Turki Islamis

Turki Islamis

Oleh Azyumardi Azra

Idul Fitri lalu memberi berkah besar bagi PM Turki Recep Tayyip Erdogan dan sekaligus pemerintahannya di bawah Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP/Adalet ve Kalkinma Partisi). Hanya dua hari setelah Lebaran (13/9/10), PM Erdogan memenangkan referendum dengan dukungan 58 persen suara untuk perubahan konstitusi. Paket 26 poin amendemen konstitusi itu, antara lain, mencakup pemberian hak lebih luas bagi perempuan, anak-anak, dan buruh, pengangkatan jaksa dan hakim oleh pemerintah, pemberian hak lebih besar kepada Parlemen dan Presiden memilih anggota Mahkamah Konstitusi, dan pemberian wewenang kepada Peradilan Sipil mengadili anggota militer yang melanggar hukum.

Militer memang pernah sangat berkuasa dalam kehidupan negara dan politik Turki. Sejak Republik Turki berdiri pada 1923, militer melakukan kudeta demi kudeta terhadap pemerintahan yang dipilih rakyat secara demokratis. Alasan pokoknya, pemerintahan yang terkena kudeta dianggap melakukan kebijakan dan langkah yang mengancam kelangsungan sekularisme kemalisme yang membuat agama kembali ke dalam kehidupan politik dan negara. Karena itulah, PM Erdogan dalam kampanye menggolkan referendum itu dan menyatakan langkah ini perlu untuk memastikan demokrasi dan pemerintah yang dipilih rakyat secara demokratis dapat menjalankan pemerintahan tanpa dibayang-bayangi kudeta militer.

Kemenangan PM Erdogan dalam referendum ini menggemparkan banyak kalangan, khususnya di Barat. Hampir seluruh media Barat menjadikannya sebagai berita utama. Mudah dipahami karena Turki sebelumnya dikenal sebagai sekutu dekat Barat sejak penerapan sekularisme kemalisme pada pertengahan dasawarsa 1920-an yang terus didukung militer tanpa tawar-menawar. Hasil referendum itu bagi banyak kalangan Barat mengkhawatirkan karena membuat Turki kian 'hijau' di bawah pemerintahan AKP dengan mengorbankan sekularisme dan sekaligus  meminggirkan militer. Lebih jauh bagi Barat, pergeseran politik Turki itu dapat berarti pudarnya negara ini sebagai model penerapan 'sekularisme' dalam masyarakat mayoritas Muslim, di mana agama secara ketat dipisahkan dari kehidupan politik dan publik.

Turki di bawah kepemimpinan PM Tayyip Erdogan dan AKP kian 'hijau' dan Islamis. Pada 2004, AKP mengusulkan legislasi hukuman pidana terhadap pelaku perzinaan-usul yang gagal karena penolakan keras dari banyak kalangan. Selanjutnya pada 2008, pemerintahan PM Erdogan mensponsori amendemen konstitusi yang memungkinkan bagi mahasiswi mengenakan jilbab di perguruan tinggi. Padahal, pemakaian jilbab terlarang karena militer menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap prinsip pemisahan agama dan politik. Sementara itu, bagi PM Erdogan dan AKP, pelarangan atau pemakaian jilbab adalah isu HAM.

Dengan kebijakan yang berorientasi 'hijau', pemerintahan Erdogan kian menjadi 'bintang' di kancah persaingan pengaruh di Timur Tengah. Misalnya, Turki memutus hubungan militer dengan Israel berkaitan serangan militer Israel terhadap kapal flotila Turki yang membawa berbagai bantuan kemanusiaan untuk Gaza. Bahkan, PM Erdogan menuduh Israel sebagai pelaku 'terorisme yang disponsori negara'. Ia kemudian bersekutu dengan Presiden Brasil, Luiz Inacio Lula da Silva, memblok sanksi PBB terhadap program pengembangan nuklir Iran.

Sekali lagi, sepak terjang Erdogan ini jelas mengkhawatirkan Barat. Apalagi jika ia betul-betul berkoalisi pula dengan PM Iran, Ahmadinejad, yang dia peluk erat ketika keduanya bertemu pada Mei lalu. Erdogan juga menyebut Ahmadinejad sebagai 'teman baik' sehingga kian menambah kecemasan Barat. Ian Lesser dari German Marshall Fund of the US menyatakan, langkah Erdogan mengisyaratkan adanya arus dalam politik luar negeri Turki untuk mengimbangi negara-negara tengah bangkit lainnya, seperti Indonesia dan Brasil; ada perasaan bahwa tidak semua inisiatif politik harus dibuat dan muncul dari Barat.

Ian Lesser hampir bisa dipastikan keliru ketika menyebut politik luar negeri Turki di bawah PM Erdogan dalam tarikan napas yang sama dengan Indonesia. Dengan Presiden Lula da Silva, Brasil, PM Erdogan jelas punya banyak kesamaan. Akan tetapi, dengan Indonesia jelas beda jauh; Indonesia lebih memilih kebijakan luar negeri: 'seribu teman, nol musuh' (thousand friends zero enemy).

Turki di bawah PM Erdogan jelas berbeda dengan Indonesia. Tidak hanya dalam politik luar negeri, tetapi juga dalam realitas keagamaan, sosial, politik, dan militer. Karena itu, walaupun ada yang terilhami langkah Erdogan dan AKP, pengalaman Turki tidak bisa serta-merta dapat berlaku dalam konteks Indonesia.

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 7 Oktober 2010

Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta