antara mereka yang merasakan perubahan besar setelah aktif di komunitas ini. Salah satunya Tabriz Musfa Ramadhan, seorang anggota aktif LKISSAH yang merasa sebelum bergabung ia adalah tipe mahasiswa yang cenderung diam dan takut salah ketika berbicara. “Waktu awal kuliah, saya termasuk orang yang takut angkat suara. Mau nanya aja ragu, apalagi berdebat atau menyampaikan pendapat,” kenangnya.
Namun semua berubah ketika ia menemukan ruang terbuka di LKISSAH. Di sana, tabriz belajar bahwa berbicara bukan sekadar menyampaikan pendapat, melainkan bagian dari proses berpikir.
“Kalau kita gak setuju sama pandangan orang, kita bisa bantah dengan argumen yang logis. Dan itu diterima dengan terbuka. Di sini, gak ada sekat antara kakak kelas dan adik kelas, semua bebas berpendapat,” lanjutnya
Tabriz mengaku, selain membangun kepercayaan diri, LKISSAH juga memperluas cara pandangnya terhadap dunia. Melalui diskusi, mahasiswa diajak memahami isu sosial dan sejarah dengan konteks kekinian. Banyak di antara mereka yang kemudian lebih peka terhadap peristiwa sekitar, dari kebijakan publik, kasus kemanusiaan, hingga dinamika politik.
“Kalau gak ikut diskusi, kita mungkin gak tahu isu-isu yang lagi terjadi. Tapi karena di LKISSAH sering dibahas, kita jadi tahu, dan bahkan bisa menganalisisnya,” tambahnya.
Bagi Dhimas Sugian, Mahasiswa Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam (SPI), semester 7 sekaligus Direktur LKISSAH periode saat ini, semangat yang dialami anggotanya adalah bukti bahwa LKISSAH ini bukan sekadar tempat berkumpul, melainkan tempat hidup bagi gagasan. Ia melihat bahwa setiap diskusi, setiap perdebatan, bahkan setiap perbedaan pandangan adalah bagian dari perjalanan membentuk karakter mahasiswa yang berpikir kritis dan berani bersuara.
“Karena yang kita jaga selain dari kegiatan rutin adalah konsistensi berpikir dan keberanian untuk terus mencari kebenaran,” ujarnya.
Dhimas mengungkapkan, bahwa menjaga ritme kegiatan bukan hal mudah, tantangan seperti padatnya kegiatan lain sering kali muncul. Namun bagi mereka, kuncinya adalah istiqamah. “Alhamdulillah, sejauh ini LKISSAH tetap berjalan setiap hari Rabu. Mau ramai atau sepi, kita tetap berdiskusi, karena dari konsistensi itulah lahir ketekunan berpikir,” jelasnya.
Di akhir, Dhimas menyampaikan bahwa zaman yang serba cepat dan instan seperti saat ini, kemampuan berpikir mendalam menjadi semakin langka. Karena itu, LKISSAH berupaya hadir sebagai tempat berkembang, tempat mahasiswa dapat berpikir mendalam, mempertanyakan, dan menafsirkan ulang berbagai persoalan sosial di sekitarnya.
“Kita ingin terus berinovasi agar tetap relevan dengan zaman. Bukan hanya membicarakan sejarah, tapi menciptakan sejarah baru, lewat pikiran, tindakan, dan keberanian untuk berubah,” imbuhnya.
Dengan konsistensi dan semangat berpikir kritis, LKISSAH telah menjadi lebih dari sekadar komunitas akademik. Ia tumbuh sebagai ruang bagi mahasiswa untuk memahami sejarah sebagai cermin masa kini dan bekal menghadapi masa depan. Di tengah derasnya arus zaman, LKISSAH menjadi pengingat bahwa sejarah tak berhenti di kelas, ia terus hidup melalui kesadaran, keberanian, dan pikiran kritis generasi muda.
(Fathan Rangga I./ Fauziah M./ Zaenal M./ Nabila Azzahra S.)
