Tantangan Keberlanjutan Pariwisata Desa

Tantangan Keberlanjutan Pariwisata Desa

Tantan Hermansah

Pada Bulan Juli tahun lalu, kita dikagetkan oleh sebuah peristiwa di mana Masyarakat Baduy menginginkan agar kawasannya tidak lagi menjadi destinasi wisata. Kaget karena banyak daerah justru berbondong-bondong untuk menjadikan kawasannya sebagai destinasi. Namun Komunitas Baduy ini justru beda. Melalui sepucuk surat yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, komunitas ini juga meminta bantuan Presiden untuk menghapuskan kawasannya itu dari google. Di antara alasan mengapa mereka menolak dijadikan destinasi adalah masalah sampah dan penghormatan atas nilai-nilai lokal mereka (Kompas 08/07/2020).

Google adalah mesin pencari yang saat ini menjadi andalan banyak orang untuk mencari informasi tertentu. Termasuk destinasi wisata atau informasi tertentu pada suatu destinasi. Sistem google yang terbuka kepada setiap orang untuk membagi informasi dan meletakkan “pin” atau tanda pada peta digital yang dibuatnya, menjadi salah satu penyebab banyak daerah berlomba-lomba untuk masuk dalam “radar” mesin pencari itu dengan maksud untuk meningkatkan traffic kunjungan wisatawan.

Meski pariwisata ini sangat menggoda, namun apa yang dirasakan daerah yang menjadi destinasi tidak selalu sesuai ekspektasi. Kelompok Masyarakat Baduyadalah contohnya. Mereka mengatakan bahwa banyak turis menjadikan mereka, kawasan, dan nilai-nilai yang mereka pegang sebagai obyek. Akibatnya potensi kerusakan ekologis tempat mereka tinggal, tumbuh, dan merawat budaya sangat besar. Banyak para pelancong datang bukan untuk belajar bagaimana mereka memelihara sumber daya lingkungan secara melekat, tetapi hanya memenuhi syahwat keingintahuan dan “nafsu pamer” semata.

Banyak pelancong yang datang bukan untuk menimba ilmu pengetahuan dan beragam kekayaan lokal. Sehingga mereka datang dengan kebiasaan buruknya seperti: menaruh sampah sembarangan, hilir mudik tidak mengikuti tata cara setempat dan menggunakan detergen di sungai-sungai mereka. Para pelancong ini menganggap bahwa dengan membayar tiket masuk, semua sudah selesai. Padahal, uang masuk yang mereka bayarkan, jika berbagai perilaku buruk itu tidak berubah, tidak akan pernah sebanding dengan kerusakannya.

Sampah hanya salah satu pekerjaan rumah kita semua yang cukup berat. Sebagai contoh, di destinasi yang sedang hits, Wakatobi, sekitar 45 ton sampah per hari berhasil dikumpulkan oleh dinas setempat (kompas.com 04/03/2020). Apalagi jika kawasan wisata itu sedang trending. Selain masalah ketertiban, masalah perilaku wisatawan yang tidak memperhatikan lingkungan ini adalah ancaman pada destinasi itu sendiri.

Wisata Desa

Saat ini bertumbuhan kawasan-kawasan wisata baru yang dikelola secara mandiri maupun kelembagaan. Salah satunya adalah destinasi wisata yang berbasis desa. Wisata desa merupakan suatu sub-sistem dari sistem pariwisata umum, yang saat ini mulai marak. Orang-orang desa berlomba-lomba untuk menggali berbagai potensi untuk menggaet wisatawan demi pundi-pundi rupiah dari mereka. Tidak jarang, background para pengusaha ini sama sekali bukan dari pariwisata. Mereka mengendorse wisata karena ada peluang saja, atau mungkin hanya ikut-ikutan.

Di sinilah kemudian, pada aspek kelembagaan kepariwisataan itu sendiri memiliki sejumlah masalah. Terutama masalah ekologi dan kelembagaannya itu sendiri. Pada aspek ekologi, mereka yang hanya melihat peluang, tidak menghitung beban ekologi seperti sampah, pencemaran air, kawasan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan persoalan lingkungan. Padahal ini merupakan ancaman nyata yang berkaitan dengan ekosistem tempat mereka berkehidupan. Sedangkan pada aspek kelembagaan, substansi pariwisata yang tidak dipikirkan akan mengancam keberlanjutan eksistensialnya. Pada aspek yang kedua, dampaknya sudah jelas, banyak usaha pariwisata tidak berkembang bahkan gulung tikar sebelum menuai kesuksesan.

Demikian pula pada berbagai wisata desa yang marak saat ini. Banyak dari mereka membuat destinasi ini karena “usum usuman” saja. Di Garut misalnya, banyak kawasan baru di desa-desa. Bahkan satu desa itu bisa sampai lima sampai enam titik destinasi yang baru. Mereka mendesain ruang dan tempat seciamik mungkin agar bisa membuat pengunjung betah dan selalu ramai. Namun demikian banyak dari mereka mendirikan destinasi nongkrong baru ini tidak didasarkan kepada satu asessment mengenai potensi pengunjung, kekuatan pengeluarannya, dan sebagainya.

Edukasi Wisata

Problem wisata yang dibuat massal memang akan menemukan masalah di atas. Apalagi di era media sosial (medsos) seperti sekarang, di mana setiap orang yang punya akun medsos bisa dengan mudah berbagi informasi berbagai hal yang dilakukan atau ditemukanmereka di destinasi, terutama yang sedang hits itu. Sebab ada semacam adrenalin kebanggaan jika dalam postingannya itu ada gambar tersebut.

Dalam konteks seperti di atas, maka harus tafsir ulang atas pariwisata, khususnya model destinasi yang berbasis budaya, seperti Masyarakat Baduy. Merujuk kepada data BPS (2017) jenis objek wisata tirta menempati peringkat paling besar di Indonesia, yaitu sebesar 55,15 persen, lalu wisata alam 17,95 persen, wisata buatan 11,74 persen, taman hiburan dan rekreasi 8,37 persen, wisata budaya 6,69 persen, serta kawasan pariwisata yang sebesar 0,1 persen.

Kategorisasi yang sudah dibuat atau disiapkan pemerintah itu sejatinya diiringi edukasi yang komprehensif mengenai destinasi dan hal-hal yang menjadi syarat minimal untuk memasuki kawasan. Sehingga tidak serta merta setiap orang, bisa memasuki kawasan pariwisata, tanpa memiliki pengetahuan dasar di kawasan wisata.

Edukasi pariwisata sangat penting bukan hanya untuk mereka yang akan menjadi pengelola atau pengusaha jasa pariwisata saja. Tetapi konsumen atau masyarakat yang akan menjadi pengunjung atau penikmat satu destinasi harus mendapatkan pendidikan minimal. Sebab, hal ini akan berkaitan dengan keberlangsungan kawasan.

Contoh menarik adalah ketika kita masuk ke kawasan tambang. Biasanya para tamu akan mendapatkan pengetahuan dasar ketika berada di kawasan. Begitu juga ketika kita mau melakukan pendakian ke salah satu gunung. Atau yang paling gampang, ketika kita menggunakan jasa pesawat terbang, di mana sebelum pesawat take off, semua penumpang diedukasi hal mendasar ketika ada di pesawat.

Pendidikan dasar bagi wisatawan ini bisa berdampak banyak kepada destinasi. Sebab mereka akan mendapatkan pengetahuan dasar mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di kawasan wisata. Selain itu, membuat kawasan wisata umumnya itu umumnya harus didukung modal yang cukup banyak. Sehingga pemahaman akan potensi pelancong dan juga beban sosial pasca menjadi destinasi harus disadari sejak awal. Sebab jika tidak, destinasi-destinasi baru ini hanya akan menjadi “kenangan” saja. (zm)

Penulis adalah Ketua Program Studi Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Jakarta; Pengajar Sosiologi Perkotaan. Artikel dimuat Akurat.co, Selasa 13 April 2021.