Tahun Kedua Jokowi dan Tantangan Tiga Tahun Mendatang

Tahun Kedua Jokowi dan Tantangan Tiga Tahun Mendatang

Oleh Adi Prayitno Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik

PEMERINTAHAN Jokowi dan Ma’ruf Amin kini genap berusia dua tahun. Publik menilai ada sejumlah capaian yang layak diapresiasi. Namun, banyak pula catatan kritis yang perlu segera dibenahi. Tentu saja demi meninggalkan warisan politik sesuai dengan ekspektasi di akhir masa jabatan. Salah satu yang mencolok dari keberhasilan Jokowi dan Ma’ruf Amin, soal kemampuan mengurangi polarisasi politik dengan merangkul Gerindra menjadi bagian koalisi pemerintah. Belakangan, PAN ikut bergabung dengan alasan serupa mengurangi pembelahan. Polarisasi memang masih terjadi, tapi tidak setajam saat Pilpres 2019. Secara perlahan polarisasi bisa dikurangi.

Sangat sulit membayangkan bagaimana rumitnya penanganan pandemi covid-19 andai Gerindra dan PAN masih berada di luar kekuasaan. Betapa sulitnya Jokowi dan Ma’ruf Amin menghadapi gempuran kritik dari kelompok oposisi terkait dengan berbagai kebijakan politik strategis penanganan korona. Meski saat bersamaan politik akomodasi terbukti menumpulkan kekuatan oposisi di parlemen.

Capaian kedua, tentang keberhasilan penanganan pandemi covid-19 yang berangsur membaik. Berbeda dengan waktu awal, yang terlihat kebingungan. Saat ini lebih maju. Vaksinasi yang dilakukan secara masif, tracer rutin terkait dengan sebaran virus, serta fasilitas RS jauh lebih memadai dari sebelumnya. Terlepas masih banyak kekurangan, tapi secara umum penanganan korona relatif sistematis dan terukur.

Bahkan, Indonesia disebut sebagai salah satu negara yang dinilai sukses mengendalikan sebaran wabah korona dengan baik. Implikasi positifnya, Indonesia mulai terbebas dari resesi, dan secara perlahan berhasil memulihkan kondisi ekonomi yang tumbuh 7%. Meski tak bisa dibanggakan, setidaknya pertumbuhan ini menjadi angin surga untuk melakukan recovery ekonomi di masa mendatang.

Ketiga, soal hubungan pemerintah dengan kelompok Islam politik. Di tahun kedua, Jokowi dan Ma’ruf Amin tahu betul bagaimana cara memperlakukan kelompok Islam politik di Indonesia. Ada yang digebuk, ada juga yang dirangkul. Terlepas dari berbagai kontroversi, setelah HTI dan FPI dibubarkan, nyaris tak ada kegaduhan yang mengklaim atas nama kriminalisasi Islam. Kondisi politik kian stabil dan terkendali. Pada sisi lain, Jokowi dan Ma’ruf Amin merangkul kelompok Islam arus utama, khususnya NU, menjadi bagian penting membangun narasi politik keagamaan yang senapas suasana batin kebangsaan.

Catatan kritis Di samping keberhasilan, tentunya ada sejumlah catatan kritis terkait dengan dua tahun Jokowi dan Ma’ruf Amin. Pertama, lemahnya komitmen demokrasi. Indeks demokrasi RI menurun. Bahkan, dinilai terendah dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Indikasinya banyak, misalnya, tentang kebebasan berekspresi masih menjadi masalah serius. Mayoritas publik merasa tak nyaman. Bahkan, takut mengkritik pemerintah khawatir dilaporkan atas nama pencemaran nama baik atau tudingan memprovokasi.

Dalam rilis The Ecomist Intelligence Unit (EIU) soal Laporan Indeks Demokrasi 2020, memosisikan Indonesia di peringkat 64 dunia. Meski peringkat RI tetap sama dengan tahun sebelumnya, skor demokrasi cenderung menurun. Parameter yang digunakan dalam menentukan demokrasi dalam sebuah negara, salah satunya soal partisipasi politik, pemilu dan pluralisme, budaya politik, serta kebebasan sipil.

Kedua, indeks persepsi korupsi turun signifikan. Terburuk selama 20 tahun terakhir. Tentu ini menjadi persoalan serius. Di tengah upaya pemerintah menciptakan clean and good governance, nyatanya skor pemberantasan korupsi rendah. Temuan Transparency International Indonesia (TII) 2020 menyebut, Indonesia berada di peringkat 102 dari 180 negara di dunia. Turun tiga poin dari tahun sebelumnya.

Di level ASEAN Indonesia berada di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Timor Leste. Tak hanya itu, hal lain yang turut mengakibatkan ketidakpuasan publik soal pemberantasan korupsi terkait dengan revisi UU KPK dan pemecatan sejumlah pegawai yang dinilai melemahkan KPK dari dalam.

Ketiga, Jokowi dan Ma’ruf Amin dinilai rendah komitmennya terkait dengan HAM. Sepertinya isu HAM dipandang tak terlampau seksi karena jarang sekali dibicarakan. Lebih banyak bicara infrastruktur dan pembangunan ekonomi yang pada praktiknya sampai saat ini masih belum menggembirakan.

Ancaman kutukan periode kedua Kata pepatah tak perlu menangisi susu yang sudah tumpah. Dua tahun banyak hal yang sudah diraih. Banyak pula catatan kritisnya. Ke depan, Jokowi dan Ma’ruf Amin mesti fokus membayar lunas semua janji politiknya, terutama janji pertumbuhan ekonomi, memperbaiki kualitas demokrasi, penanganan korupsi, dan soal HAM. Tak usah lagi beromantisme, apalagi meratapi berbagai hal yang sudah terjadi.

Tentu tak mudah merealisasikan semua janji politik. Tiga tahun mendatang Jokowi dan Ma’ruf Amin berada di bawah bayang-bayang kutukan periode kedua. Ada korespondensi historis yang selalu menyisakan trauma. Di periode kedua SBY, misalnya, muncul oposisi dari dalam. Sejumlah partai koalisi berseberangan dengan kebijakan politik SBY dalam berbagai isu penting. Misalnya, soal kenaikan BBM dan TDL.

Jokowi dan Ma’ruf Amin tentu saja berada di bawah ancaman kutukan periode kedua. Anasir politiknya sudah mulai bermunculan. Sejumlah elite PDIP beberapa waktu lalu mulai mengkritik penanganan korona. Termasuk elite Gerindra, seperti Fadli Zon, tanpa henti mengkritik kebijakan politik pemerintah. Ini tanda-tanda alam yang mesti dibaca serius sebab sudah mulai bermunculan sikap kritis yang datang justru dari elite partai koalisi pemerintah.

Ancaman kedua, yakni soal potensi ditinggalkannya Jokowi dan Ma’ruf Amin karena semua partai koalisi sibuk dengan urusan Pemilu serentak 2024. Sudah menjadi rahasia umum, jelang pemilu semua partai lebih banyak mengurus dirinya ketimbang fokus membantu pemerintah. Pada titik ini Jokowi dan Ma’ruf Amin perlu berhati-hati karena semua janji politik ambisiusnya bisa gagal total.

Saat ini, sudah banyak elite parpol koalisional Jokowi dan Ma’ruf Amin tebar pesona melalui baliho. Ini menjadi penanda serius bahwa partai mulai ancang-ancang menyusun batu bata politik menuju jalan panjang 2024. Tahun depan, sudah masuk tahun politik. Pastinya semua partai akan sibuk dengan dapur masing-masing.

Ke depan, Jokowi dan Ma’ruf Amin harus bisa memastikan semua partai koalisi tetap merasa nyaman sehingga kekhawatiran kutukan periode kedua bisa dihindari. Distribusi kewenangan politik, kunci penting partai selalu happy dalam koalisi. Jangan lagi ada kesan Jokowi hanya percaya penuh satu menteri, terkesan menafikkan lainnya. Ketimpangan kewenangan bisa menimbulkan kecemburuan politik internal koalisi. Sambil lalu, publik selalu berharap Jokowi memberikan ruang terbuka kepada Ma’ruf Amin mengeskplorasi semua kemampuan politiknya. Bukan melulu hanya muncul urusan agama. (sam/mf)

Terbit dihttp:// m.mediaindonesia.com 27 Oktober 2021