Seminar Daring FAH Bahas Relasi Pandemik-Bahasa dan Sastra

Seminar Daring FAH Bahas Relasi Pandemik-Bahasa dan Sastra

Ciputat, BERITA UIN Online-- Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) menggelar seminar daring Ramadhan ‘Pandemic, Literature and Language: Creativity and Sorrow’, Kamis (14/5/2020). Seminar mengkaji pertalian antara pandemik dan pengaruhnya terhadap perkembangan sastra dan bahasa di sepanjang sejarah peradaban manusia.

Seminar daring dibuka langsung Dekan FAH Saiful Umam Ph.D. Seminar yang dimoderatori M. Husni Thamrin ini menghadirkan tiga narasumber, Dr Raed Abdul Raheem,Dr. Hasnul Insani Johar, dan Dr. Darsita Suparno. Raed berasal dari Department of Arabic Language and Literature, An-Najah National University, Nablus, Palestina, sedang pembicara dua terakhir berasal dari FAH UIN Jakarta sendiri.

Dalam pembukaannya, Dekan Saiful menyebutkan pandemik sebagai fenomena yang berulangkali hadir dalam sejarah manusia seperti pandemik Covid 19 saat ini. Berbagai wabah terjadi dan dialami manusia di sepanjang sejarah kehidupannya.

Keberadaan pandemik sendiri direspon dalam banyak hal, salahsatunya bahasa dan sastra. “Hari ini kita mengagendakan diskusi yang ingin melihat kembali bagaimana pengaruh pandemi terhadap sastra dan bahasa,” katanya.

Sementara itu, dalam paparannya, para narasumber memaparkan riset mereka bahwa sepanjang sejarah peradaban kemanusiaan, berbagai peristiwa yang mengancam kehidupan mereka seperti wabah, bencana alam, peperangan dan lainnya mendorong mereka menuliskannya dalam sejumlah karya. Karya yang menarasikan bagaimana manusia meresponnya ditulis dalam berbagai karya tulis, termasuk dalam balutan sastra.

Raed misalnya menyebutkan berbagai intelektual Muslim yang menuliskan sejumlah karya yang melukiskan pandemik, bencana alam, dan lainnya. Diantaranya, Abu Bakar Muhammad ibnu Zakariya Razi (865 M-925 M) yang menulsi al-Judari wa al- Hasbah tentang wabah cacar dan campak selain Kitab al-Hawi fii al-Thibb.

Lalu, Ahmad bin Ali bin Kha timah asal Almeria, Spanyol, yang menulis Tahsil al-Gharad al-Qasid fii Tafil al-Marad al- Wafid, Muhammad bin Ali asy-Syaquri menulis Tahqiq an-Naba 'an Amr al-Waba', dan Lisanuddin bin al-Khatib (1313-1374) menulis kitab Muqni'at al-Sail 'an al-Marad al-Hail. Para intelektual ini menarasikan pandemik, penanangan medis, dan bahkan karakteristik masyarakat saat tertimpa wabah.

“Bencana juga banyak mendorong para sastrawan menuliskan karya-karya syair yang banyak menarasikan kekuasaan maha mutlak Tuhan, melewati kekuasaan fana yang tak bisa berarti apa-apa saat wabah mampir dalam sejarah manusia,” paparnya.

Tak hanya di dunia timur dan Islam, Dr Hasnul menambahkan, reaksi yang sama juga dilakukan para sastrawan di Barat. Albert Camus misalnya menulis novel La Peste, The Plague, Sampar pada tahun 1947.

Hasnul menuturkan, novel yang ditulis Camus ini ingin menarasikan bagaimana manusia di Oran al-Jazair merespon wabah sampar yang melanda hidup mereka. Melalui alur dan tokoh novelnya, Camus melukiskan ketidakberdayaan individu manusia dalam menghadapi pandemik.

Sementara itu, Dr. Darsita memaparkan bagaimana pandemik juga tidak jarang mendorong kreatifitas masyarakat dalam berbahasa. Berbagai ungkapan atau istilah mereka produksi untuk melukiskan wabah dan respon mereka terhadap wabah itu sendiri. (z. muttaqin)