Tanggungjawab Profetik Pendidikan untuk Generasi Bangsa

Tanggungjawab Profetik Pendidikan untuk Generasi Bangsa

Mencermati tulisan Prof Dinn Wahyudin (https://berita.upi.edu/siswa-kita-di-negeri-jiran/, Jumat, 11/6/2021) melahirkan dua kondisi paradoksal. Di satu sisi ada kondisi haru terkait masih adanya jiwa kemanusiaan dan relawan kemanusiaan yang mau terlibat dalam layanan pendidikan khusus di tengah keterbatasan berbagai hal.

Di sisi lain ada kondisi miris mengenai masih adanya ada bangsa yang mendapatkan layanan pendidikan yang tidak standar dan penuh keterbatasan. Padahal seringkali kita mendengar ucapan para pejabat dan aparatur pemerintahan bahwa kita perlu menyiapkan generasi emas untuk memasuki 1 abad kemerdekaan Indonesia. Kita harus menjadikan generasi milenial, generasi Z dan generasi Alpha sebagai bonus demografi bukan disaster demografi atau bencana kependudukan.

Berdasarkan sensus penduduk Indonesia dengan rumus Gen M+Gen Z+Gen Alpha komposisi penduduk Indonesia menjadi 54.96%.

Mengapa tulisan maha guru Prof Dinn yang sangat informatif dan sekaligus menggugah kesadaran setiap individu warga bangsa khususnya para aparatur negara dan civitas akademika LPTK untuk berefleksi dan mengembangkan sebuah model layanan pendidikan daerah khusus dengan basis standar dan mutu.

Dari tulisan Prof Dinn ini memberikan deskripsi terkait kondisi pendidikan yang di dapat sebagian generasi Indonesia anak dari para TKI yang dengan penuh keterbatasan.

Pendidikan untuk anak-anak TKI ini semestinya tidak hanya mendapatkan pendidikan untuk memenuhi aspek kebutuhan dasar yaitu aksesbilitas belum diikuti dengan mutu. Karena itu berharap pada mutu pendidikan menjadi hal yang bisnis pada anak bangsa dari kelompok ini.

Nampaknya dari tulisan ini sangat minim peran dan partisipasi kalau boleh dikatakan nampak tidak ada atau sangat minim dari negara dimana negara nampaknya belum hadir.

Upaya para relawan dan pihak LSM sebagai panggilan kemanusiaan begitu besar dalam layanan pendidikan di Sabah negara bagian Malaysia ini.

Langkah dan kondisi emergency ini semestinya segera diakhiri sehingga masa depan anak bangsa tetap mendapat kesamaan desain dan kesempatan layanan pendidikan yang mampu memenuhi dan menjawab tantangan zaman abad 21, era RI 4.0, era society 5.0, era teknologi digital dan sebutan lainnya.

Karena mereka para generasi bangsa juga yang kelak akan menghadapi tantangan zaman yang tidak ringan seperti yang dihadapi anak bangsa pada umumnya.

Partisipasi swasta dalam penyelenggaraan pendidikan memang tidak disangsikan lagi sejak era revolusi sampai saat ini. Tapi tugas negara untuk mencerdaskan anak bangsa dimanapun ia berada itu menjadi tugas konstitusional negara. Karena itu negara harus hadir untuk dpt memberikan layanan pendidikan yang bermutu dan standar.

Jumlah yang cukup besar anak bangsa yang berada di daerah khusus perkebunan sawit ini dan daerah lain hendaknya membuka kesadaran profetik kenegaraan bagi aparatur negara bahwa ada anak bangsa yang belum mendapatkan layanan pendidikan sebagaimana anak bangsa di tempat lain.

Pendidikan anak negeri termasuk di negaran jiran dengan kondisi yang sangat terbatas, memprihatinkan dan emergency itu sesungguhnya menjadi jendela dan wajah negara dan bangsa untuk hadir atau tidak nya negara dalam layanan publik bidang pendidikan.

Masalah kumuhnya dan kurang standarnya layanan pendidikan untuk anak bangsa seperti yang tinggal di daerah khusus dan perbatasan seperti di perkebunan sawit ini di Sabah sesungguhnya akan terus melanggengkan kesenjangan antar warga bangsa bahkan melanggengkan kemiskinan pada mereka.

Untuk itu sudah semestinya arah dan orientasi kebijakan pendidikan nasional tidak saja tertumpu pada penyelenggaraan pendidikan di dalam negeri yang sudah berorientasi pada mutu dan standar, tapi juga memberikan ruang yang cukup untuk pendidikan anak bangsa yang tinggal di daerah khusus dan tertentu dengan layanan pendidikan bermutu dan berbasis standar.

Kebijakan pendidikan afirmatif dan proporsional untuk generasi bangsa sudah saatnya terus digalakkan dan diwujudkan.

Adanya sekolah Indonesia yang saat ini sudah ada di beberapa likasi di suatu negara dan jumlahnya terbatas sudah seharusnya ditambah dan dikembangkan. Di sisi lain LPTK juga tidak boleh berdiam diri dan berpangku tangan melihat realitas pendidikan di daerah khusus tersebut. Selain itu LPTK juga ditantang untuk bisa berkontribusi dan menghasilkan desain pengembangan pendidikan khusus dengan tetap berpijak pada standar mutu.

Kolaborasi antara pemerintah, swasta dan LPTK sangat penting untuk mengatasi problematika pendidikan di daerah khusus dengan tetap mampu memberikan layanan pendidikan yang membuat anak bangsa tidak tertinggal jauh dengan generasi bangsa pada umumnya.

Dr Abd Rozak MSi, Dosen Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dan Dosen Program Magister Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (mf)