Siti Napsiyah: Deradikalisasi Butuh Pendekatan Integratif

Siti Napsiyah: Deradikalisasi Butuh Pendekatan Integratif

[caption id="attachment_18728" align="alignleft" width="300"]Dr Siti Napsiyah Arifuzzaman Dr Siti Napsiyah Arifuzzaman[/caption]

Depok, Berita UIN Online— Program deradikalisasi perlu mempertimbangkan social work integrative approach atau pendekatan kerja sosial yang integratif sehingga bisa lebih efektif menekan kasus dan pelaku terorisme. Selain itu, program juga lebih membuka diri dengan melibatkan pekerja sosial (social worker) yang memiliki latar belakang pengetahuan dan keahlian sesuai.

Demikian disampaikan Siti Napsiyah Ariefuzzaman dalam sidang disertasi doktoralnya, Pendekatan Integratif dalam Pembinaan Narapidana Kasus Terorisme: Studi Kasus Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang dan Balai Pemasyarakatan Jakarta Timur-Utara di FISIP, Universitas Indonesia, Depok, Senin (19/6/2017).

Sidang disertasi menghadirkan sejumlah panel yang dipimpin Prof. Dr. Isbandi Rukminto Adi, yakni Prof. Dr. Jamhari Makruf (UIN Jakarta), Dr. Makmur Sunusi (Kementrian Sosial RI), Fentini Nugroho Ph.D (Kesos UI) dan Dr. Eva Anjani, SH. MH (Fakultas Hukum UI). Bertindak sebagai promoter Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono M.Sc dan Ko-Promotor Dr. Mohammad Kemal Dermawan, M.Si.

Dosen Prodi Kesejahteraan Sosial, FIDKOM, UIN Jakarta ini menjelaskan, Social Work Integrative Approach bisa difahami sebagai pendekatan yang menuntut keterlibatan lintas profesi, lintas keilmuan, dan dilaksanakan secara komprehensif baik level mikro, mezzo, atau makro. Untuk itu, sebagai sebuah pendekatan, maka deradikalisasi pada narapidana teroris harus melibatkan petugas lapas, ahli agama, psikolog, kriminolog, dan pekerja sosial secara terencana dan sistematis.

Dengan pendekatan yang lintas profesi dan keilmuan, sebutnya, diharapkan program deradikalisasi bisa berjalan efektif dengan mencegah terpidana teror untuk tak kembali melakukan aksinya dan hidup normal di tengah-tengah masyarakat. “Seorang terpidana teroris diharapkan kembali ke masyarakat, diterima oleh masyarakat dan berperan dalam masyarakat,” jelasnya.

Dari sejumlah profesi yang terlibat, Napsiyah menekankan pentingnya keterlibatan pekerja sosial. Dengan latar belakang keilmuan dan keahlian yang mereka miliki, jelasnya, pekerja sosial bisa menjadi mediator paling penting dalam program deradikalisasi.

“Social worker bisa menjadi case manager (manajer kasus, red.) yang bertanggungjawab atas penanganan seorang narapidana sampai tuntas,” jelas perempuan yang pernah menamatkan Bachelor of Social Work (BSW) dan Master of Social Work (MSW) di McGill University, Montreal, Kanada ini.

Lebih jauh, Napsiyah menjelaskan, program pembinaan narapidana kasus terorisme (napiter) di lembaga pemasyarakatan selama ini belum dilakukan berdasarkan pada pembinaan khusus bagi narapidana terorisme. Akibatnya, alih-alih berhenti, tidak jarang napiter malah kembali melakukan teror. Tak hanya itu, keberadaan mereka yang tidak diberikan program khusus malah mengkontaminasi petugas lapas dan narapidana lain untuk turut menjadi radikal atau bahkan lebih radikal setelah menghuni Lapas.

Napsiyah dalam risetnya juga mencatat adanya tipologi sikap napiter setelah mendapat program pembinaan di lembaga pemasyarakatan selama ini. Tipologi utama adalah golongan militan non-kooperatif, yaitu kelompok yang secara karakteristik berideologi radikal yang politis, tidak menerima pendapat lain, mengkafirkan orang lain, terorisme sebagai jihad, non-kooperatif dan menganggap lapas adalah thogut.

Tipologi selanjutnya, golongan militan kooperatif, memiliki ideologi radikal non politis, sebagai penganut keyakinan dengan keterlibatan jaringan nasional dan non ISIS. terakhir, golongan partisipan (follower) dengan karakteristik mengkultuskan pemimpin kelompok tertentu dan bermotif ekonomi. Golongan ini tidak terlibat dalam aksi terorisme hanya memberi dukungan fasilitas. (farah nh/yuni nurkamaliah/zm)