Seminar Nasional Fakultas Ushuluddin: Islamophobia di Mata Dunia

Seminar Nasional Fakultas Ushuluddin: Islamophobia di Mata Dunia

Gedung Fakultas Ushuluddin, BERITA UIN ONLINE - Fakultas Ushuluddin menggelar seminar nasional dengan tema “Islamophobia Within Muslim & Islamophobia Without Islam: Kebencian atas Muslim dan Islam, antara Asumsi, Fakta, dan Prasangka” pada Senin (25/3/2024). 

Seminar ini mendatangkan empat narasumber yaitu Guru Besar Filologi dan Kebudayaan Islam Universitas Koln Jerman, Prof. Dr. Edwin P. Wieringa, Guru Besar Sosiologi Agama UIN Jakarta, Prof. Dr. Amin Nurdin, MA, Mubalig Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan, dan Alumni S3 Ecole Normale Superieure (ENS) Lyon Prancis, Andar Nubowo, DEA, Ph. D.

Dekan Fakultas Ushuluddin, Prof. Ismatu Ropi, MA., Ph.D dan Wakil Rektor Bidang Kerja Sama, Din Wahid, MA., Ph.D, memberikan sambutan di seminar nasional ini. Ismatu menyampaikan pidato pembuka tentang islamophobia, menurutnya islamophobia merupakan sebuah alasan untuk membenci Islam, baik dari eksternal maupun internal Islam. Islamophobia sendiri sudah ada sejak dahulu yang diwali dengan adanya perang salib.

Sedangkan Din Wahid dalam sambutannya menyampaikan tiga hal yang menjadi penyebab islamophobia terjadi. Islam yang dianggap “sedikit” bertentangan dengan budaya Islam mayoritas langsung dianggap sebagai Islam radikal.

“Ada tiga hal yang menjadi penyebab terjadinya islamophobia, pertama sejak dulu Nabi Muhammad selalu jadi bulan-bulanan yang dibuat karikatur, banyak seniman di Eropa yang memakai tokoh Muhammad sebagai bahan ejekan terhadap Islam. Kedua, banyak kasus Al-Qur’an itu sering dibakar di negara barat sana. Ketiga, terkait jilbab di beberapa negara Eropa khususnya di Perancis ada larangan orang memakai jilbab, orang yang memakai jilbab dianggap aneh dan direndahkan,” jelas Din Wahid.

Seminar dilanjutkan dengan pemaparan oleh empat orang narasumber yang dimoderatori oleh Dosen Fakultas Ushuluddin, Saadatul Jannah, MA. Saadatul menyampaikan bahwa isu tentang islamophobia selalu relevan untuk didiskusikan selama adanya Islam, dan isu tentang teroris pun masih dipertanyakan apakah yang melakukannya ialah benar-benar muslim atau oknum eksternal Islam yang menggunakan identitas muslim.

Edwin yang memiliki latar belakang ilmu di bidang kebudayaan Islam Indonesia memberikan pandangannya dari sudut pandang sejarah kebudayaan Islam. Ia menjelaskan islamophobia sudah ada sejak era sebelum masuknya Islam ke Indonesia karena di masa itu Islam dianggap sebagai agama yang tidak relevan di Indonesia.

Pada masa itu, mayoritas masyarakat Indonesia masih menganut agama Buddha dan Islam sendiri adalah agama yang datang dari luar negeri, yaitu Arab Saudi, jadi masyarakat menganggap budaya di Arab Saudi tidak sama dengan budaya di Indonesia sehingga Islam tidak layak ada di Indonesia. Pernyataan itu ia dapatkan dari literatur kuno, Suluk Gatholoco, yang membahas kritik Islam dan priayi Islam di Jawa.

Berbeda dengan Edwin yang melihat islamophobia dari kacamata sejarah, Amin Nurdin dan Andar Nubowo melihat islamophobia dari sudut pandang masa kini. Amin menyebutkan dua hal yang menjadi bibit timbulnya islamophobia adalah adanya perang salib dan trauma perang antara kaum Kristen dan Katolik.

“Fenomena World Trade Center (WTC) di New York adalah puncak dari islamophobia, tapi sebelumnya islamophobia sudah ada dan rasisnya itu menyerang biologis dan psikologis. Setelah tragedi WTC, rasisnya jadi ke budaya Islam itu sendiri,” kata Amin.

Dari sudut pandang Rakeeman yang merupakan perwakilan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Islam sendiri masih bersikap islamophobia terhadap sesamanya. Sikap ini dilihat dari perlakuan yang diterima jemaat ahmadiyah di Indonesia masih tidak dapat dikatakan adil karena Rakeeman mengaku bahwa kaum ahmadiyah masih dikucilkan dan bahkan dikurung di dalam ruangan kecil yang dindingnya terbuat dari triplek.

Pandangan-pandangan terhadap kaum ahmadiyah menurut Rakeeman tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Ia menyebutkan beberapa hal salah yang tersebar di publik tentang ahmadiyah harus diluruskan dengan melakukan pendekatan terhadap kaum ahmadiyah.

“Ahmadiyah dianggap tidak percaya Tuhan, atheis, juga dibilangnya tidak puasa, hajinya bukan di Mekkah tapi di India atau dimana gitu, juga nabinya bukan Nabi Muhammad. Itu semua tidak benar dan kekeliruan itu terjadi karena orang-orang tidak mengenal ahmadiyah dengan baik. Jadi sebaiknya kita semua dari berbagai kalangan, dari kelompok Islam yang berbeda harus melakukan pendekatan dan lebih mengenal jauh satu sama lain,” jelas Rakeeman.

Pemaparan Rakeeman menjadi penutup pembahasan seminar ini dan disimpulkan oleh Saadatul Jannah sebagai moderator bahwa sebagai muslim khususnya muslim di zaman modern harus memiliki pola pikir yang modern atau moderat karena pola pikir Islam moderat dapat menjadi pondasi untuk memiliki pandangan yang lebih terbuka terhadap permasalahan Islam di dunia. Ia berharap seluruh mahasiswa UIN Jakarta berjiwa moderat agar Islam dapat dipandang dunia sebagai agama yang damai.

(NadiaNur Fadilah/ Fauziah/ Noeni)