”Type H Behavior”

”Type H Behavior”

ADA penelitian psikologi sosial terhadap masyarakat kapitalis di Barat yang mengindikasikan mereka terjangkit ”type H behavior” atau sebut saja virus 3H.

 

Ini sekaligus sebuah peringatan untuk kalangan eksekutif dan masyarakat kelas atas Indonesia, mengingat virus 3H dimaksud potensial menyergap kehidupan mereka.Ketiganya adalah hurried,hostile,humorless.

 

Pertama hurried,suatu sikap yang selalu tergesa-gesa,selalu merasa dikejar-kejar oleh waktu sehingga di manapun berada selalu tidak tenang. Jatah waktu 24 jam sehari atau tujuh hari seminggu rasanya tidak cukup untuk menjalani agenda hidup mereka. Coba saja amati atau renungkan kondisi kita sendiri, fisik dan pikiran jarang menyatu dalam ruang dan waktu yang sama.

 

Badan kita di sini, tetapi pikiran berada di tempat lain, baik karena sudah ada janji maupun ingin mengejar kegiatan lain. Kondisi mental semacam ini semakin luas menghinggapi masyarakat papan atas.

 

Hidupnya meloncat dari satu tempat ke tempat lain,minimal pikiran dan emosinya.Teknologi jam tangan yang semula diciptakan sebagai penanda waktu, kini posisinya berbalik malah mendikte dan merampas kebebasan manusia.

 

Kalender dan jam tangan bukan lagi sebagai hiasan,namun telah menjadi tonggak-tonggak yang mematok dan memagari langkah mereka.Mereka menjerat dirinya dengan kalender dan jam.Mereka juga tidak bisa hidup tanpa telepon genggam sehingga perhatian dan pikirannya bercabang dan beranting ke segala penjuru.

 

Coba amati perilaku di jalan raya.Semua ingin cepat,namun yang terjadi justru ramai-ramai membuat kemacetan dan kekesalan serta pemborosan.Kita terjebak dan terkena imbas dari hydro carbon society yang menjerat masyarakat kapitalis.

 

Coba tengok juga sajian acara televisi. Bagi pemilik stasiun televisi, jam siaran adalah uang, sehingga campur aduk silih berganti antara materi sajian pokok dan iklan lantaran tanpa iklan industri televisi akan mati. Pemasang iklan adalah tambang emas. Setiap menonton televisi, tangan mesti memegang remote control untuk memindah saluran yang satu ke yang lain.

 

Mata dan pikiran pun meloncat-loncat tidak karuan, mengikuti sajian yang berubah-ubah.Dari berita kriminal, gosip selebriti,penggusuran rumah,demo pemilihan kepala daerah, mimbar agama, lawak dan lain-lain yang menghasilkan campur sari suguhan televisi yang tidak selalu enak dan sedap ditonton.

 

Ketika bicara di telepon,kita juga selalu ingin cepat karena dikejar ongkos pulsa.Bertamu pun jangan lama-lama dan mesti tahu diri karena tuan dan nyonya rumahnya sibuk. Begitu pun ketika menghadap pejabat, harus ingat dengan jatah menit yang telah ditentukan oleh sekretarisnya karena dalam birokrasi justru sekretaris yang mengatur bos.

 

Bos adalah orang yang sibuk yang harus diatur, siapa pun yang berurusan dengan dia mesti hemat waktu. Lalu ada lagi yang ingin cepat kaya,maka korupsilah dia.Karena semuanya dilakukan tanpa suasana batin yang tenang, jarang muncul pemikiran yang jernih dan dalam.

 

Busy is the way of life.Hurried,hurried,hurried..... Virus mental kedua adalah hostile. Ini masih bersaudara dengan virus pertama. Siapa cepat siapa dapat. Maka berlombalah untuk berebut apa saja, sejak dari berebut jabatan lurah, camat, bupati, anggota legislatif, sampai presiden.Hostile adalah rasa persaingan dan permusuhan karena takut tidak kebagian.

 

Yang miskin membenci yang kaya karena dianggap rakus dan tidak dermawan, yang kaya tidak menghargai yang miskin karena dianggap sebagai gangguan dan ancaman yang akan merampok kekayaan mereka.

 

Maka dibuatlah pagar rumah tinggi-tinggi serta pos satpam serta anjing galak.Ke mana pun pergi, mesti ada pengawal pribadi. Untuk berjaga diri kalau sewaktuwaktu muncul sengketa bisnis, maka banyak orang kaya yang memiliki lawyer pribadi, bukan sekadar pengawal dan dokter pribadi.

 

Virus mental hostile juga telah menghinggapi para pejabat dan politisi.Mereka memandang pihak yang berbeda sebagai ancaman yang sewaktu-waktu akan merebut posisinya, terlebih menjelang pemilu.

Iklim curiga dan tidak senang pada orang lain mudah terlihat dalam ruang publik, terutama di jalan raya.

 

Masing-masing sangat sadar untuk mencari aman bagi dirinya seraya curiga pada yang lain. Jika terjadi serempetan kendaraan, bukannya berhenti lalu saling bertegur dengan lapang dan menambah kenalan baru, namun muka masam dan bentakan yang pertama muncul. Karenanya, siapa pun yang merasa menabrak bukannya berhenti minta maaf, malah lari kencang untuk cari selamat.

 

Hal yang juga membuat kita kecewa,hubungan antarmantan presiden dan antarmantan pejabat tinggi negara juga terserang virus hostility. Bukannya menunjukkan sikap saling bersahabat dan secara kompak ikut prihatin mencari solusi perbaikan bangsa yang masih terpuruk ini, namun yang sering mengemuka di media adalah sering mengkritik di belakang ketimbang memberikan apresiasi dan sharing gagasan konstruktif.

 

Tampaknya sebagian dari kita lebih senang membenci ketimbang memberi apresiasi. Padahal, pujian dan kalimat bagus itu memberikan energi kehidupan lebih tinggi dan mampu menciptakan kohesi sosial dan optimisme masa depan.

 

Sebaliknya,katakata dan kalimat negatif memiliki energi rendah, cenderung memperlemah hubungan sosial, serta tidak memiliki daya dorong kuat untuk maju dan membuat loncatan prestasi. Ada kalanya memang terjadi, kritik dan cacian akan membuat seseorang bangkit, tetapi hal itu tidak didasari dengan sikap yang tulus.

 

Jika kedua macam virus mental di atas telah menyerang kesadaran bawah sadar seseorang, dia akan mengisolasi diri dan jadi pemurung, meski berada di tegah keramaian. Perhatikan saja orang yang selalu hidup tergesagesa dan hatinya cenderung melihat orang lain sebagai pesaing dan ancaman, pembawaannya sulit tertawa (humourless).

 

Kalaupun tertawa terlihat seperti dipaksakan, tidak lepas.Padahal, setelah diteliti tertawa itu menyehatkan secara pribadi maupun sosial. Di lingkungan masyarakat Barat, peredaran obat penenang dan obat tidur melonjak berlipat-lipat akibat masyarakatnya terserang virus 3H ini.

 

Tetapi kalau soal tertawa, bagi masyarakat Indonesia, terutama masyarakat bawah, justru lebih mudah dijumpai ketimbang masyarakat papan atas yang tampak selalu serius dan gelisah. Mereka memiliki kiat hidup yang tinggi sehingga bisa tertawa dan bercanda dengan kegetiran hidup dan problem sosial yang dihadapi.Parade pulang mudik Lebaran, misalnya, yang oleh kalangan elite dipandang susah dan menyengsarakan, bagi para pekerja kuli dan pembantu rumah tangga bisa dijinakkan sebagai festival yang membahagiakan.

 

Jerih payah setahun di kota hilang dan terobati dengan pulang mudik ketemu keluarga dan handai taulan di kampung dengan bekal uang pas-pasan. Idealnya virus 3H itu diubah, sehingga masyarakat papan atas kita menjadi honored, humble, and happy. Hidup terhormat, rendah hati, dan semoga mendatangkan bahagia.(*)

 

 

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia, Jumat 17 Oktober 2008