Tantangan Rhoma

Tantangan Rhoma

Oleh: Dr. Iding Rosyidin M.Si*

 

Tiba-tiba Raja Dangdut, Rhoma Irama, mengejutkan jagat politik Indonesia di pengujung Ramadan. Ia mendeklarasikan partai politik baru, Partai Idaman (Islam, Damai, dan Aman).

            Sontak banyak kalangan terheran-heran dengan langkah Rhoma yang pernah digadang-gadangkan sebagai calon presiden (capres) oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada Pemilu 2014 yang lalu. Pertanyaan pun kemudian muncul di benak banyak orang.

            Apakah pendirian partai baru tersebut benar-benar merupakan ijtihad politik dari pelantun lagu-lagu dangdut bergenre religi tersebut atau sebenarnya tidak lebih dari sekadar ekspresi kekecewaan politiknya atas kegagalannya melaju sebagai capres? Dan bagaimana tantangan partai ini di Pemilu 2019 yang akan datang?

Menjual Rhoma

Setiap partai politik pendatang pasti akan dihadapkan dengan bagaimana cara memperoleh ceruk pasar di tengah persaingan partai-partai politik lainnya yang sudah lebih dulu mendapatkan ceruk pasarnya. Kalau sudah mendapatkan ceruk pasarnya, langkah berikutnya adalah bagaimana ia mampu merebut ceruk-ceruk pasar lain sehingga ceruk pasarnya semakin membesar.

            Dalam perspektif marketing politik, khususnya elemen produk politik, untuk mendapatkan ceruk pasar sebuah partai politik, apalagi yang merupakan pendatang, harus memiliki produk politik yang layak jual. Produk dalam konteks ini adalah person atau individu atau bisa juga program atau partai politik itu sendiri.

            Dalam konteks person atau individu, Partai Idaman tampaknya akan menjadikan Rhoma Irama sebagai jualan utamanya. Harus diakui bahwa Rhoma memiliki magnet politik yang cukup besar. Popularitasnya sebagai penyanyi dangdut di kalangan publik Indonesia tidak dapat terbantahkan. Hampir semua kalangan, dari muda sampai tua, laki-laki dan perempuan, umumnya mengenal sosok yang kerap juga disebut Bang Haji itu.

            Atas dasar popularitasnya itu, Rhoma dan para pendiri Partai Idaman tampaknya mempunyai optimisme yang cukup besar untuk membawa kesuksesan partai ini. Namun, agaknya yang tidak cukup disadari oleh mereka adalah bahwa tingkat popularitas tidak berbanding lurus dengan tingkat elektabilitas. Dengan kata lain, popularitas Rhoma sebagai penyanyi dangdut tidak berarti sama dengan tingkat elektabilitasnya sebagai calon presiden.

            Orang mungkin tahu siapa sosok Rhoma sebagai penyanyi dangdut, tetapi belum tentu akan memilihnya sebagai capres. Kenyataannya tingkat elektabilitas Rhoma di pemilu tidak segegap gempita popularitasnya. Partai berlambang Kakbah, PPP, misalnya, pernah berniat mencapreskan Rhoma, tetapi karena tingkat elektabilitasnya berada di bawah ketua umum ketika itu, Suryadharma Ali, niat itu pun urung dilakukan.

            PKB sendiri yang sebelumnya telah menyatakan siap mencapreskan Rhoma pada akhirnya juga membatalkannya, boleh jadi karena pertimbangan elektabilitasnya itu. Dalam konteks ini, Rhoma mungkin dapat dibandingkan dengan KH Zainuddin MZ yang pernah mendirikan partai baru ketika keluar dari PPP, yaitu Partai Bintang Reformasi( PBR).

            Meski popularitasnya sangat tinggi dengan julukan dai sejuta umat karena massa yang selalu berjubel saat menghadiri ceramah-ceramahnya, tetapi ternyata tidak sebanding dengan tingkat elektabilitasnya. Partai yang didirikannya pun pada akhirnya tidak dapat bertahan lama.

Faktor Diferensiasi

            Salah satu faktor penting bagi sebuah partai pendatang untuk dapat bersaing dengan partai-partai pendahulunya adalah masalah diferensiasi. Hal ini kian menjadi penting dalam sistem multipartai seperti yang berlangsung di Indonesia. Apakah partai pendatang tersebut mampu melakukan positioning di tengah-tengah partai lainnya dengan karakteristik pembedanya yang jelas.

            Inilah tantangan pertama yang mesti ditaklukkan sehingga bisa meraih pasar yang ditargetkan. Masalahnya, faktor diferensiasi inilah yang justru menjadi salah satu problem besar dalam kehidupan partai di republik ini. Ada banyak partai yang didirikan, entah yang sudah kawakan maupun yang masih baru, tetapi antara satu dan yang lain tidak terdapat diferensiasi yang signifikan.

            Sejauh ini yang dapat dibedakan baru sebatas nama, logo, dan warnanya saja. Di antara partai-partai yang disebut sebagai partai nasionalis seperti Golkar, PDIP, Demokrat, misalnya, kita sulit menemukan faktor pembeda selain pada nama, logo, dan warnanya. Dalam konteks ini, partai pendatang bentukan Rhoma Irama, Idaman, jelas tidak akan dapat lepas dari problem tersebut.

            Partai ini akan kesulitan untuk memosisikan dirinya dari partai-partai pendahulunya. Tentang identitas kepartaian yang menegaskan sebagai partai Islam, misalnya, Partai Idaman akan berhadapan vis-a-vis dengan partai Islam semisal PKS, PPP, dan PBB yang telah memiliki basisnya masingmasing.

            Dari sudut pandang ini, tampaknya Partai Idaman akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan basis massa (umat Islam) yang telah terbagi kepada ketiga partai pendahulunya tersebut. Kecuali Partai Idaman mampu menawarkan model keislaman yang berbeda dengan yang ditawarkan partai rivalnya itu dan sekaligus memberikan daya tarik tersendiri di kalangan umat Islam Indonesia.

            Tentu ini merupakan pekerjaan yang sangat tidak mudah dilakukan. Demikian pula tentang klaim partai pendatang ini yang meskipun berasaskan Islam tetapi bersifat terbuka untuk semua pihak, termasuk kalangan nonmuslim. Penegasan seperti ini telah dilakukan oleh pendahulunya, PKS, tetapi agaknya tidak cukup berhasil, bahkan dalam derajat tertentu memicu konflik internal di antara para kader.

            Karena itu, meskipun secara teoretis mudah diucapkan, dalam praktiknya sulit dilakukan. Rhoma juga akan mengalami hal yang tidak akan jauh berbeda jika melakukan itu. Lagi pula di luar PKS, ada partai lain, yang sekalipun tidak secara tegas menyatakan berasaskan Islam, melainkan nasionalis, tetapi tetap tidak dapat dilepaskan dari umat Islam, seperti PKB dan PAN.

            Kedua partai ini jelas berbasis massa Islam, di mana yang pertama terkait dengan ormas Islam terbesar, NU, dan yang kedua dengan Muhammadiyah. Meski tidak diakui secara terang-terangan, sulit disangkal kebenarannya. Dari penjelasan tersebut, jelas tantangan Partai Idaman sebagai partai pendatang di Indonesia akan sulit untuk mendapatkan ceruk pasarnya.

            Kemungkinan besar partai ini akan kerepotan untuk melakukan apa yang dalam marketing politik disebut dengan segmentasi mengingat pasar politiknya yang sempit. Kita tidak tahu apakah Rhoma dan para koleganya di Partai Idaman telah memikirkan masalah tersebut ataukah tidak. Sebagai publik, tentu kita hanya bisa wait and see bagaimana langkah partai pendatang ini ke depan.

            Jika ternyata pendirian partai ini tidak dipersiapkan melalui pertimbangan yang matang, boleh jadi sikap skeptis publik yang menduga langkah ini hanya sekadar ekspresi kekecewaan sulit dibantah.

Penulis adalah Kaprodi Ilmu Politik dan Pengajar Komunikasi Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Artikel dimuat dalam Kolom Opini KORAN SINDO, Rabu 22 Juli 2015 dan bisa diakses di source: http://nasional.sindonews.com/read/1025197/18/tantangan-rhoma-1437535882/2