Redam Radikalisme Butuh Pendidikan Keagamaan Inklusif

Redam Radikalisme Butuh Pendidikan Keagamaan Inklusif

Jakarta, BERITA UIN Online—  Pemerintah didorong mengembangkan pendidikan keagamaan yang terbuka, toleran, dan inklusif guna menekan radikalisme sekaligus mendorong sikap penghormatan atas keragaman keagamaan di Indonesia. Di sisi pendidikan yang mentransformasikan sikap penghormatan, pemerintah perlu memperbesar peluang pelatihan wawasan kebangsaan, keislaman, dan keindonesiaan bagi para pendidik.

Demikian sebagian rekomendasi Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta menyusul publikasi Survei Nasional tentang Sikap Keberagamaan di Sekolah dan Universitas di Indonesia 2017 yang dipresentasikan di Jakarta, Rabu (8/11/2017). "Rekomendasi lainnya adalah perlunya pengenalan berbagai agama dan kepercayaan dalam Pendidikan Agama Islam dan pengayaan praktik pengalaman keberagamaan serta pengalaman mengatasi masalah bersama," catat rekomendasi seperti dikutip BERITA UIN Online.

Melalui survei yang digelar dalam rentang waktu 1 September-7 Oktober 2017 dengan sasaran siswa-mahasiswa dan guru-dosen, PPIM UIN Jakarta menemukan masih adanya ganjalan dalam sikap penerimaan mereka terhadap realitas keagamaan yang berbeda. Survei dilakukan di setiap satu kabupaten/kota di 34 provinsi dengan total responden 2.181 orang dimana 1.522 siswa, 337 mahasiswa, 264 guru, dan 58 dosen pendidikan agama Islam.

Survei mencatat, di level opini, siswa-mahasiswa cenderung memiliki pandangan keagamaan yang intoleran. Hal tersebut tercermin dari persebaran antara opini radikal, toleransi eksternal, dan toleransi internal siswa. Dari ketiga kategori tersebut, pandangan keagamaan siswa yang paling intoleran terdapat pada opini radikal (58,5%), opini intoleransi internal (51,1%), dan opini intoleransi eksternal (34,3%). Sedangkan dari sisi aksi, siswa-mahasiswa memiliki perilaku keagamaan yang cenderung moderat dimana yang termasuk dalam kategori aksi radikal hanya 7,0%.

Berbeda dengan guru-dosen, di level opini mereka cenderung memiliki pandangan keagamaan yang toleran atau berkebalikan pandangan siswa-mahasiswa. Hal ini tercermin dari persebaran opini guru-dosen pada lebih rendahnya opini intoleransi internal (33,9%), opini intoleransi eksternal (29,2%), dan opini radikal (23,0%). Sedangkan di level aksi, guru-dosen mempunyai kecenderungan kuat memiliki perilaku intoleran pada kategori aksi toleransi internal (69,3%), kategori aksi radikal 8,4%, dan kategori aksi toleransi eksternal 24,2%.

Terdapat dua jenis relasi keagamaan yang menjadi sasaran penelitian, yakni relasi Muslim dengan Non-Muslim dan Relasi Muslim Mayoritas dengan Muslim Minoritas. Pada jenis relasi pertama, baik dosen-guru maupun siswa-mahasiswa relatif bisa menerima keberadaan agama lain dengan pengecualian agama Yahudi.

Pada relasi ini, sebanyak 83,85% guru-dosen dan 79,07% siswa-mahasiswa menyatakan orang Kristen bukan musuh orang Islam. Lalu, 66,15% guru-dosen dan 76,22% siswa-mahasiswa berpendapat orang Kristen tidak membenci orang Islam. Bahkan, 64,60% guru-dosen dan 70,36% siswa-mahasiswa tidak keberatan jika orang yang berbeda agama memberi bantuan pada lembaga-lembaga Islam.

Namun, 57,76% guru-dosen dan 53,74% siswa-mahasiswa setuju bahwa orang Yahudi adalah musuh orang Islam. Bahkan, 63,66% guru-dosen dan 52,99% siswa-mahasiswa setuju bahwa Yahudi membenci Islam.

Pada relasi kedua, Relasi Muslim Mayoritas dengan Muslim Minoritas, dosen-guru dan siswa-mahasiswa sulit menerima Muslim yang mengikuti ajaran Ahmadiyah dan Syiah. Kedua kelompok ini tercatat sebagai kelompok yang tidak disukai, tidak setuju jika pemerintah melindungi, bahkan setuju jika pemerintah melarang keberadaan kelompok minoritas menyimpang.

Pada relasi ini, kelompok-siswa mahasiswa secara berurut menempatkan Syiah (30,99%) dan Ahmadiyah (19,72%) sebagai dua kelompok yang tidak disukai. Sebaliknya, guru-dosen secara berurut menempatkan Ahmadiyah (64,66%) dan Syiah (55,60%) sebagai kelompok yang tidak mereka sukai.

Saat ditanyakan apakah pemerintah perlu melindungi penganut Syiah dan Ahmadiyah, sebanyak 44,72% guru-dosen dan 49,00% siswa-mahasiswa tidak setuju jika pemerintah harus melindungi penganut kedua kelompok keagamaan tersebut. Bahkan, 87,89%  guru-dosen dan 86,55% siswa-mahasiswa setuju jika pemerintah melarang keberadaan kelompok-kelompok minoritas yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam.

Lebih jauh, guru-dosen (62,11%) dan siswa-mahasiswa (55,08%) setuju dengan pendapat bahwa umat Islam kini terdzolimi. Selain itu, guru-dosen (54,35%) dan siswa-mahasiswa (48,04%) melihat orang non-Muslim lebih diuntungkan dibanding Muslim terkait ekonomi.

Pendidikan Agama

Riset mencatat, siswa dan mahasiswa merasa bahwa pendidikan agama memiliki porsi yang besar dalam memengaruhi mereka agar tidak bergaul dengan pemeluk agama lain. Rinciannya, porsi pendidikan agama terhadap pengaruh tidak bergaul dengan pemeluk agama lain, sangat besar 25,77%, cukup besar 23,18%, sedikit 21,30%, sangat sedikit 6,67%, dan tidak sama sekali 23,08%.

Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta Dr. Saiful Umam mengatakan, model pembelajaran pendidikan agama Islam berpotensi membentuk radikalisme siswa. Sama halnya dengan opini radikal guru dan model pembelajaran agama Islam dari guru, bisa memengaruhi radikalisme siswa.

"Artinya, guru menjadi faktor penting dalam pembentukan seseorang dalam proses menjadi intoleran dan radikal. Hal ini harus menjadi perhatian kita bersama untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan guru dalam pembelajaran," ujarnya.

Menanggapi riset tersebut, Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI Prof. Dr. Kamaruddin Amin MA menegaskan perlunya upaya serius untuk menangkal radikalisme di dunia pendidikan. Upaya itu dapat dilakukan dengan melatih guru dan pengawas agar bisa memberikan pengajaran Islam yang moderat.

Upaya lainnya adalah membentuk pusat kajian moderasi agama di setiap perguruan tinggi Islam yang ada. "Pusat kajian moderasi agama itu dalam rangka megantisipasi fakta sedang terjadi proses radikalisme dengan intensitas yang masih variatif," katanya.

Kendati intensitas radikalisme di lembaga pendidikan terbilang variatif, namun Kamaruddin menilai perlu upaya mengantisipasi agar pemikiran atau ajaran yang dikatakan radikal itu tidak berkembang. Ia mengimbau semua pihak untuk memberikan perhatian lebih sebagai upaya antisipasi.

Kamaruddin juga meminta pada pelajar, siswa-mahasiswa, menuntut ilmu dengan baik dan tidak menangkap pemahaman keagamaan yang radikal. "Kepada anak-anak kita yang masih search of identity, kita berharap mereka betul-betul belajar dengan tekun jangan sampai karena ketidakpahamnya, ketidak tahuannya karena pemahaman yang dangkal kemudian keagamaannya menjadi radikal," harapnya. (farah nh/yuni nk/zm)