Melawan Pancasila, Mengkhianati Kesepakatan Berbangsa

Melawan Pancasila, Mengkhianati Kesepakatan Berbangsa

Ruang Diorama, Berita UIN Online— Sikap melawan bahkan menginginkan penggantian Pancasila sebagai ideologi bangsa bisa dikategorikan sebagai pengingkaran atas kesepakatan kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah dicatatkan para pendiri bangsa. Pancasila merupakan ideologi jalan tengah yang lahir sebagai bentuk kompromi para pendiri bangsa terhadap realitas plural masyarakat Indonesia.

Demikian disampaikan Direktur International Center for Islam and Pluralism, Syafiq Hasyim Ph.D, dalam Lecture Series Keislaman dan Kebangsaan ‘Pancasila: Ideologi Paripurna sebagai Penangkal Radikalisme’ UIN Jakarta di Ruang Diorama, Jumat (26/05/2017).  Menurutnya, orang yang menolak Pancasila bisa dikelompokan sebagai orang yang keluar dari kesepakatan berbangsa dan bernegara. Meminjam istilah Sunni, sikap demikian bisa dikategorikan sebagai bughat.

“Dalam teologi Sunni, kita harus memenuhi kesekapatan yang dicapai dalam sebuah negara. Sejelek apapun, jika sudah ada kesepakatan, maka kesepakatan itu harus dipatuhi sampai ada kesepakatan baru. Jika tidak tercapai kesepakatan baru, kita harus kembali pada kesepakatan yang lama,” paparnya.

Alumnus Freie Universität Berlin ini mensinyalir masih massifnya gerakan yang mengusung ide anti-Pancasila sekaligus menginginkan penggantiannya sebagai ideologi bangsa dengan ideologi lain. “Dan ada kesan, pokoknya (Pancaila harus, red.) diganti, dengan tidak mau dilakukan dialog dan menerima kenyataan bahwa Pancasila sudah merupakan kesepakatan,” paparnya.

Secara historis, papar Syafiq, Pancasila lahir sebagai kesepakatan para founding fathers Indonesia menjadi ideologi bangsa yang mengkompromikan keragaman masyarakat Indonesia. Terlebih sebagai sebuah bangsa dan negara merdeka, lanjutnya, Indonesia tidak dibangun oleh kelompok Muslim semata.

“Karena itu mereka sepakat dengan apa yang kita sebut sebagai middle path ideology yang bisa menjembatani kepentingan umat Islam di satu sisi dan mengakomodasi kepentingan di sisi lain. Maka dari itu, disepakati Pancasila sebagai ideologi tengah, ideologi wasathiyah,” paparnya.

Meminjam teori overlapping consensus dalam perspektif filsafat politik John Rawls, jelasnya, Pancasila merupakan ideologi yang tepat dan sesuai dengan realitas masyarakat Indonesia. Dalam negara yang plural, seperti Indonesia, dimana tidak adanya didominasi oleh satu agama, etnisitas, atau asal-usul masyarakat, maka ideologi yang jalan tengah yang mewadahi seluruh golongan menjadi ideologi yang tepat untuk diberlakukan.

Sebagai ideologi jalan tengah, lanjutnya, Pancasila mengandung sejumlah kompromi yang mewadahi kepentingan semua pihak. Sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, misalnya. Bagi kalangan Muslim, ia merepresentasikan konsep tauhid. Sedang bagi non-Muslim, redaksi sila ini mengakomodir konsep teologis umat agama-agama selain Islam.

“Karena itu, kita tidak bisa kemudian di tengah-tengah jalan mengusulkan agar Pancasila digantikan dengan alasan apapun. Karena jika begitu, kita berarti memecah kesepakatan,” tandasnya.

Lebih jauh, Hasyim menandaskan, Pancasila sebagai ideologi jalan tengah diperlukan untuk menjaga sustainabilitas kehidupan berbangsa yang plural. Selain mengandung kompromi yang mengakomodir kepentingan seluruh elemen bangsa, penerimaan Pancasila sebagai ideologi bangsa juga telah disepakati oleh sejumlah organisasi keislaman moderat dan popular di tanah air, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang merepresentasikan mayoritas Muslim tanah air.“Karena itu, legalitas Pancasila di kalangan Islam sendiri sudah kokoh,” tandasnya. (farah/yuni nurkamaliah/zm)