UIN Jakarta Segera Realisasikan Internasionalisasi Kurikulum

UIN Jakarta Segera Realisasikan Internasionalisasi Kurikulum

Perubahan IAIN menjadi UIN Jakarta memiliki arti dan makna yang sangat berarti bagi kemajuan UIN Jakarta. Perubahan tersebut tidak hanya terbatas pada nama institusi tapi juga orientasi yang dikembangkannya juga berubah. Salah satu orientasinya adalah dicapainya UIN Jakarta sebagai universitas berkelas internasional (world class university). Nah, untuk menjadi universitas berkelas internasional maka parlu ada penyesuian program-program UIN Jakarta dengan perkembangan yang berlaku di dunia internasional itu sendiri. Lalu, apa saja yang telah dilakukan dan akan dilakukan UIN Jakarta Jakarta untuk menuju world class university tersebut. Berikut petikan wawancara Humaidi AS dari UINJKT Online dengan Pembantu Rektor Bidang Akademik Dr Jamhari di ruang kerjanya beberapa waktu lalu.

Apa program unggulan yang ditawarkan UIN Jakarta di tahun 2008 ini?

Untuk tahun 2008 ini, program utama UIN Jakarta ada beberapa hal, di antaranya adalah internationalisasi UIN Jakarta. Kita ingin segera memiliki program konkret di mana UIN Jakarta menjadi universitas yang berkualitas internasional. Inilah yang kemudian kita sebut dengan internasionalisasi UIN Jakarta. Dari sudut adakemik, kita sudah memulai untuk memiliki program yang jelas dan konkret untuk merealisasikan program internasionalisasi UIN Jakarta ini. Ada beberapa hal yang segera akan dilaksanakan. Pertama, meningkatkan kerja sama internasional dengan universitas dan perguruan tinggi di luar negeri, walaupun sekarang sudah banyak kerja sama, tapi akan terus dilakukan dalam di bidang-bidang lain. Kedua, melakukan pertukaran (exchange) sebanyak mungkin baik dosen maupun mahasiswa. Ketiga, yang paling penting, yaitu internasionalisasi kurikulum.

Dengan perguruan tinggi di luar negeri mana saja UIN Jakarta sudah melakukan kerja sama?

Sudah banyak sekali, seperti dengan McGill University Kanada, Monash University Asutralia, Western University Sydney, Universitas al-Jazair dan lain-lain. Nah, sekarang ini kita ingin meningkatkan kerja sama yang lebih bagus lagi, yakni  dengan sejumlah universitas di Timur Tengah. Sekarang ini kita kurang banyak kerja sama. Insya Allah beberapa bulan ke depan akan ada pertemuan di Mesir, Iran, dan al-Jazair untuk merealisasikan kerja sama tersebut.

Benarkah UIN Jakarta juga akan melakukan kerja sama dengan Universitas Teheran Iran, khususnya dalam bidang nuklir, bagaimana kelanjutannya?

Ya, kami sudah melakukan kerja sama dengan institusi dan lembaga-lembaga internasional di sana (Teheran, Iran, Red). Nah, kita ingin kerja sama itu tidak terbatas pada ilmu agama, melainkan dengan bidang lain seperti kedokteran dan sains. Kita punya Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Fakultas Sains dan Teknologi, dan fakultas-fakultas umum lain. Oleh karena, kita tawarkan juga kerja sama dalam bidang nuklir dan semacamnya. Di Iran, sekarang ini banyak orang ahli di bidang (nuklir) tersebut, bahkan nuklir di sana sedang dikembangkan oleh para tenaga ahli dari Iran sendiri.

Apa tanggapan pihak Iran dengan tawaran tersebut?

Ya, mereka senang sekali. Karena selama ini yang terpikirkan oleh mereka hanyalah program-program ilmu agama. Dan sekarang disadari bahwa kerja sama tersebut tidak terbatas pada bidang ilmu agama saja.

Di antara program unggulan UIN Jakarta adalah adanya pertukaran (exchange), apa bentuk konkretnya?

Misalnya, sekarang ada tawaran untuk dosen belajar selama satu setengah bulan di New Zealand, di Hawaii dan di tempat-tempat lain. Bentuk pertukaran seperti ini akan terus kita tingkatkan untuk meningkatkan sumber daya kita.

Soal kurikulum, sejauh mana perkembangannya untuk bisa direalisasikan di UIN Jakarta?

Internasionalisasi kurikulum pada intinya adalah bagaimana kurikulum ini cocok, atau compatible dengan kurikulum yang berlaku di dunia internasional. Nah, harapan kita, mahasiswa UIN Jakarta kalau ingin melanjutkan studi di negeri mana pun tidak ada kendala lagi karena kurikulumnya sudah sesuai dengan apa yang kita lakukan di sini. Di samping itu, dosen UIN Jakarta yang ingin mengajar di luar negeri tidak menemukan kesulitan karena mengajar pada kurikulum yang sama seperti yang diajarkan di sini. Itulah yang kami maksud dengan internasionalisasi kurikulum. Jadi, kurikulum kita ini harus punya nuansa internasional. Kurikulum harus sesuai dengan perkembangan dunia internasional. Itu pertama. Kedua, kurikulum ini juga harus memasukkan unsur-unsur kajian internasional. Misalnya, ketika kita mengkaji fiqih atau syari’ah, maka kita juga harus melihat perkembangan kajian tersebut di dunia internasional. Bagaimana kajian di Malaysia, di Pakistan dan bagaimana juga di Mesir. Jadi, kita punya perbandingan dan wawasan yang luas. Ketiga, kita dorong untuk mengadakan workshop atau seminar internasional tentang pengembangan kurikulum tersebut dengan mengundang beberapa ahli.

Keempat, adanya review kurikulum. Selama ini berlum pernah ada review kurikulum, apakah kurikulum kita sesuai dengan apa yang kita ingin capai? Apakah dengan kurikulum yang semacam itu kita bisa menghasilkan lulusan yang baik? Kita ingin adanya review kurikulum yang dilakukan oleh ahli-ahli yang memiliki kapabilitas dan kualitas internasional. Kelima, internasionalisasi kurikulum berarti adanya insentif bagi dosen untuk mengajar dalam bahasa asing, seperti Inggris dan Arab. Kita dorong mereka yang menguasai bahasa asing untuk mengajarakannya di kelas-kelas. Jadi, kita dorong dan kita pacu agar dosen bisa merealisasikan program tersebut. Keenam, internasionalisasi kurikulum adalah terwujudnya internasionalisasi kultur di fakultas-fakultas, sehingga fakultas menjadi marak dan berkembang.

Apakah internasionalisasi tersebut meliputi seluruh bidang keilmuan?

Ya, seluruh bidang keilmuan, baik agama maupun umum.

Kapan targetnya internasionalisasi kurikulum ini dapat direalisasikan?

Tahun ini diharapkan persiapannya sudah selesai, sehingga tahun 2009 nanti kita bisa merealisasikan program internasionalisasi kurikulum tersebut secara menyeluruh.

Apa dampaknya bagi mahasiswa?

Saya kira ini merupakan langkah yang sangat baik, karena mahasiswa dituntut untuk bisa menguasai bahasa asing, dan jika sudah lulus nanti, mereka tidak kesulitan lagi dalam memperoleh pekerjaan. Sebab, sekarang ini memperoleh IP 3 saja tidak cukup, dibutuhkan skill lain  seperti kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang baik, tulis maupun lisan. Komunikasi yang baik tidak mungkin terwujud tanpa penguasaan bahasa yang baik pula.

Bagaimana dengan kinerja dosen itu sendiri? Ada anggapan bahwa beberapa dosen UIN Jakarta, khususnya yang bergelar doktor dan profesor, “tidak betah” di UIN Jakarta, atau istilah lain lebih suka nyambi di luar. Tanggapan Anda?

Menurut saya, bukan tidak betah. Tapi, kita harus bersyukur bahwa dosen bergelar doktor dan profesor kita dipakai di luar (UIN Jakarta). Bukan berarti mereka tidak betah, tapi masyarakat membutuhkan pemikiran dan dedikasi mereka di sana. Sebut saja misalnya Dr Saiful Mujani, walaupun ia sangat aktif di luar, ia tetap mengajar di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Apalagi sekarang ini lagi ramai-ramainya penelitian dan survei yang memang keahlianya, merupakan sesuatu yang wajar, dan kita harus bersyukur bahwa dosen kita dipakai di luar dan diterima masyarakat dengan baik.

Muncul anggapan bahwa sejak IAIN menjadi UIN Jakarta tradisi intelektual mahasiswa menurun. Anggapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa kelompok-kelompok diskusi maupun seminar-seminar sudah mulai menurun. Bagaimana pula  tanggapan Anda?

Dalam hal tersebut, kita harus melihatnya secara fair dan adil. Keberadaan kampus ini berada dalam perkembangan yang terus menerus. Saya kira, apa yang terjadi saat ini, tidak bisa diukur dengan masa lalu. Menurut saya, tidak betul juga jika keadaan sekarang ini tradisi intelektual mahasiswa dikatakan menurun. Kita bisa lihat, banyak mahasiswa yang berkumpul dengan laptop dan wearless untuk berdiskusi melalui kedua alat tersebut. Cara berdiskusi sekarang sangat berbeda dengan cara berdiskusi masa lalu. Sekarang, akses alat elektronik dan internet lebih mudah, sehingga memudahkan pula mahasiswa berdiskusi. Dan saya kira, diskusinya mahasiswa sekarang lebih luas dan lebih beragam dibandingkan dengan diskusi-diskusi yang dilakukan secara konvensional. Walaupun demikian, bentuk-bentuk diskusi konvensional juga harus tetap dijaga, karena itulah karakteristik dan kekuatan yang dimiliki UIN Jakarta. Dan cara itu pulalah yang telah membesarkan para alumninya. Lihat saja misalnya, orang-orang yang dikatakan sukses dalam bidang akademik saat ini, mereka dulu sangat aktif di kelompok-kelompok studi. Oleh karena itu, bentuk diskusi dengan cara konvensional jangan sampai hilang.

Di samping itu juga harus ditambah dengan aktivitas lain, misalnya kemampuan di bidang riset. Kita berharap, mahasiswa tidak hanya aktif di kelompok-kelompok studi tapi juga menghasilkan temuan-temuan baru dan riset-riset yang bagus, baik di bidang sains dan teknologi maupun di bidang-bidang ilmu-ilmu sosial. Hasil-hasil riset inilah yang membedakan antara satu mahasiswa dengan mahasiswa lain. Kedua aspek ini yang harus dicapai oleh mahasiswa, aktif di kelompok-kelompok studi, tapi sekaligus menghasilkan penemuan-penemuan yang bagus melalui riset.

Apakah ini yang dimaksudkan bahwa UIN Jakarta adalah universitas research?

Ya betul.

Lalu, apa program-program yang disiapkan untuk meningkatkan riset tersebut?

Saya kira, universistas riset tidak akan mungkin terlaksana tanpa adanya dukungan dari Sekolah Pascasarjana. Pada dasarnya, universitas riset itu adalah bertambhanya jumlah mahasiswa di Sekolah Pascasarjana. Karena mahasiswa Sekolah Pascasarjana lebih berorienasi kepada riset. Oleh karena itu, harus dibuka fakultas-fakultas yang menonjolkan riset. Jadi, materi perkuliahan harus dikurangi dan mata kuliah harus disesuaikan dengan bidang-bidang riset tersebut.

Apa sih sebenarnya yang dimaksud dengan riset? Kalau dalam bidang sains mungkin agak jelas, tapi bagaimana dengan bidang ilmu agama atau sosiologi?

Menurut saya, sama saja dengan bidang-bidang sains. Kalau bidang-bidang agama dan sosial ada tema-tema Islam dan demokrasi, Islam dan keadilan sosial, Islam dan korupsi. Itu semua meruakan tema-tema yang bisa dilakukan penelitian di lapangan. Riset di sini tidak terbatas pada buku-buku saja (library research) mengenai pemikiran, tapi juga riset-riset agama yang melibatkan masyarakat. Karena sudah saatnya kajian-kajian agama dibarengi dengan kajian-kajian sosial.

Tahun ini APBN untuk UIN Jakarta dikurangi, apakah ada dampak dan pengaruhnya terhadap peningkatan kualitas?

Ya, tentu ada karena ada budget yang dikurangi. Tapi saya tidak khawatir dan percaya, karena UIN Jakarta sudah menjadi Badan Layanan Umum atau BLU. Artinya, dengan BLU tersebut kita bisa mencari sumber dana tambahan dari luar, sehingga kita tidak terpaku pada dana-dana pemerintah.

Bagaimana kaitannya dengan publikasi, sejauh mana UIN Jakarta melakukan publikasi?

Nah, dalam konteks ini kita sangat lemah. Arti lemah di sini adalah bahwa kita banyak sekali memiliki tulisan-tulisan, baik mahasiswa maupun para dosen. Tapi tulisan-tulisan tersebut belum tersosialisasikan dengan baik. Saya kita, perlu ada dorongan yang luas sehingga mahasiswa dan dosen melakukan penerbitan yang besar sehingga dapat diketahui oleh dunia luar. Dan yang paling penting, arti lemah di sini adalah lagi-lagi dalam masalah bahasa. Saya punya program untuk tahun depan yaitu akan menerjemahkan karya-karya dosen yang bagus ke dalam bahasa asing, agar karya-karya tersebut bisa dibaca di luar negeri. Misalnya jurnal internasional Studia Islamika bisa sukses di luar negeri karena ditulis dengan bahasa asing. Sekarang, semua perguruan tinggi besar di luar negeri pasti berlangganan Studia Islamika. Jurnal Studia Islamika menjadi rujukan di mana-mana. Jadi, menurut saya, penerbitan-penerbitan yang lain harus meniru jurnal Studia Islamika agar program internasionalisasi UIN Jakarta bisa segera tercapai. (ns)