Sudahkah kita Menjadi Muttaqin?

Sudahkah kita Menjadi Muttaqin?

Salah satu target kita dalam berpuasa ialah untuk memperoleh derajat orang-orang bertaqwa (muttaqin). Apakah sudah merasa ada tanda-tanda ketakwaan di dalam diri kita? Yang paling tahu adalah Allah SWT dan diri kita sendiri.

Salah satu tanda ketakwaan ialah munculnya kelembutan di dalam hati, adanya keluhuran niat di dalam pikiran dan kesediaan diri untuk berbagi dengan orang lain, sebagaimana diformulasikan di dalam QS al-Baqarah: 3-4 dan Ali Imran: 134-135. Selama 11 bulan, kita menjadi hamba yang bebas dan mungkin di antara kita ada yang liar, gentayangan ke sana-kemari mencari mangsa.

Maka, selama sebulan penuh di dalam bulan Ramadhan ini kita ditempa dan di-recharge energi spiritualitas kita, semoga meninggalkan bekas yang dalam. Bulan Ramadhan ibarat oase di tengah padang pasir dan memberikan kepuasan kepada kafilah yang sedang berlalu.

Bulan Ramadhan adalah manifestasi dari rahmaniah dan rahimiah Allah SWT. Allah SWT menggambarkan diri-Nya di dalam dua kualitas, yaitu kualitas ketegaran dan keagungan (jalaliyyah/struggling) serta kualitas kelembutan dan kasih sayang (jamaliyyah/nurturing).

Melalui nama-nama-Nya, kita bisa mengenal bahwa Allah SWT lebih menonjol sebagai Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang dari pada Tuhan Yang Maha Pemurka dan  Pedendam. Seolah-olah Allah SWT memperkenalkan diri-Nya tidak untuk ditakuti, tetapi untuk dicintai.

Seorang yang mendekati Allah SWT lewat pintu maskulin akan mengesankan Tuhan bersifat transenden, jauh, berserah diri, struggling dan menakutkan. Seseorang yang mendekati Tuhan lewat pintu feminin akan mengesankan Tuhan bersifat imanen, dekat, dominan, struggling dan lebih cepat dicintai dari pada ditakuti.

Sebagai orang yang telah menjalani pausa dan amaliah Ramadhan sebulan penuh, seniscayanya kita telah berada pada maqam spiritual yang lebih tinggi, syukur kalau di antara kita sudah ada yang masuk ke derajat paling tinggi, yaitu muttaqun (QS al-Hujurat [49]: 13).

Tanda-tanda orang muttaqun tidak saja menaruh kasih dan perhatian kepada sesama manusia, tapi juga kepada makhluk-mahkluk Tuhan yang lain. Idealnya, orang yang berpuasa sudah dapat menciptakan kualitas ukhuwah basyariah, ukhuwah islamiyah, dan ukhuwah makhluqiyah.

Kualitas muttaqin yang dijanjikan Tuhan bagi mereka yang menjalankan puasa secara ikhlas dan baik bukanlah janji sederhana. Kualitas muttaqin merupakan dambaan setiap orang. Selain akan dilihat sebagai rahmat oleh sesama manusia dan sesama makhluk Tuhan, yang bersangkutan juga akan mengalami pengalaman spiritual yang mengasyikkan.

Seorang yang memiliki takwa akan merasakan kelapangan dada, meniru sifat Tuhan yang Mahalapang (al-Wasi’). Hujatan dan celaan atau pujian dan sanjungan apa pun yang dialamatkan orang kepadanya tidak lagi akan ditanggapi secara emosi berlebihan karena dadanya sedemikian lapang.

Berbeda dengan orang yang tidak memiliki unsur ketakwaan, selalu diwarnai suasana batin yang fluktuatif. Jika dihujat dadanya terasa sumpek dan jika disanjung lehernya akan bertambah panjang. Orang yang bertakwa sulit dikenali kapan ia ditimpa musibah dan kapan ia dikaruniai rezeki.

Ia memberikan respons yang biasa kepada semua yang datang kepadanya. Orang yang bertakwa akan menyadari Allah SWT sebagai Tuhan makrokosmos dan mikrokosmos. Manusia sebagai makhluk mikrokosmos merupakan bagian yang teramat kecil di antara seluruh makhluk ciptaan Tuhan.

Meskipun dipercaya oleh Tuhan sebagai khalifah di bumi (khala’if al-arda), manusia tidak sepantasnya mengklaim Allah SWT lebih menonjol sebagai Tuhan manusia dari pada Tuhan makrokosmos. Pemahaman yang demikian dapat memicu egosentrisme manusia untuk menaklukan, menguasai, dan mengeksploitasi alam raya sampai di luar ambang daya dukungnya, bukannya bersahabat dan berdamai sebagai sesama makhluk dan hamba Tuhan.

Tuhan tidak hanya memperhatikan kepentingan manusia, sebagaimana pemahaman yang keliru sebagian orang terhadap konsep penundukan alam raya (taskhir) kepada manusia. Seolah-olah konsep taskhir adalah ‘SIM’ untuk menaklukan alam semesta.

Padahal, konsep taskhir sebenarnya bertujuan untuk merealisasikan eksentensi asal segala sesuatu itu sebagai the feminine nature, yang mengacu pada keseimbangan kosmos dan ekosistem. Manusia sebagai khalifah selayaknya menjalankan fungsi kekhalifahannya dan senantiasa mengidentifikasikan diri dengan the Feminine God.

Sekiranya demikian, sudah barang tentu tidak akan pernah terjadi kekacauan lingkungan alam dan lingkungan sosial. Sebaliknya, yang akan terjadi adalah kedamaian kosmopolitan (rahmatan lil’alamin) di tingkat makrokosmos dan negeri tenteram di bawah lindungan Tuhan (baldatun thayyibatun wa rabbun gafur) di tinggkat mikrokosmos.

Hanya bagi mereka yang berpuasa yang dapat menjelaskan kaitan antara mikro kosmos, Tuhan dan makrokosmos. Mereka akan merasakan bagaimana peranan puasa dalam menjalankan misi dan kapasitasnya sebagai khalifah dan representasi Tuhan di bumi. Orang-orang yang demikian inilah sesungguhnya yang menjalankan konsep ketauhidan yang paling ideal.

Mereka meganggap dirinya sebagai makhluk mikrokosmos yang mempumyai konsep sesatuan dengan makhluk makrokosmoas. Di tingkat kemanusiaan, mereka dengan sendirinya berupa menyingkirkan kesenjangan sosial yang ada di dalam masyarakat dalam upaya mewujudkan keutuhan sesama makhluk mikrokosmos.

Konsep integralistik secara internal dan secara eksternal ini merupakan perwujudan perilaku insan kamil dan inilah konsep tauhid yang sesungguhnya. Bulan Ramadhan adalah bulan yang serat dengan latihan-latihan spiritual untuk berusaha memperoleh martabat yang lebih tinggi di sisi Allah SWT.

Di siang hari, kita berpuasa untuk mencontoh sifat-sifat Tuhan. Tuhan tidak makan, Tetapi memberi makan. Baru saja kita menyelesaikan satu ujian berat, yaitu menjalani ibadah puasa sebulan penuh, menahan diri dari tidak makan, tidak minum, dan tidak berhubungan seks, meskipun itu semua sepenuhnya berada di bawah wenangan kita.

Semoga predikat muttaqin yang dijanjikan Allah SWT berhasil kita raih dan dapat dipertahankan sampai bulan Ramadhan berikutnya. Berpuasa dalam arti menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum bisa menjadi upaya meneladani Tuhan. Tuhan memberi makan, tetapi tidak makan (Huwa yuth’im wala yuth’am/QS [6]: 14).

Tuhan tidak mempunyai teman seksual (Walam yakun shahibah/QS [6]: 101). Diharapkan pada diri yang berpuasa sesantiasa mengendalikan diri dari sifat-sifat tercela. Sebaliknya, mereka diajurkan untuk mengembangkan sifat-sifat utama, seperti meneladani Tuhan dalam sifat-sifat-Nya yang baik, misalnya Tuhan Maha Pengasih (al-Rahman), Maha Penyayang (al-Rahim), Maha Pemaaf (al-‘Afuw), Maha Bijaksana (al-Hakim), Maha Adil (al-Adl), Maha Sopan Santun (al-Lathif), Maha Berkreasi (al-Khaliq), Maha Pemberi (al-Wahb), dan beberapa sifat-sifat lainnya yang terdiri atas 99 nama yang lebih dikenal dengan (al-Asma’ al-Husna).

Manusia dituntut meneladaninya sebatas kemampuannya. Orang-orang yang tidak berpuasa, tetapi tidak menampakkan bekas sebagaimana sifat-sifat Tuhan tadi, dikhawatirkan mereka itulah yang tidak memperoleh sesuatu, kecuali lapar dan dahaga. Orang yang dapat meneladani sifat-sifat Tuhan itulah yang sesungguhnya disebut orang bertakwa (muttaqin), sebagaimana dijanjikan bagi orang-orang yang berpuasa.

Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Alquran Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Dialog Jumat Republika, 31 Mei 2019. (lrf/mf)