Sudah

Sudah

Pemilu presiden dan legislatif usai sudah. Rabu, 17 April 2019. Rakyat telah menentukan pilihannya di balik 5 kotak suara putih. Kita tunggu Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan pemenangnya. 01 atau 02.

Menunggu bukan perkara ringan. Apalagi terkait psikologi kontestan dan pendukung. Kedua kubu saling klaim kemenangan berdasarkan data masing-masing. Menunggu adalah proses berserah diri kepada Tuhan.

Berserah diri bukan berarti diam tidak bekerja. Pihak-pihak berkepentingan memantau kinerja KPU agar profesional, adil, jujur, dan tidak memihak. Kesalahan input data bisa saja terjadi karena pekerjaannya besar, membutuhkan konsentrasi, stamina tinggi, dan menyangkut kepentingan rakyat banyak. Semua mata rakyat tertuju kepada kinerja KPU.

Setelah berusaha maksimal, menang atau kalah harus diterima dengan lapang dada. Kesyukuran atau kesabaran. Klaim kemenangan, menyebar hoax, fitnah, di masa menunggu adalah tindakan tidak dewasa, tidak perlu, dan kontra produktif.

Dari Tuhan segala yang kita miliki dan di jalan-Nya kita pergunakan. Besar atau kecil sebuah perjuangan akan ringan jika diniatkan untuk pengabdian. Keimanan pula yang membimbing bahwa setiap perjuangan harus disertai kejujuran.

Siapa pun yang terlibat dalam pemilu harus jujur agar pemimpin terpilih betul-betul pilihan mayoritas rakyat. Bukan hasil kecurangan yang terorganisir. Kerja keras capres dan tim sukses akan sia-sia jika ujungnya adalah kecurangan.

Dalam setiap kontestasi, kemenangan dan kekalahan adalah pasti. Sama dengan beratnya proses berjuang, menerima kemenangan atau kekalahan membutuhkan jiwa besar. Yang menang harus rendah hati, yang kalah harus sabar dan legowo.

Tentu saja lebih berat menerima kekalahan daripada kemenangan. Kekalahan bukan akhir perjuangan sebab medan perjuangan sungguh beragam. Menjadi presiden hanya satu dari ribuan tugas kekhalifahan manusia. Tidak ada yang tahu, kedudukan apa yang bisa menjadikan seseorang selamat dunia dan akhirat.

Bagi pemenang, justeru merupakan awal pengabdian di jalan Tuhan. Menjadi presiden bagi rakyat Indonesia tidak mudah. Setiap kebijakan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat di tangan presiden. Petani, nelayan, buruh, dan guru honorer, belum juga sejahtera hidupnya.

Singkatnya, kemenangan dan kekalahan merupakan titik sama untuk memulai bekerja pada kedudukan yang berbeda. Yang mulia di mata Tuhan adalah bukan kedudukan seseorang tetapi kualitas manfaat yang diberikan kepada sesama.

Tidak perlu lagi perdebatan siapa menang dan kalah. Biarlah KPU yang akan mengumumkan pada saatnya. Tugas kita usai sudah saat mencoblos pilihan masing-masing. Kita hargai perbedaan pilihan meskipun satu rumah, satu tempat kerja, atau satu organisasi.

Kedewasaan beragama dan berbangsa kita diuji pascapemilu. Apakah kita kembali bekerja normal seperti biasa atau menjadi provokator pertikaian antar sesama anak bangsa. Sudah, tidak perlu berkata, menulis, atau membagi berita yang belum tentu kebenarannya. Tidak perlu melakukan hal yang di luar kapasitas kita. Sudah.

Dr Jejen Musfah MA, Kaprodi Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Suara Guru PB PGRI. 20 April 2019. (lrf/mf)