UIN Jakarta “Miliki” 3 Gubernur

UIN Jakarta “Miliki” 3 Gubernur

  [caption id="attachment_11957" align="alignleft" width="300"]Gedung kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di kampus 2 UIN Jakarta di Jalan Kertamukti, Cireundeu, Ciputat Timur, tampak dari depan. Di lahan ini, dulu merupakan “Wisma Kertamukti” yang menjadi Kantor Penghubung Pemerintah Provinsi Jawa Barat di Jakarta. Gedung kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di kampus 2 UIN Jakarta di Jalan Kertamukti, Cireundeu, Ciputat Timur, tampak dari depan. Di lahan ini, dulu merupakan “Wisma Kertamukti” yang menjadi Kantor Penghubung Pemerintah Provinsi Jawa Barat di Jakarta.[/caption]

KAMPUS UIN Jakarta memang unik. Secara geografis, ia berada di wilayah Provinsi Banten, tepatnya di Kota Tangerang Selatan. Sedangkan secara administratif, kampus tersebut numpang nama di Provinsi DKI Jakarta. Dulu, sewaktu belum ada pemekaran provinsi, kampus UIN Jakarta berada di wilayah Jawa Barat di Kabupaten Tangerang. Namun, sejak pemekaran menjadi dua provinsi tahun 2000, kampus itu kini berada di wilayah Banten.

Dengan kewilayahan itu pula, kampus UIN Jakarta hingga kini seolah “memiliki” tiga gubernur: DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Karena itu, tak salah jika dalam beberapa kesempatan, UIN Jakarta perlu mengundang gubernur dari ketiga provinsi tersebut untuk berkunjung dan bersilaturahmi ke kampus.

Berdasarkan catatan BERITA UIN Online, semasa Rektor UIN Jakarta dijabat Prof Dr Komaruddin Hidayat, dua gubernur sempat diundang dan datang. Dua gubernur itu adalah Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah (2007) dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (2013). Keduanya diundang untuk memberikan ceramah halal bi halal Idul Fitri. Lalu, semasa rektor dijabat Prof Dr Dede Rosyada hingga sekarang, dua gubernur yang sempat diundang adalah Gubernur Banten Rano Karno (April 2016) dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (2016). Gubernur Rano Karno diundang untuk memberikan pembekalan kepada para calon peserta kuliah kerja nyata (KKN), sedangkan Ahmad Heryawan diundang untuk memberikan ceramah halal bi halal Idul Fitri.

Mengundang Gubernur DKI Jakarta tampaknya beralasan. Sebab, ya itu tadi, nama Jakarta terlanjur melekat pada nama kampus UIN, yang dulu bernama Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) dan kemudian Institut Agama Islam Negeri (IAIN) itu. Artinya, kampus UIN telah menjadi milik Provinsi Jakarta sehingga baik secara moral maupun emosional, tetap berkontribusi pada kemajuan wilayah tersebut. Begitu pula saat mengundang gubenur Banten, kampus UIN Jakarta sangat berkepentingan karena secara geografis berada di wilayah provinsi penyangga Jakarta tersebut.

Bagaimana dengan mengundang gubernur Jawa Barat? Secara historis, kampus UIN Jakarta pun tak luput dari provinsi yang sebagian besar penduduknya bersuku Sunda itu. Sebab, dulu, saat sebelum dimekarkan menjadi Provinsi Banten, wilayah yang kini ditempati kampus UIN Jakarta adalah Provinsi Jawa Barat. Lagi pula, ikatan emosional antara UIN Jakarta dan Pemprov Jabar masih tetap melekat dengan adanya riwayat “Wisma Kertamukti” di kampus 2, tepatnya di Jalan Kertamukti atau yang dulu dikenal dengan "Jalan Pemda", di Cireundeu, Ciputat Timur.

Tanah yang di atasnya kini dibangun kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) tersebut, sebelum dihibahkan ke UIN Jakarta, adalah milik Pemprov Jabar. Meski kini berada di wilayah Provinsi Banten, “Wisma Kertamukti” adalah satu-satunya aset Pemprov Jabar yang tidak diserahkan kepada Pemprov Banten sejak pemekaran tahun 2000 lalu. Jadi, melalui kewilayahan (dulu) dan riwayat “Wisma Kertamukti” inilah, antara UIN Jakarta dan Pemprov Jabar seakan tidak dapat dilepaskan begitu saja, baik secara geografis maupun secara historis.

Ibarat manusia, ketiga provinsi itu bagi UIN Jakarta tak ubahnya sebagai ayah asuh. Karena itu wajar jika UIN Jakarta, dalam berbagai momentum penting, kerap mengundang gubernur dari provinsi masing-masing. Bahkan masih dalam catatan BERITA UIN Online, tak hanya gubernur yang diundang ke kampus melainkan juga para wakilnya. Di antaranya Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf (2008) dan Wakil Gubernur Banten Rano Karno (2014). (ns)