STF Akan Paparkan Hasil Riset Praktik Filantropi Masyarakat Muslim

STF Akan Paparkan Hasil Riset Praktik Filantropi Masyarakat Muslim

 Kampus UIN, BERITA UIN Online - Praktik filantropi Islam berkeadilan sosial di Indonesia saat ini menunjukkan potensi perkembangan tinggi menyusul penguatan semangat gerakan filantropi yang didasarkan pada basis ajaran Islam, kreativitas praktik, dukungan pemerintah, dan pemenuhan kriteria-kriteria filantropi berkeadilan sosial. Hal ini bisa ditemukan dalam berbagai praktik filantropi di tingkat individu, program, lembaga, maupun asosiasi di Tanah Air yang berkembang pesat dalam dua dekade terakhir.

Demikian benang merah pemikiran hasil temuan riset Social Trust Fund (STF) UIN Jakarta bertajuk “Fenomena Praktik Filantropi Masyarakat Muslim dalam Kerangka Keadilan Sosial di Indonesia”. Temuan riset tersebut akan disampaikan dalam sebuah seminar nasional di Jakarta, Selasa (27/3/2018). Para pembicara yang akan hadir dalam desiminasi hasil riset itu adalah Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama RI, HM Fuad Nasar MSc, Ketua Badan Pengarah Perhimpunan Filantropi Indonesia Ir Erna Witoelar, Pengurus Badan Amil Zakat Nasional KH Masdar F Mas’udi, Guru Besar dan Dewan Pembina STF UIN Jakarta Prof Dr Azyumardi Azra CBE, dan Direktur Program Dompet Dhuafa M. Sabeth Abilawa SEI ME.

Dalam siaran persnya yang diterima BERITA UIN Online, Senin (26/3/2018), Direktur STF, Dr Amelia Fauzia, mengatakan, diseminasi hasil riset yang dilaksanakan Divisi Riset STF UIN Jakarta itu memanfaatkan metode kualitatif untuk membaca dan memetakan fenomena praktik filantropi masyarakat Muslim. Metode ini dipadu dengan pendekatan interdisipliner baik dari sudut pandang studi filantropi, sejarah sosial kontemporer, sosiologi agama, dan studi keislaman guna melihat profil filantropi Islam secara komprehensif.

“Penelitian ini adalah pemetaan awal mengenai perkembangan terkini praktik filantropi masyarakat Muslim untuk mengetahui apakah praktik filantropi yang berkeadilan sosial sudah berkembang di Indonesia, dan apa faktor pendorong, peluang serta tantangannya,” ungkap Amelia.

Data-data penelitian sendiri digali di delapan provinsi, yaitu DI Aceh, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Timur. Kedelapan provinsi dipilih berdasar pertimbangan keberadaan aktivitas organisasi filantropi Islam, baik yang berbasis pemerintah atau masyarakat, wilayah mayoritas dan minoritas Muslim, serta konteks sosial politik masyarakat dan pemerintah lokal.

Selain itu, sejumlah lembaga filantropi Islam seperti Lembaga Amil Zakat (LAZ), Badan Amil Zakat (BAZ), lembaga kemanusiaan, CSR, lembaga wakaf, akademisi, dan aktivis turut terlibat dalam penelitian ini melalui focus group discussion (FGD) di empat provinsi (Aceh, Kalimantan Timur, Jakarta dan Jawa Timur). Observasi, studi kasus lembaga/program, dan indepth interview juga dilakukan. Sedangkan pencarian datanya  dilakukan sejak September 2017 hingga Maret 2018.

Amelia menjelaskan, hasil penelitian mencatat bahwa dalam dua dekade terakhir praktik filantropi Muslim di Tanah air terus menunjukkan kecenderungan penguatan.

Kecenderungan ini dapat dilihat dari sejumlah indikator, misalnya pertambahan jumlah organisasi baik berbasis masyarakat dan pemerintah, jumlah sumbangan yang dikeluarkan baik dalam bentuk sedekah, zakat, maupun wakaf, dan adanya penyaluran bantuan ke masyarakat sasaran di luar Indonesia.

Sementara dari aspek organisasi filantropi, jumlah lembaga amil zakat teregistrasi resmi terus meningkat di atas 200-an buah. Begitu juga zakat dan wakaf, masing-masing mencatatkan kenaikan nilai dan objeknya hingga kisaran Rp 30 triliun dan Rp 400-an objek wakaf tanah.

“Penyaluran bantuan ke masyarakat sasaran di luar Indonesia juga terus meningkat. Seluruhnya membuktikan kecenderungan penguatan filantropi Muslim di Indonesia,” katanya.

Amelia yang juga menjadi Ketua Tim Riset menjelaskan bahwa realitas praktik filantropi seperti demikian menyediakan ruang bagi penumbuhan bentuk filantropi yang berkeadilan sosial. Menurutnya, filantropi berkeadilan sosial merupakan bentuk kedermawanan yang lebih maju dibanding praktik kedermawanan karitas yang terbatas pada pemberian layanan bersifat jangka pendek atau pun filantropi yang bersifat pemberdayaan dan jangka panjang.

Berbeda dengan dua bentuk gerakan filantropi sebelumnya, karitas maupun filantropi, filantropi berkeadilan sosial melangkah lebih jauh dengan mendorong tumbuhnya keadilan atau perubahan sosial (social justice philanthropy atau social change philanthropy).

“Filantropi berkeadilan sosial yang menjadi tekanan dalam penelitian ini adalah praktik berderma yang bertujuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar penyebab terjadinya ketidakadilan sosial termasuk kemiskinan,” tandas Amelia.

Merujuk pada National Committee for Responsive Philanthropy dan Social Justice Philanthropy, sebuah praktik filantropi disebut filantropi yang berkeadilan sosial jika memenuhi empat kriteria. Pertama, memiliki target menghilangkan akar masalah penyebab kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan sosial. Kedua, memiliki program jangka panjang, memberdayakan dan berkelanjutan. Ketiga, menggunakan pendekatan kemanusiaan yang non-diskriminatif dan bersifat inklusif. Keempat, memiliki managemen yang transparan, akuntabel dan responsif dalam melakukan grantmaking.

Adapun di level program, Amelia mencontohkan, beberapa program sudah menunjukan kecenderungan filantropi yang berkeadilan sosial. Di antaranya seperti Program Pemberdayaan Lingkungan oleh LAZ Harfa, Program Desa Berdaya oleh Rumah Zakat, Program Penguatan Forum Kerja Sama Kemanusiaan Lintas Agama oleh PKPU Human Initiative, dan Beasiswa Perdamaian oleh STF UIN Jakarta.

Mayoritas LAZ memiliki kegiatan tanggap bencana yang nondiskriminatif. Di tingkat kelembagaan, misalnya, lembaga yang cukup kuat potensi keadilan sosialnya pun sudah ada pada Dompet Dhuafa dengan beragam kegiatan pemberdayaan, termasuk penguatan demokrasi, seperti Pusat Belajar Anti Korupsi dan Lazismu, seperti Program Klinik Apung di Ambon dan Indonesia Terang di NTT. Di wilayah minoritas muslim, Dompet Sosial Madani di Bali juga memberikan contoh inklusivitas dan toleransi Islam-Hindu, misalnya dalam staf medis, bantuan ke adik Ovani, dan parsel Nyepi.

Amelia menambahkan, perkembangan filantropi berkeadilan sosial sendiri merupakan hal yang positif bagi terciptanya masyarakat yang sejahtera, terbebas dari akar kemiskinan dan ketidakadilan sosial melalui pendekatan yang inklusif. Sebab, berbeda dengan filantropi jenis karitas atas filantropi semata yang terfokus untuk merespon akibat atau dampak, filantropi berkeadilan sosial berusaha mengurai akar masalah dari kemiskinan sendiri.

“Filantropi berkeadilan sosial memiliki target menghilangkan akar masalah penyebab kemiskinan dan ketidakadilan sosial, memiliki program jangka panjang yang memberdayakan, menggunakan pendekatan kemanusiaan yang non-diskriminatif dan bersifat inklusif, serta menerapkan managemen transparan dan akuntabel,” tandasnya.

Kendati menunjukan kecenderungan penguatan, sambung Amelia, namun riset menemukan banyaknya tantangan yang harus dihadapi dalam mengakomodir perkembangan praktik filantropi yang berkeadilan sosial, baik dari level regulasi dan kebijakan pemerintah hingga landasan formal keagamaan. Dari sisi pertama, regulasi dan kebijakan pemerintah yang kurang terintegrasi dan tersinergi dengan baik membuat dorongan terhadap filantropi yang berkeadilan sosial belum begitu optimal. Dari sisi kedua, berkembangnya kesadaran sosial untuk membantu masyarakat secara lebih luas juga membutuhkan fikih filantropi konvensional yang lebih akomodatif, terutama pemaknaan konsep delapan ashnaf (penerima manfaat).

Karena itu, menurut Amelia, berdasar hasil penelitian seperti dipaparkan Divisi Riset STF UIN Jakarta menyodorkan sejumlah rekomendasi bagi penyempurnaan sekaligus penguatan arah filantropi Islam di Tanah Air. Di antara rekomendai itu dalah perlunya perumusan regulasi pemerintah yang berpihak agar praktik-praktik filantropi Islam bisa bergerak ke arah filantropi berkeadilan social, perlunya keterlibatan para pemegang otoritas keagamaan dalam merumuskan fikih dan tafsir yang kontekstual dan inklusif agar praktik filantropi Islam bisa betul-betul berkontribusi bagi perubahan masyarakat secara efektif, yang menguatkan pilar-pilar kebangsaan dan kemanusiaan, dan perlunya otoritas berwenang seperti kementerian/lembaga negara dan agensi internasional melakukan program pengarusutamaan ke lembaga-lembaga filantropi Islam untuk mengenalkan konsep-konsep filantropi berkeadilan sosial.

STF merupakan lembaga sosial kemanusiaan (non-struktural) di bawah UIN Jakarta. Institusi yang berdiri sejak tahun 2012 ini bekerja atas dasar non-profit, transparan, dan akuntabel. Empat pilar kegiatan besar yang menjadi fokusnya, yaitu charity (amal), advocacy (advokasi), research (riset), dan endowment (wakaf). Keempat pilar utama ini seluruhnya dijalankan selaras dengan visi STF UIN Jakarta yang ingin mewujudkan aktivitas filantropi demi terciptanya dunia yang lebih baik bagi misi kemanusiaan.

Dengan fokus seperti demikian, STF UIN Jakarta telah berupaya menjaring dana filantropi publik dan menyalurkannya ke masyarakat prioritas sasaran seperti beasiswa mahasiswa berprestasi tapi kurang mampu, asuransi mikro bagi kelompok sosial menengah bawah, wakaf, dan pembangunan literasi anak-anak wilayah pinggiran dan tertinggal. Selain itu, STF UIN Jakarta juga menjembatani penyaluran bantuan community development bagi warga terdampak konflik, seperti di Rakhine State, Myanmar, melalui Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM) dan melakukan penelitian tentang aktivitas filantropi Islam di Indonesia. (ns)