Tragedi Yaman (5)

Tragedi Yaman (5)

Prof Dr Azyumardi Azra MA CBE, Guru Besar Sejarah Peradaban Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tragedi Yaman juga adalah tragedi Hadhramaut. Namun, konflik, kekacauan, dan perang yang masih berlanjut tidak menghalangi pelajar Indonesia pergi ke Yaman untuk menuntut ilmu.

Juga tidak jadi halangan kebanyakan mereka harus mengeluarkan dana sendiri karena hampir tidak ada beasiswa, baik yang ditawarkan Pemerintah Yaman maupun Indonesia. Paling banter, ada beasiswa dalam jumlah terbatas dari dermawan.

Masih banyaknya mahasiswa Indonesia yang datang ke berbagai pusat pendidikan, terutama di Hadhramaut karena provinsi ini dianggap masih aman.

Seorang mahasiswa S2 saya di Sekolah PascaSarjana UIN Jakarta yang menamatkan kuliah S1 di Universitas Al-Ahqaff, Mukalla, ibu kota Provinsi Hadhramaut menyatakan, lingkungan di sana aman-aman saja.

Universitas Al-Ahqaff paling populer bagi para mahasiswa-mahasiswi asal Indonesia.

Sampai awal 2015, jumlah mereka hampir 900 orang. Kini tak ada info. Ada 33 perguruan tinggi di Yaman dalam berbagai bidang ilmu dari agama, humaniora, ilmu sosial, ilmu alam, dan sains-teknologi. Hampir seluruh pelajar Indonesia belajar cabang ilmu agama Islam.

Tidak diketahui berapa jumlah pasti penuntut ilmu (pelajar madrasah dan mahasiswa perguruan tinggi) di seluruh Yaman sekarang.

Bisa dipastikan, sebagian besar mereka belajar di berbagai lembaga pendidikan di wilayah Hadhramaut; sebelum perang, banyak juga yang belajar di Sana’a, Zabid, atau Tarim dan kota-kota lebih kecil lain.

Agaknya jumlah mereka di Yaman dulu berkisar antara 2.000-3.000 orang.

Ketika perang saudara mulai berkecamuk dan koalisi militer pimpinan Arab Saudi menyerang target-target di Yaman pada 2015, KBRI melancarkan evakuasi besar-besaran: ada sekitar 1.500 mahasiswa dari Tarim yang belajar di perguruan tinggi dan Ribath; sekitar 540 di Universitas al-Ahgaff dan sekitar 300 lainnya di Mukalla.

Tidak semua pelajar Indonesia bersedia dipulangkan ke Tanah Air. Banyak juga yang memilih bertahan karena menganggap Hadhramaut aman. Ibu kota Mukalla pernah kena serangan sporadis kelompok-kelompok berperang; evakuasi ke Tanah Air dilakukan dari bandara Seiyun, Oman.

Dilihat dari gambaran kasar, jumlah pelajar Indonesia di Yaman, negara ini, khususnya Hadhramaut agaknya menduduki tempat kedua terbanyak di dunia Arab. Tempat pertama konsentrasi pelajar Indonesia hampir bisa dipastikan adalah Kairo, terutama Universitas Al-Azhar.

Lalu di posisi ketiga boleh jadi Arab Saudi kemudian Sudan. Dalam jumlah lebih kecil pelajar Indonesia juga ada di Turki, Iran, Yordania, Maroko, Qatar, dan Pakistan. Umumnya, mereka belajar berbagai cabang ilmu Islam.

Mangapa Yaman atau Hadhramaut menjadi salah satu destinasi paling populer bagi pelajar Indonesia?

Faktor pertama adalah hubungan historis keagamaan melalui jaringan ulama murid-murid Jawi sejak abad ke-17 dan seterusnya, seperti Abdurrauf Singkel, Yusuf al-Maqassari, Abdussamad al-Palimbani, dan generasi-generasi berikutnya.

Para ulama Jawi yang memainkan peran krusial dalam konsolidasi ortodoksi Islam di kepulauan nusantara, baik langsung maupun tidak langsung mempromosikan Yaman sebagai pusat keilmuan penting.

Faktor kedua adalah melalui prominensi ulama-ulama keturunan Yaman atau Hadhramaut. Mereka ini memiliki jaringan keilmuan dan kelembagaan dengan institusi-institusi pendidikan di berbagai tempat di Yaman—lagi-lagi khususnya di Hadhramaut.

Juga bisa dipastikan, jaringan Hadarim ini memainkan peran penting dalam mengorganisasi dan menyelenggarakan perjalanan para calon penuntut ilmu dari kepulauan nusantara—kemudian Indonesia setelah merdeka—ke berbagai tempat di Yaman.

Mereka pulalah yang mengatur penempatan mereka di berbagai lembaga pendidikan di Yaman.

Namun, hubungan Indonesia dengan Yaman, khususnya Hadhramaut lebih daripada keilmuan dan keulamaan.

Hubungan kedua wilayah cenderung resiprokal—arusnya mengalir dari kedua belah pihak. Sedangkan dengan wilayah dunia Muslim lain, seperti Mesir atau Arab Saudi, hubungan cenderung sepihak; Indonesia menjadi pihak penerima belaka.

Dalam hubungan resiprokal itu, kehidupan sehari-sehari warga Hadhramaut tak banyak berbeda dengan Indonesia. Kaum lelaki lebih banyak dan lebih suka memakai kain sarung; juga banyak yang memakai kemeja batik. Lingkungannya juga kental beraroma makanan Indonesia.

Tragedi Yaman. Dengan hubungan keagamaan, keilmuan, keulamaan demografis, dan sosial-budaya, Yaman amat perlu mendapat empati warga Indonesia. Jangan biarkan Yaman tergelincir ke dalam labirin dan abyss tak berdasar.

Sumber: Resonansi Republika.co.id. (mf)