Seminar FU: Hak Pemeluk Agama Minoritas Belum Terpenuhi

Seminar FU: Hak Pemeluk Agama Minoritas Belum Terpenuhi

Teater FU, BERITA UIN Online— Regulasi kehidupan keagamaan Indonesia dinilai belum cukup mengakomodir hak-hak kelompok keagamaan minoritas, terutama kelompok keagamaan kategori agama-agama lokal. Definisi ‘agama’ atau ‘religion’ yang sempit diduga menjadi penyebab berlangsungnya minoritisasi kelompok keagamaan kecil dan lokal.

Demikian benang merah seminar Nasional ‘The Existence of Religious Minority in Indonesia’ di Ruang Teater Fakultas Ushuluddin, Rabu (27/09/2017). Seminar yang digelar Jurusan Studi Agama-Agama ini menghadirkan sejumlah narasumber, yakni Dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya UGM Samsul Mu’arif Ph.D, Dosen Studi Agama-Agama UIN Jakarta Ismatu Ropi Ph.D, dan Bhikkhu Dhammasubho Maha Thera, dan Peneliti Lembaga Studi Agama dan Filsafat Iqbal Hasanuddin MA.

Ismatu Ropi dalam paparannya menjelaskan, kebijakan pengaturan keagamaan di Indonesia cenderung lebih memproteksi kepentingan mayoritas dibanding minoritas. Hal ini terlihat dari pengaturan kegiatan ziarah keagamaan ke tanah suci dan penyelenggaraan pendidikan agama tertentu di lembaga pendidikan formal, sedang di saat yang sama tidak memberikan pengaturan dan layanan pendidikan keagamaan yang sama kepada penganut keyakinan keagamaan yang minor dan lokal.

“Ini menjadi anomali dimana negara cenderung lebih memproteksi kepentingan satu kelompok agama mayoritas. Sedang di saat yang sama, regulasi dan program pengaturan seperti demikian mengkreasikan belenggu bagi minoritas,” katanya.

Kondisi demikian, jelasnya, mendorong terabaikannya hak-hak kelompok minoritas dalam sebuah negara demokrasi. Bagi kelompok minoritas sendiri, kondisi demikian menyebabkan hilangnya kemauan untuk berpartisipasi di wilayah publik, merasa terancam, dan berkembangnya rasa tidak percaya terhadap pihak luar.

Di lain sisi, Iqbal menambahkan, kondisi demikian menyebabkan indeks kebebasan beragama di Indonesia tidak terlalu istimewa kendati juga tidak terlalu buruk. “Dalam Index Religions of the World dalam satu dua tahun terakhir, misalnya, Indonesia berada di peringkat 5-6,” katanya.

Kondisi demikian, jelasnya, tidak terlepas dari favoritisasi negara terhadap kelompok keagamaan mayoritas atau tertentu, minimnya regulasi dan perlindungan terhadap kehidupan keagamaan minoritas, termasuk tekanan yang diterima kelompok keagamaan minoritas. “Di Indonesia sendiri banyak kelompok keagamaan minoritas, baik agama-agama dunia yang menjadi minor karena populasinya sedikit maupun karena posisi mereka dikategorikan hanya sebagai kelompok penghayat atau aliran kepercayaan,” katanya.

Dekonstruksi Makna ‘Agama’

Menjawab kondisi demikian, Samsul menawarkan jalan agar akademisi studi agama-agama di tanah air mendekonstruksi makna agama ‘religion’yang selama berkembang. Ini diperlukan agar istilah tersebut bisa mengakomodir sistem kepercayaan dan keagamaan lokal yang kadung dianggap bukan bagian dari agama. Selama ini, pemaknaan agama hanya mengakomodir agama-agama tertentu sehingga meminggirkan sistem keyakinan keagamaan lainnya.

Samsul menjelaskan, istilah agama atau ‘religion’ di wilayah studi agama-agama cenderung diorientasikan pada agama-agama besar seperti Kristen dan Islam. Dengan definisi demikian, misalnya, suatu keyakinan keagamaan disebut baru bisa dianggap agama jika ia memiliki konsep ketuhanan, pandangan eskatologis, kitab suci, dan hari-hari besar keagaman seperti halnya Islam dan Kristen.

“Kristen, dan belakangan  Islam, menjadi prototype istilah agama. Sedang agama leluhur atau agama lokal dianggap primitif melalui istilah animism, dinamisme, sedang yang dianggap mapan disebut world religions,” paparnya.

Dengan definisi demikian, sebut Samsul, mendorong terjadinya minoritisasi sistem keyakinan keagamaan yang dinilai tidak memenuhi kriteria agama. Minoritisasi terlihat melalui kategorisasi keyakinan keagamaan masyarakat ke dalam bentuk animisme, dinamisme, aliran kepercayaan atau kelompok penghayat.

Kecenderungan demikian, lanjutnya, muncul ketika kajian agama dan budaya di berbagai perguruan tinggi Eropa mendefinisikan agama dengan merujuk sistem keyakinan dan keagamaan Kristen. Namun definisi ini diadopsi para ilmuwan kajian agama-agama saat mengkaji agama yang mereka teliti. “Ini menjadi tantangan kita. Perlu merekonstruksi dan mendekonsentruksi agar terbebas dari kesesatan makna ‘agama’,” tambahnya. (yuni nurkamaliah/zm)