Tiada Lagi Etika dan Empati

Tiada Lagi Etika dan Empati

Korupsi di negeri ini, pada masa lalu, terjadi karena penyelenggara negara dinilai tidak memiliki rasa malu. Namun, kini lebih buruk lagi, tak ada lagi empati dan etika.

Ketiadaan etika dan empati, khususnya pada penyelenggara negara, itu terasa saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan delapan tersangka kasus suap dalam lelang proyek infrastruktur air bersih di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Dugaan korupsi itu pun terjadi pada proyek pengadaan sistem penyediaan air minum di wilayah bencana Palu-Donggala, Sulawesi Tengah (Kompas, 31/12/2018).

Padahal, belum kering air mata bangsa ini saat lebih dari 1.943 warga tewas di Palu, Donggala, dan sekitarnya terkena gempa, tsunami, dan likuefaksi. Seperti diberitakan harian ini, 14 November 2018, tak kurang dari 2.765 jiwa hilang pula. Pada 2018, bencana terjadi juga di Nusa Tenggara Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, dan Sumatera Barat.

Kalau dana untuk membangun kebutuhan dasar warga di Sulteng dikorupsi, mungkin saja dana untuk penanggulangan bencana, proyek pembangunan pascabencana, atau bantuan bagi korban bencana dicuri pula. Data Kompas menunjukkan, misalnya dana bantuan bagi korban gempa di Liwa, Lampung, tahun 1994 dikorupsi. Sejak tahun 2002 dana penanggulangan bencana dan bantuan bagi korban bencana di sejumlah daerah disunat pula. Sejumlah pejabat publik di Papua, Jateng, Jabar, Sumut, Sulut, Aceh, dan Riau pun harus berhadapan dengan pengadilan untuk mempertanggungjawabkan tindakannya.

Kondisi itulah yang disebutkan oleh Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra, sebagai hilangnya empati dan etika di kalangan pejabat publik. Mereka bukan hanya tidak malu mengambil uang negara yang diperuntukkan membantu rakyat yang menjadi korban bencana, tetapi tak mempunyai hati lagi untuk melindungi warga yang seharusnya dilayani. Air bersih untuk korban bencana di Palu, Donggala, atau daerah lain merupakan kebutuhan dasar. Penyelenggara negara, aparatur sipil negara yang harus melayani dan melindungi warga, justru jadi pencuri uang negara. Penyimpangan dana bencana ini berulang kali terjadi.

Korban bencana itu mungkin saja merupakan keluarga atau kenalan pejabat publik atau pengusaha yang disangka terlibat korupsi. Di mana nurani mereka? Padahal, Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menegaskan, pejabat legislatif, eksekutif, atau yudikatif harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik; bertanggung jawab kepada masyarakat, bangsa, dan negara; serta jujur, adil, terbuka, tepercaya, dan bebas dari KKN.

Jika pesan rakyat melalui MPR itu tak diindahkan, penegak hukum bisa memakai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU itu menyatakan, mereka yang melakukan korupsi saat negara krisis, korupsi terkait bencana alam, dan korupsi yang berulang bisa dituntut hukuman mati!

Prof Dr Azyumardi Azra MA, Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Kompas.id, 3 Januari 2019. (lrf/mf)