Sampah dan Ke(ber)adaban Kita: Beberapa Usulan Praktis

Sampah dan Ke(ber)adaban Kita: Beberapa Usulan Praktis

Edukasi dan kampanye tentang manajemen sampah rupanya belum cukup berhasil pada sebagian masyarakat kota. Sebagai contoh, setiap pagi di tembok pemisah atau separator jalan sepanjang Ciputat masih banyak sampah yang diletakkan warga. Tentu ini merupakan pemandangan pagi yang tidak pantas. Tindakan Pemerintah Kota yang akhirnya mengambilnya pun sepertinya hanya membuat warga yang meletakkan sampah tersebut semakin keenakan. Buktinya, sepanjang saya tahu, alih-alih makin berkurang, yang ada volume sampah sepertinya tetap.

Problematika Sampah

Sampah identik dengan buangan. Tetapi perilaku terhadapnya menunjukkan kualitas keadaban kita. Keadaban adalah dasar peradaban. Jika keadabannya buruk, maka bisa dipastikan bahwa masa depan peradabannya pun terancam.

Manusia dengan sampah tidak bisa dipisahkan. Setiap kota, saat ini, memproduksi sampah dalam skala yang fantastis. Ratusan sampai ribuan ton perhari. Di aras kebijakan, dukungan untuk manajemen sampah sudah ada dengan Undang-undang (UU) Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengolahan Sampah, Peraturan Pemerintah (PP) 81 Tahun 2012 tentang Sampah Rumah Tangga, Instruksi Presiden hingga Peraturan Menteri tentang Sampah. Akan tetapi, mengapa masih ada sampah yang ditaruh di tempat yang bukan tempatnya?

Tidak terkecuali di Kota Tangerang Selatan. Kota ini menghasilkan sampah kurang lebih 300 ton perhari, atau 900an ton perbulan. Jika dirata-ratakan, setiap rumah tangga di Tangerang Selatan menghasilkan rata-rata 2,25 Kg sampah perbulan. Terlihat kecil. Tetapi menjadi masalah besar jika manajemennya tidak mengikuti kaidah baku pengelolaan sampah.

Sehingga pada masyarakat yang “cerdas, modern, dan relijius”, apa yang terjadi pada garis separator jalan ini jelas menunjukkan absurditas. Di mana, slogan kota yang ingin menunjukkan keadaban, malah dirusak dengan perilaku warga.

Secara makro, persoalan sampah sesungguhnya merentang panjang. Membicarakan sampah kita tidak bisa hanya melihat ujungnya saja. Sampah adalah hasil dari beragam tindakan dan perilaku. Di dalamnya terhimpun: persepsi, pengetahuan, dan kemudian tindakan. Dengan kata lain, jika seorang warga memilih meletakan sampah di sepanjang separator jalan tersebut, karena dalam benak atau kognisi sosialnya sudah terbentuk bahwa pihak PemKota “tidak melarang” atau “membolehkannya”.

Sanksi Sosial dan Moral

Beberapa aktivis lingkungan mengatakan bahwa kepada pelaku selama ini belum ada edukasi maupun sanksi sistematis dan berefek jera kepada pelaku ini. Namun demikian, dampaknya belum terlihat efektif. Oleh karena itu perlu ada kebijakan lain yang dipikirkan pemerintah agar masyarakat bisa mengetahui bahwa separator bukan tempat untuk meletakkan sampah.

Untuk itu, para pihak perlu duduk bareng untuk merumuskan tindakan yang diharapkan memberikan efek kesadaran kepada warga yang meletakkan sampah sembarangan tersebut. Tindakan yang dipilih tentu harus didukung oleh peraturan yang diinisiasi oleh pemerintahan kota. Kami mengusulkan beberapa kebijakan yang bisa dipilih untuk meminimalisir tindakan-tindakan tidak beradab tadi, yaitu:

Pertama, menangkap satu atau beberapa orang pelaku. Kemudian memphotonya, serta menguploadnya di media sosial milik kota. Tentu saja, sebelumnya pemkot harus memberikan sosialisasi bahwa pelaku yang tertangkap akan diperlakukan seperti itu. Kedua, selain ditangkap dan diphoto, pelaku juga diminta berdiri membawa standing banner yang bertuliskan (misalnya): “SAYA PEMBUANG SAMPAH DI SEPARATOR JALAN INI”, dengan tulisan atau huruf  besar yang terbaca selama beberapa jam. Kedua jenis “hukuman” ini mudah-mudahan mengingatkan kita semua agar tidak lagi ada yang membuang sampah di separator ini.

Ketiga, identitas pelaku dicatat, termasuk nomor kendaraan, BPJS, dan nomor pajak pribadinya. Hal ini dimaksudkan jika pelaku mengulangi perbuatan itu lagi, maka hak-hak dia dalam mengurus surat-surat pajak, BPJS dan lain sebagainya, akan dipersulit, sebelum membayar denda yang sangat besar. Termasuk jika wilayah tinggalnya bukan di Tangerang Selatan pun, akan diinformasikan ke pemerintahannya.

Keempat, edukasi sistematis tanpa henti mengenai manajemen sampah mulai dari rumah tangga, sampai tempat-tempat usaha. Misalnya dengan menerapkan insentif sampah bagi warga yang melakukan aktivitas pengurangan sampah. Insentif ini bisa berbagai hal seperti: pemberian kemudahan pengurusan administrasi, pembayaran BPJS, dan sebagainya (tentang detil insentif sampah bisa dibaca pada artikel berikutnya).

Keadaban adalah perilaku yang berpeluang menyelamatkan nilai-nilai kemanusiaan suatu kota. Tanpa keadaban itu, kita hanya menjadi pribadi asing yang berkumpul pada suatu kawasan, tetapi kehilangan elan bermasyarakat. Kita akan menjadi terasing pada keramaian. Maka dari itu, menegakkan perilaku berkeadaban ini menjadi tugas bersama, karena di dalamnya melekat semangat kemanusiaan dan peradaban sekaligus. (mf)

Tantan Hermansah SAg MSi, Dosen Pengembangan Masyarakat Islam Bidang Ilmu Sosiologi Pedesaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Tangsel Pos, 19 November 2018.