Uang Kuliah Tunggal

Uang Kuliah Tunggal

Ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tahun 2018 sudah berlalu. Sebagian anak menunggu hasil seleksi ujian mandiri PTN. September, mahasiswa baru akan memulai kuliah. Masalahnya, mereka yang lulus masuk PTN melalui jalur SNMPTN dan SBMPTN tidak otomatis bisa menikmati bangku kuliah karena biayanya tinggi. Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013 yang kemudian direvisi Permenristekdikti Nomor 22 Tahun 2015 menerapkan kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT). UKT adalah biaya BKT (Biaya Kuliah Tunggal) dikurangi Bantuan Operasional PTN (BOPTN). UKT adalah besaran biaya yang harus dibayarkan oleh mahasiswa pada setiap semester yang ditujukan untuk lebih membantu dan meringankan biaya pendidikan mahasiswa; UKT merupakan sebagian biaya kuliah tunggal yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. BKT merupakan keseluruhan biaya operasional per mahasiswa per semester pada program studi di PTN yang dibebankan kepada mahasiswa, masyarakat, dan Pemerintah. BOPTN merupakan bantuan biaya dari Pemerintah yang diberikan pada PTN untuk membiayai kekurangan biaya operasional sebagai akibat adanya batasan pada sumbangan pendidikan di PTN.

Pemerintah menggolongkan 8 (delapan) UKT, dimana mahasiswa membayar uang semester tergantung kemampuan ekonomi orangtua. Sebagai contoh di IPB pada tahun 2013, Prodi Gizi Masyarakat, kelompok 1 Rp 500 ribu, kelompok 2 Rp 1 juta, kelompok 3 Rp 2.4 juta, kelompok 4 Rp 3.8 juta, kelompok 5 Rp 5.2 juta, kelompok 6 Rp 6.6 juta, kelompok 7 Rp 8.1 juta, dan kelompok 8 Rp 9.6 juta. UKT kelompok I dan II paling sedikit masing-masing 5 (lima) persen dari jumlah mahasiswa yang diterima di setiap PTN.

Pada sistem UKT tidak ada uang pangkal dan lainnya yang dibebankan kepada mahasiswa. PTN menilai UKT berdasarkan dokumen kepemilikan listrik, pendapatan orangtua, rumah, motor, dan mobil. Di sinilah masalah muncul. Pengelompokan UKT mahasiswa tidak selalu sesuai dengan kemampuan orangtua mahasiswa. Artinya, analisis dokumen tidak cukup valid untuk menilai kondisi ekonomi orangtua; atau metode penilaian UKT tidak tepat.

Karena itu diberikan kesempatan sanggahan para orangtua kepada panitia/dekan. Permohonan ini bisa berhasil tetapi bisa juga tidak. Bisa jadi pengelompokan “tahap kedua”, UKT yang diterima mahasiswa masih memberatkan orangtua yang berujung si anak tidak bisa kuliah. Mungkin sebagian memaksakan kuliah tetapi kemudian berhenti di tengah jalan.

PTN untuk Siapa?

UKT di atas bagi mahasiswa yang lulus SNMPTN atau SBMPTN, sedangkan yang lulus melalui jalur ujian mandiri membayar uang kuliah sesuai ketentuan, dan relatif cukup besar. Mereka tidak memiliki peluang sanggahan meskipun faktanya keluarga miskin. Sistem PT Indonesia belum pro golongan miskin. PTN yang sebagian besar biayanya dari negara hanya dinikmati golongan menengah dan kaya. Mereka yang lulus ujian masuk PTN melalui jalur mana pun belum tentu membayar uang kuliah murah apalagi gratis. Belum lagi mereka yang kemampuan akademiknya sedang atau lemah, sehingga harus kuliah di PTS yang biayanya sangat mahal. Banyak lulusan SMA yang tidak bisa melanjutkan kuliah karena tidak mampu secara ekonomi.

Beragam ujian masuk PTN tidak “ramah” bagi anak miskin yang kompetensinya rendah. Robert E. Slavin dalam Education for All (1996: 1) menulis, “From early on, education has played role in sorting children into different categories—high, middle, and low ability group, gifted, special education, and so on”.

Anak dari golongan miskin sulit bersaing masuk PTN dengan anak dari golongan kaya karena kualitas sekolah mereka berbeda, dan mereka tidak mendapatkan bimbingan belajar di luar jam sekolah. Fasilitas belajar di sekolah dan di rumah mereka jauh berbeda. Asupan gizi mereka juga berbeda, sehingga berpengaruh terhadap kemampuan belajar dan kecerdasan.

Berdasarkan data Kemendikbud, jumlah putus sekolah tingkat SMA pada 2016/ 2017 adalah 36.419; 72.744 SMK; baru 30 persen pelajar di Indonesia yang bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi; Dari jumlah 4,8 juta mahasiswa Indonesia saat ini, bila dihitung terhadap populasi penduduk berusia 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru mencapai 18,4 persen. Dari jumlah 4,8 juta ini sekitar 6,5 persennya adalah mahasiswa kurang mampu yang terancam putus kuliah.

Pro Anak Miskin

Menyadari tingginya warga miskin dan pemerataan PT di Indonesia, pemerintah menyediakan beragam beasiswa, di antaranya Bidikmisi dan Peningkatan Potensi Akademik (PPA). Bidikmisi adalah bantuan biaya pendidikan, berbeda dari beasiswa yang berfokus pada memberikan penghargaan atau dukungan dana terhadap mereka yang berprestasi dan memiliki keterbatasan kemampuan ekonomi.

Kebijakan beasiswa ini belum sepenuhnya pro rakyat miskin karena hanya menyasar sebagian anak miskin yang pintar. Anak miskin yang kompetensinya kategori sedang tidak punya akses ke PTN dan PTS karena tidak gratis bahkan mahal. Apalagi komponen biaya kuliah tidak hanya biaya semester, tetapi juga mencakup buku, indekos, dan kebutuhan hidup. Oleh karena itu, ide berikut bisa dipertimbangkan.

Pertama, anak miskin yang lulus melalui jalur SNMPTN dan SBMPT digratiskan biaya kuliah karena UKT terendah pun memberatkan mereka. Sedangkan mereka yang lulus ujian mandiri sebaiknya diberi kesempatan memperoleh UKT terendah sesuai dengan kondisi ekonomi masing-masing, bahkan bila mungkin gratis. Mahasiswa miskin yang gagal memperoleh UKT terendah diberi kesempatan untuk mengikuti seleksi beasiswa PPA dan lainnya minimal pada semester II (dua). Hal ini akan memicu mahasiswa giat dan tekun belajar, sehingga memperoleh IPK yang bagus. Kedua, jumlah mahasiswa miskin di PTN seharusnya bisa sampai 50 persen karena mayoritas pembiayaannya dari pemerintah. PTN seharusnya lebih banyak dinikmati oleh mereka yang miskin daripada golongan menengah atau kaya. Tanpa kuliah di PTN yang notabene bermutu bagus, kelompok menengah atau kaya bisa memilih PTN atau PTS yang bermutu.

Alih-alih berorientasi pada rakyat miskin, mayoritas PTN saat ini berbiaya tinggi. Ada kesan PTN sama dengan PTS yang meraup uang besar dari masyarakat/mahasiswa. PTN seharusnya tidak fokus pada kuantitas mahasiswa agar memperoleh uang banyak—meskipun sah, tetapi mengusahakannya melalui jalur lain, seperti pengembangan koperasi, penyewaan fasilitas kampus, kerjasama, dan usaha-usaha lainnya.

Ketiga, otonomi pengelolaan dana kampus harus dikontrol jangan sampai membebani masyarakat terutama yang miskin, untuk mendapatkan pendidikan yang terjangkau dan berkualitas. Adanya UKT, Bidikmisi, dan PPA, serta beasiswa lainnya bukan berarti golongan miskin Indonesia sudah bisa mengakses PTN. Penyempurnaan program tersebut dan inovasi kebijakan perlu terus dilakukan demi terwujudnya pemerataan pendidikan bagi kaum duafa.

Masih banyak anak miskin yang tidak merasakan bangku kuliah meski beragam bantuan pendidikan atau beasiswa sudah digelontorkan pemerintah. Kadang anak keluarga mampu banyak yang memperoleh beasiswa, baik S1, S2, maupun S3. Bantuan biaya pendidikan sering tidak tepat sasaran.

Keluarga miskin yang pintar, sedang, dan rendah harus diberi akses ke PT agar kelak kualitas kehidupannya lebih baik. Pendidikan merupakan pintu menuju kesuksesan hidup alias pemutus rantai kemiskinan kultural dan struktural. Pekerjaan profesional bisa diraih melalui pendidikan tinggi yang akan berdampak pada kesejahteraan anak-anak dari keluarga miskin. Selanjutnya, anak yang berhasil ini akan mewariskan pendidikan yang baik bagi saudara atau keluarganya yang lain. Semoga. (mf)

Dr Jejen Musfah MA, Kepala Program Studi Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Jakarta, SINDO, 03 Juli 2018