Tauhid sebagai Pandangan Dunia

Tauhid sebagai Pandangan Dunia

Oleh: Jajang Jahroni, Ketua LP2M UIN Jakarta

Dalam Islam, tuhan itu hanya satu yaitu Allah Subhanahu Wata’ala, tempat bergantung, tempat meminta, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Ajaran ini disebut tauhid. Ketika diperkenalkan, tauhid tidaklah dimaksudkan sebagai doktrin keagamaan dalam pengertian kepercayaan (belief), kewajiban (instructions), atau larangan (prohibition), tapi sebagai pandangan dunia (world-view). Pandangan dunia adalah cara pandang yang dilakukan individu maupun masyarakat atas realitas yang ada dan bagaimana cara pandang ini berpengaruh atas kehidupan mereka. Pandangan dunia lebih luas maknanya dari sekedar doktrin atau dogma. Ia bisa mencakup filsafat, etika, seni, dan juga agama. Lalu, pandangan dunia seperti apa yang ingin diperkenalkan oleh Islam?

Tauhid dapat dipahami secara lebih baik bila dikontraskan dengan paham serba-tuhan (polytheism) atau syirik yang menguasai kehidupan masyarakat ketika Islam diturunkan. Dalam perspektif syirik, tuhan ada banyak dan bersemayam di mana-mana, terutama di tempat-tempat yang punya kekuatan dahsyat. Tuhan ada di gunung, sungai, di laut, dst. Kehidupan manusia berlangsung dengan tuhan sebagai pusatnya (teosentris).

Untuk memudahkan penyembahan manusia menciptakan patung-patung yang disebut berhala. Muncul berbagai ritual di seputar berhala-berhala tersebut. Ritual dilakukan untuk membujuk tuhan dan dewa agar berbelas kasih kepada manusia. Persembahan dibuat dari yang paling sederhana seperti rangkaian daun dan bunga hingga yang paling mengerikan seperti kurban anak manusia yang dilempar ke dalam kawah. Perempuan yang masih perawan seringkali dijadikan persembahan. Ini karena dewa dipersepsikan laki-laki yang menyukai perempuan yang masih suci.

Ketika Islam datang, Islam melarang itu semua. Bahkan pelarangan ini terus berlanjut pada pembuatan patung dan sejenisnya. Islam memandang berhala dan segala hal yang berkait dengannya adalah syirik dan syirik identik dengan kedegilan. Mengapa? Karena bagaimana mungkin berhala-berhala yang tidak memberi manfaat dan mudarat itu disembah? Degil sekali manusia yang menyembah sesuatu yang tidak memberi manfaat atau mudarat. Hanya tuhan yang bisa memberi manfaat dan mudarat bagi manusia. Karena itu Ia wajib disembah. Di sini kita bisa sepakat bahwa argumen tauhid yang satu ini tak terbantahkan. Karena ini pula syirik dalam Islam dianggap dosa yang tidak berampun. Allah mengancam untuk tidak akan mengampuni orang yang mensyirikkan-Nya. Syirik mengebiri akal manusia. Ini karena mengaburkan mana tuhan dan mana alam. Pengaburan ini selanjutnya menumpulkan nalar manusia. Syirik juga menyulitkan kehidupan manusia. Ini karena para dewa menuntut persembahan terus menerus, sumberdaya sosial dan ekonomi dihabiskan untuk keperluan penyelenggaraan ritual.

Ibrahim adalah orang yang berhasil membuktikan kedegilan syirik. Ketika Namruz dan para menterinya berburu, ia menyelinap masuk ke dalam rumah ibadah mereka. Ia menghancurkan seluruh berhala kecuali yang paling besar. Kapaknya dikalungkan di berhala tersebut. Ketika Namruz dan para menterinya datang, mereka marah bukan kepalang mengetahui berhala-berhala mereka hancur. Ada yang melihat bahwa yang melakukan itu semua adalah seorang anak muda yang bernama Ibrahim. “Apakah engkau melakukan semua ini, wahai Ibrahim?” tanya Namruz. Ibrahim menjawab, “tanya saja kepada berhala yang paling besar itu.” Namruz berkata, “bukankah kau tahu berhala itu tidak bisa bicara?” Ibrahim menjawab, “kalau memang tidak bisa bicara, mengapa engkau sembah?” Namruz dan para menterinya tidak bisa jawab.

Ibrahim juga orang yang berhasil mengembalikan “kurban-untuk-tuhan” ke “kurban-untuk-manusia”. Menurut al-Quran, Ibrahim diperintahkan untuk berkurban. Tidak tanggung-tanggung ia diperintahkan untuk mengurbankan anaknya Ismail yang sangat disayangi. Ibrahim bolak-balik dalam keraguan apa betul ia diperintah untuk menyembelih anaknya. Namun pada akhirnya, diyakinkan oleh anaknya, ia mengikuti mimpinya. Maka pada hari yang telah ditentukan, keduanya pergi ke tanah lapang. Ismail tertengadah, pasrah untuk disembelih. Sementara Ibrahim mengayunkan pisaunya. Namun yang terjadi kemudian adalah Ibrahim menyembelih seekor domba, dan Ismail segar bugar.

Apa arti kisah ini? Kisah ini menyimbolkan perubahan orientasi kurban dari yang tadinya “untuk-tuhan” ke “untuk-manusia”. Kurban manusia harus ditinggalkan karena tidak sesuai dengan akal-budi manusia. Yang boleh dikurbankan adalah hewan. Dan daging kurban dibagi-bagikan kepada orang sekitar untuk dikonsumsi. Dalam hadis dinyatakan, tuhan tidak membutuhkan daging dan darahnya. Tuhan hanya menilai takwa manusia.

Kisah tentang penyembelihan ini sayangnya ditafsirkan oleh banyak orang sebagai simbol ketaatan anak terhadap orang tua, sesuatu yang sulit diterima karena Islam melarang pengorbanan jiwa dengan alasan apa pun. Bisa dibayangkan apa jadinya bila penyembelihan itu benar-benar terjadi! Tentu agama sudah lama ditinggalkan oleh orang. Dengan menafsirkan kisah ini secara simbolik kita mendapat pelajaran yang sangat penting tentang evolusi agama dan proses manusia menemukan akal-budinya untuk pertama kalinya.

Rasionalisasi

Berdasarkan penjelasan di atas, paling tidak ada tiga konsekuensi tauhid. Pertama, objek sesembahan jelas, hanya satu zat saja yang wajib disembah yaitu tuhan yang sebenarnya. Kedua, ritual mengalami penyederhanaan yang pada gilirannya agama menjadi mudah. Banyak ritual yang dipersembahkan untuk tuhan-tuhan yang palsu dibuang. Ritual-ritual yang mengerikan seperti mengorbankan manusia dilarang. Di sini kita bisa paham maksud pelarangan bid’ah yaitu kekhawatiran ritual kembali menyulitkan umat manusia. Ketiga, akal-budi manusia didorong untuk berkembang. Lapisan mitis akibat dari paham serba-tuhan yang menyelimuti kehidupan ini sedikit demi sedikit tersingkap dan manusia pada gilirannya membangun pandangan yang rasional tentang alam semesta ini. Pandangan teosentris digantikan dengan antroposentris di mana manusia adalah pusat dalam hubungannya dengan makrokosmos.

Pemisahan yang tegas antara alam dan tuhan, antara manusia dan tuhan, pada akhirnya membawa perubahan signifikan dalam cara pandang manusia terhadap realitas di sekitarnya. Manusia dapat membangun pengetahuannya secara mandiri dan Ibrahim menjadi manusia modern karena ia bisa mendefinisikan dirinya secara jelas. Inilah yang disebut rasionalisasi, saat ketika nalar manusia mulai berkembang. Berbeda dengan Weber, barangkali, yang menyebut rasionalisasi ditandai dengan “hilangnya pesona dunia” (the disenchantment of the word), Islam memandang pesona itu tidak pernah hilang, selalu ada pesona di alam raya dan juga pada diri manusia. Tanda-tanda kebesaran tuhan bertebaran di alam ini dan juga pada diri manusia.

Sekarang, mungkin, tidak ada lagi orang yang menyembah berhala. Orang juga tidak mengorbankan manusia untuk tuhan. Lalu di mana relevansi tauhid? Tauhid tetap relevan. Ancaman terhadap tauhid sekarang datang dari kehidupan manusia modern yang serba-materialistis. Orientasi pemenuhan materi bisa menggeser orientasi penyembahan kepada tuhan. Tuhan disembah, namun pada yang sama manusia juga menyembah karir, uang, jabatan, kekayaan, kekuasaan, dan lain sebagainya. Orientasi ini selanjutnya menimbulkan dampak yang destruktif dalam kehidupan individu dan masyarakat. Daya destruksinya sama atau bahkan lebih berbahaya dari praktik kurban primitif. Secara sosiologis ini sebenarnya syirik juga. Ini karena manusia menciptakan saingan-saingan untuk tuhan. Maka orang modern pun perlu diingatkan kembali pandangan dunia yang diperkenalkan dalam konsep tauhid ini. (zm/sam/adm)