Ubah Strategi  Pengembangan Hutan

Ubah Strategi Pengembangan Hutan


Reporter: Hamzah Farihin 

Pascasarjana, UINJKT Online Pemerintah perlu merombak strategi dalam pengembangan Hutan Tanam Industri (HTI) yang selama ini tidak berpihak pada rakyat, maka yang perlu dilakukan pemerintah yaitu menyempurnakan HTI dan kelembagaan koperasi masyarakat agar mewujudkan keadilan dan kebersamaan dalam pengelolaan  hutan. 

Demikianlah pokok dari sidang promosi doktor, dengan promovendus Ir Muhandis Natadiwirya MM Msi (63) dengan judul desertasi “ Strategi Pengembangan Hutan Tanaman Industri dalam Perspektif Ekonomi Islam yang mengambil studi kasus di Kalimantan Timur” di Gedung Balai Sidang Pascasarjana, Kampus II UIN Jakarta, Sabtu (20/12). 

Menurutnya, pemerintah dalam strategi pengembangan HTI yang digunakan saat ini belum mantap, hal ini dapat dilihat dari pencanangan pemerintah pada tahun 1984  untuk membangun 6 juta hektar dalam jangka waktu 15 tahun tidak tercapai, bahkan pada tahun yang ke 21 yang terealisasi hanya 41 %. Faktor penyebabnya dikarenakan kelembagaan HTI yang lemah.  

”Selain pemerintah perlu mencanangkan HTI-nya dengan menyempurnakan kelembagaan, pemerintah juga harus menerapkan prinsip ihya al-mawat di lahan masyarakat dan hutan rusak untuk dijadikan Hutan Tanaman Industri Rakyat (HTIR), pemerintah juga perlu adanya kemitraan koperasi dengan perusahaan berdasarkan prinsip syirkah dan Triple-Co guna menghindari terjadinya Cultuurstelsel baru,” kata Muhandis  dihadapan penguji yang terdiri dari Prof Dr Abdul Hamid, Prof Dr Dudung Darusman, dan Dr Ir H Murasa Sarkaniputra. Sementara promotor Prof Dr H Fathurrahman Djamil dan Dr Ir Muslimin Nasution APU.

Hal yang secara fundamental harus diubah  adalah paradigma keliru masyarakat Indonesia yaitu menganggap bahwa pembangunan hutan tanaman hanya dapat dilakukan perusahaan besar dalam bentuk HTI. Akan tetapi kenyataannya kinerja perusahaan HTI masih belum mencerminkan semangat membangun HTI. 

”Akan tetapi jika pemerintah membangun starategi dalam bentuk kelembagaan yang mampu menggerakkan inisiatif menanam, baik insiatif itu datang dari perusahaan maupun dari rakyat. Maka target untuk mencapai dalam tahun 2014 sebesar 9 juta hektar tidak terlalu sulit untuk mencapainya,” ucapnya. 

Dalam hal ini lanjut dia, perlu diingat bahwa hutan dan kehutanan memang berciri lokal, sehingga tidak mungkin dilepas dari keterkaitan budaya masyarakat lokal, padahal masyarakat memiliki lahan-lahan yang tidak produktif disamping tanah ada, para transmigran yang bermukim disekitar HTI yang mempunyai kepemilikan lahannya bersertifikat. Padahal lahan tersebut berpotensi untuk dikembangkan jadi hutan milik yang sangat sejalan dengan ajaran Islam tentang Ihya al- mawat. 

Bahkan, menurut perspektif Islam, hutan mempunyai peran fungsional sebagai ekologis manusia. Di mana manusia diberi tugas untuk memakmurkan bumi atau mengelola lingkungan hidup atau Isti’mar dimana Isti’mar ini harus dilakukan dalam kerangka amanah dan tanggungjawab.   

”Hal ini juga tertuang dalam UU nomor 5 tahun 1957 dan UU nomor 41 tahun 1999 yang sama halnya dengan perspektif Islam bahwa hutan merupakan amanah yang harus disyukuri, dan harus dioptimalkan bagi generasi mendatang kemudian kebersamaan dimana hutan milik bersama,” ucap dosen Jurusan Agribisnis ini. 

Muhandis Natadiwirya berhasil mempertahankan disertasinya dengan nilai cumlaude (3,75) dan menjadi lulusan Pascasarjana UIN Jakarta yang ke 659. [Nif/Ed]