Teror, Cermin Beragama Tanpa Wibawa

Teror, Cermin Beragama Tanpa Wibawa

[caption id="attachment_10913" align="alignleft" width="300"]Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA.[/caption]

Oleh Dede Rosyada

Partisipasi kaum akademis dalam menata ulang kehidup-an beragama di area publik, sangatlah urgen. Urgensi keter-libatan kaum akademis ini, mengingat posisi kaum akademis sebagai  kaum intelektual, tak sekadar merayakan teori-teori besar tapi mereka memiliki tanggung jawab besar terhadap keberlangsungan kehidupan publik.

Tanggung jawab kaum akademis ini menjadi urgen karena akhir-akhir ini berbagai amuk massa bergejolak di berbagai daerah. Dan sepertinya, kaum akademis tak memiliki peran aktif dalam meredam amuk massa yang sering kali timbul .

Partisipasi kaum akademis dalam menguar isu bela negara sangatlah minim. Pada titik tertenu, uaran-uaran dan  pemba-hasan bela negara kaum akademis, senantiasa dikaitkan dengan militerisme sebuah bangsa. Inilah fakta yang terlihat amat me-nonjol di area dunia akademik.Bela negara selalu dikaitkan dengan persoalan militerisme.

Padahal ancaman terhadap rasa aman masyarakat dan an-caman terhadap ketahanan nasional justru datang dari berbagai faktor di luar militer, seperti pengangguran terbuka yang me-nyebabkan peningkatan frekuensi kejahatan dan sulitnya mem-peroleh lapangan pekerjaan.

Faktor-faktor di atas,  menyebabkan mudahnya anak-anak muda terprovokasi untuk ikut gerakan radikalisme dengan ima-jinasi negara berbasis agama dan akan memberi rasa aman. Dan mereka siap menjadi martir dengan angan-angan surga yang sudah menanti.Padahal, mereka justru melakukan kejahatan kemanusiaan yang harus dipertanggung-jawabkan di akhirat.Mereka yang larut dalam gerakan radikalisme membangun satu gerakan beragama tanpa wibawa.

Dalam catatan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015, memperlihatkan bahwa jumlah pengangg-uran terbuka nasional mencapai 7.56 juta orang, atau sekitar 3 persen dari total jumlah penduduk Indonesia di tahun yang sama.

Dan jika menilik berdasarkan tingkat pendidikan, tercatat, tingkat pengangguran terbuka didominasi oleh lulusan Sekolah Menengah Kejuruan 12,65 persen, disusul lulusan Sekolah Menengah Atas sebesar 10,32 persen, Diploma 7,54 persen, Sarjana 6,40 persen, Sekolah Menengah Pertama 6,22 persen, dan Sekolah Dasar ke bawah 2,74 persen. Sementara itu, jumlah penganggur terselubung diperkirakan mencapaikisaran  20 juta orang. Inilah adalah problem besar bagi bangsa ini, karena pengangguran akan membawa permasalahan sosial, dan menja-di penyebab tindak kejahatan kriminal.

Hal lain yang sangat urgen adalah rendahnya kemampuan ekonomi, menjadi penyebab masyarakat, khusunya anak-anak muda, mudah terprov-kasi untuk turut melakukan tindakan-tindakan aksi radikalisme berbasis agama dan melakukan teror terhadap penguasa, yang pada gilirannya justru mengganggu dan mengancam masyarakat. Pelaku teror memiliki keyakinan bahwa mati adalah jalan terbaik, sementara masyarakat lain masih memiliki hak untuk menikmati kehidupan dunia dengan damai dan terjauh dari rasa ketakutan.

Seperti kita tahu, pada tahun 2011 bom bunuh diri mele-dak di mesjid Cirebon, saat umat Islam melakukan ibadah jumat. Sebelumnya di tahun 2009, dua bom juga meledak di Hotel JW Mariot dan Ritz Carlton, keduanya berada di Lingkar Mega Kuningan, Jakarta.Teror terjadi justru di tempat-tempat seharusnya umat manusia merasa aman dan nyaman berada di dalamnya.

Salah satupenyebab utamanya adalah kemiskinan dan tidak memperoleh pekerjaan yang layak untuk kehidupan sosial-nya, lalu dikemas dengan jihad keagamaan, sehingga men-dorong mereka melakukan aksi-aksi yang membuat masyarakat tidak nyaman. Imbasnya, kepercayaan merosot, investasi menu-run, dan geliat perekonomian tersendat sehingga pada akhirnya akan memperlemah ketahanan bangsa.

Problem lain yang mengurangi rasa aman bangsa Indo-nesia dan masih terjadi dan terus mengancam Indonesia adalah aksi-aksi kekerasan yang dilakukan dengan cara-cara teror yang menakutkan dan tidak memilih tempat. Teror dengan ledakan bom, bisa terjadi di klub malam seperti terjadi di Bali, di gereja, di mesjid dan bahkan di hotel atau tempat-tempat keramaian lain.

Teror dilakukan para pelaku yang memiliki pemahaman agama keliru, dangkal, sangat leksikal, dan tidak konteks-tual untuk diterapkan pada zaman modern ini. Pemahaman keliru ini juga disertai dengan imajinasi “Islamic State”, yang menurut keyakinan mereka akan memberikan kesejahteraan yang baik bagi semua rakyatnya.

Dorongan imajinasi “Islamic State” dan mati syahid juga  iming-iming surga, mendorong mereka harus memerangi peme-rintahan yang ada, dan mereka sangat yakin bahwa Tuhan akan membantu gerakan mereka. Padahal Tuhan bukan hanya milik mereka, ada milyaran orang yang juga memiliki Tuhan yang bersikap baik.

Persoalan ini bisa dihadapi dengan dua pendekatan,  pendekatan keamanan dan hukum karena perbuatan mereka sudah termasuk kejahatan kriminal.

Untuk A menghindari jangan terjadinya wabah pada anak-anak yang sedang melakukan pencarian kebenaran agama yang dianutnya, harus dilakukan dengan penyuluhan agama pada masyarakat, dan untuk itu pemerintah telah memiliki banyak tenaga fungsional penyuluh bimbingan masyarakat Islam (Pebimas).

Provokasi mereka bisa menggoda karena kurangnya informasi kebenaran agama.Untuk itulah, ada baiknya para Pebimas Islam bisa menyentuh lapisan sosial ini, sehingga tidak terjangkiti sikap salah paham perihal ajaran agama seperti yang diyakini para teroris.Para pebimas sebaiknya memberikan penjelasan-penjelasan agama, doktrin dan pemikiran dalam konsep-konsep yang moderat, toleran dan juga pluralistik.Tema-tema Islam ini perlu disampaikan pada target-target sosial tersebut, sehingga pemahaman mereka tentang agama menjadi lebih rasional dan bisa diterima masyarakat luas.

Pada titik inilah, peran kaum cerdik pandai harus hadir sebagai jembatan untuk memberi kabar perihal sikap beragama yang baik.Sebuah kabar tentang perlunya beragama yang teduh dan meneduhkan.Beragama dengan wibawa.

                                              ***

Prof Dr Dede Rosyada, MA, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Artikel ini telah dimuat pada rubrik Opini Harian Jawa Pos, edisi 15 Agustus 2016