Saat Kontestasi Dimulai

Saat Kontestasi Dimulai

PENDAFTARAN pasangan calon kepala daerah akan diawali pekan ini, tepatnya mulai Senin (8/1) hingga Rabu (10/1) malam.

Ada 171 daerah yang berpilkada serentak. Perinciannya 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang akan menyelenggarakan pilkada pada 2018.

Di antaranya ada daerah-daerah yang menjadi lumbung suara nasional atau kerap disebut sebagai battlegrounds atau medan utama pertarungan seperti Jawa Barat (Jabar), Jawa Timur (Jatim), Jawa Tengah (Jateng), dan Sumatra Utara (Sumut).

Banyak drama, dinamika, pertarungan baik internal maupun eksternal partai politik hingga elegi yang terjadi dalam berburu tiket menuju pasangan yang siap bertandang di medan pertarungan.

Bongkar pasang

Bongkar pasang nama pasangan terjadi hingga injury time.

Misalnya saja, tak ada yang menyangka di Jabar Tb Hasanuddin akhirnya melaju berpasangan dengan Anton Charliyan.

PDIP batal berkongsi dengan Golkar dan juga batal mendukung kandidat kuat Ridwan Kamil.

Kejutan pun terjadi saat Golkar menarik ulang rekomendasi dari Ridwan Kamil dan mengusung kandidat internal Dedi Mulyadi untuk menjadi cawagub Deddy Mizwar yang diusung Partai Demokrat.

Dengan demikian, untuk Jabar terdapat pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum (PPP, PKB, NasDem, Hanura), kemudian Tb Hasanuddin-Anton Charliyan (PDIP), Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi (Golkar-Demokrat dan mungkin PAN), serta Sudrajat-Ahmad Syaikhu (Gerindra-PKS).

Bongkar pasang juga terjadi di daerah lainnya, misalnya di Jatim.

Pasangan yang diusung cukup awal oleh PDIP, Syaifullah Yusuf-Azwar Anas, harus karam di tengah jalan.

PKB-PDIP terguncang sebelum masuk gelanggang.

Pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak yang awalnya tertatih meyakinkan dukungan partai kini mulai menuai banyak dukungan.

Tentu, kita juga tak bisa mengabaikan sikap dan posisi politik Gerindra di Jatim.

Yang tercipta banyak drama, juga terjadi di Sumut sebagai provinsi dengan jumlah pemilih keempat terbesar di nasional setelah Jabar, Jatim, dan Jateng.

Pertarungan antara dua tokoh nasional Edy Rahmayadi dan Djarot Saiful Hidayat juga menarik perhatian khalayak luas.

Jika melihat komposisi fraksi di DPRD Sumut, Edy berada di atas angin karena sudah memiliki dukungan dari parpol-parpol pemilik 55 kursi di legislatif daerah.

Dukungan datang dari Partai Gerindra, PKS, PAN, Partai NasDem, dan Golkar.

Sementara itu, Djarot berpeluang melaju dengan mengamankan 16 kursi DPRD milik PDIP, tetapi harus menambahnya dari satu atau dua parpol pendukung lain hingga bisa mengusungnya.

Di atas kertas tak terlalu sulit bagi Djarot dan PDIP.

Hanya, Djarot punya tugas mahaberat mengingat tingkat elektabilitasnya di Sumut masih jauh di bawah kompetitor.

Bongkar pasangan di level provinsi ternyata juga menyebabkan banyak perubahan komposisi pasangan dan kongsi koalisi di banyak kabupaten-kota.

Hanya, hal itu kurang terekspos oleh media massa.

Faktor pengubah

Paling tidak, ada empat faktor utama yang menyebabkan banyak bongkar pasang nama kandidat di hampir banyak daerah.

Pertama, modal dasar elektoral pasangan kandidat.

Hal itu menyangkut tingkat elektabilitas (electability), popularitas (popularity), dan penerimaan (acceptability) khalayak di daerah tempat mereka akan bertarung.

Itu disebut modal dasar karena bisa menjadi pertimbangan awal partai memberi rekomendasi sekaligus menjadi daya tawar bersangkutan mendapatkan dukungan maupun usungan dari partai lainnya.

Inilah contoh mengapa nama-nama seperti Ridwan Kamil, Deddy Mizwar, Edy Rahmayadi, dan Nurdin Abdullah akhirnya diusung parpol meskipun sebagian dari mereka bukan kader internalnya.

Kedua, soliditas internal tim pemenangan mulai partai-partai pengusung yang berkongsi, tim sukses, hingga tim relawan yang bekerja untuk para pasangan yang bertarung.

Kritik, intrik, rumor, gosip, hingga pembunuhan karakter sangat intens dan bersifat asimetris, bisa dari siapa saja, baik dari internal partai maupun dari eksternal.

Hal itu dialami pasangan Syaifullah Yusuf-Azwar Anas di Jatim.

Saat nama pasangan diumumkan, dan peta sudah mengerucut ke dua kubu, yakni Syaifullah Yusuf-Azwar Anas dan Khofifah-Emil Dardak, tiba-tiba Anas diserang isu foto-foto panas.

Pasangan itu pun batal melaju dan berpotensi merusak strategi pemenangan PKB-PDIP di Jatim jika manajemen isu dan manajemen konflik yang dilakukan tidak efektif.

Mundurnya Azwar Anas mengharuskan kongsi PKB-PDIP menggunakan waktu injury time ini untuk konsolidasi mencari sosok pengganti sekaligus mematangkan strategi yang berpotensi berantakan.

Ketiga, pergerakan kompetitor. Itu merupakan aksi-reaksi yang sulit dihindari.

Misalnya kenapa PDIP harus menunggu sangat lama hingga akhirnya menunjuk Tb Hasanuddin-Anton Charliyan.

Tentu, karena menunggu ujung komunikasi politik dengan sejumlah 'petarung utama' saat ini di pilkada Jabar, seperti Ridwan Kamil, Deddy Mizwar, dan Dedi Mulyadi.

Kesepakatan terakhir dengan Ridwan Kamil setelah Golkar mencabut rekomendasi darinya ternyata tak berujung pada mutual understanding.

Karena itu, PDIP dengan modal 20 kursi akhirnya melaju sendirian meskipun tahu persis risiko kandidat yang diusungnya sangatlah berat mengingat elektabilitasnya jauh di bawah nama-nama pasangan lain.

Keempat, konstelasi nasional, dalam konteks ini ialah strategi pemenangan tiap partai menuju rivalitas di pemilu legislatif dan pemilu presiden yang dilangsungkan secara bersamaan.

Pilkada 2018 bisa disebut sebagai pertarungan pendahuluan.

Baik untuk melihat peta suara bagi tiap partai di daerah pemilihan (dapil) dalam pemilu legislatif maupun menjadi uji reaksi sekaligus pendulum penting bagi basis dukungan calon presiden maupun calon wakil presiden yang akan mereka usung di 2019.

Lihat saja posisi kongsi di pilkada serentak 2018, yang sebenarnya juga sudah dimulai dari pilkada DKI. Di banyak daerah Gerindra, PKS, dan PAN mulai banyak merapat dan bekerja sama dalam pemenangan kandidat pilkada.

Hal tersebut juga diakui beberapa elite Gerindra, bahwa kongsi-kongsi yang diinisiasi mereka di Pilkada 2018 merupakan mata rantai dari strategi pemenangan Pileg dan Pilpres 2019.

Hal itu yang menjadi faktor menentukan perubahan dukungan PKS di Jabar yang awalnya mendukung Deddy Mizwar-Akhmad Syaikhu (Demokrat, PKS, PAN) ke Sudrajat-Akhmad Syaikhu yang diusung Gerindra-PKS.

 

Pilkada berkualitas

Dalam konteks pertarungan pilkada serentak 2018, tentu akan jauh lebih sengit dan mengalami titik kulminasi jika dibandingkan dengan dua gelombang pilkada serentak sebelumnya.

Alasannya, selain karena agendanya berimpitan dengan kontestasi nasional pileg dan pilpres, ada prakondisi polarisasi yang begitu tajam saat ini yang sesungguhnya telah terbentuk sejak Pilpres 2014 dan menguat di pilkada DKI tahun lalu.

Pilkada DKI, meskipun pertarungan perebutan kepala daerah, volume isu, pertarungan, dan liputan medianya begitu masif seperti layaknya pemilu presiden.

Pola-pola masifnya isu berdaya ledak tinggi seperti isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) bisa saja direplikasi dan dijadikan senjata serupa di banyak daerah.

Terlebih, saat ini tautan perbincangan warga sangatlah mudah terfasilitasi teknologi seperti Whatsapp dan media sosial lainnya.

Komunikasi multikanal yang bersifat satu ke banyak orang (one-to many communication model) maupun komunikasi dari banyak orang ke banyak orang (many-to-many communication model) membuat warga terbanjiri informasi termasuk kabar tanpa saringan seperti hoaks dan ujaran kebencian.

Meminjam istilah John Keane dalam artikelnya di Jurnal Times Literary Supplement, (28/08/1998), 'The Humbling of the Intellectual, Public life in the Era of Communicative Abundance', disebut sebagai era keberlimpahan komunikasi (communicative abundance).

Ada tanggung jawab politik dan sosial di berbagai pihak, seperti kandidat, partai politik, penyelenggara pilkada, tim sukses, konsultan, relawan, media massa dan analis/pakar untuk sama-sama memastikan pilkada serentak ini berkualitas.

Bukan semata-mata menjadi ritus prosedural mengerikan, melainkan menjadi ritus substansial yang berorientasi pada perbaikan.

Kita perlu mengingat catatan ilmuwan politik Larry Diamond dalam bukunya, Developing Democracy toward Consolidation (1999), yang mengungkapkan konsolidasi demokrasi sebagai upaya merawat stabilitas dan persistensi demokrasi.

Jadi, pilkada harus kita letakkan dalam koridor konsolidasi demokrasi, yakni bagaimana politik Indonesia menjadi stabil dan memiliki daya tahan di tengah tantangan yang datang bergelombang.

Pilkada sudah pasti menghadirkan kontestasi, tetapi tanggung jawab politik para pihak juga harus bisa mengoptimalkan partisipasi.

Jika setuju dengan pemilahan tipologi partisipasi di buku klasiknya Kaase dan Marsh, Political Action: A Theoretical Perspective (1979), ada partisipasi konvensional dan nonkonvensional.

Yang konvensional misalnya partisipasi pemilih dalam pemilu (voter turnout) yang nonkonvensional misalnya kritisisme warga, komunitas pemantauan, kesukarelaan menjadi saksi, dan melakukan petisi.

Tugas para kandidat, partai politik, dan tim pemenangannya ialah bekerja memenangkan diri atau calon mereka dengan cara-cara bermartabat.

Pertarungan gagasan, kredibilitas, integritas, kecakapan, dan tawaran penyelesaian ragam persoalan yang ada di lapangan.

Bukan dengan propaganda, black campaign terlebih menggunakan hoaks dan ujaran kebencian yang sifatnya SARA. Godaan untuk menempuh sejuta cara pasti ada.

Jika niatnya sekadar memenangi pertarungan dengan segala macam cara, sangat mungkin akan banyak strategi destruktif yang membahayakan NKRI.

Tugas penyelenggara pemilu ialah imparsial dan profesional.

Penyelenggara baik KPU maupun Bawaslu bukan petugas-petugas partai maupun kandidat.

Di depan mata, sejumlah agenda membutuhkan kerja profesional mereka.

Misalnya setelah fase pendaftaran (8-10 Januari), ada penetapan pasangan (12 Februari 2018).

Sebelum penetapan, ada sejumlah tahapan seperti tanggapan masyarakat (10-16 Januari), pemeriksaan kesehatan (8-15 Januari), penyampaian hasil pemeriksaan kesehatan (17-18 Januari), perbaikan syarat pencalonan atau syarat calon (18-20 Januari), pengumuman perbaikan dokumen syarat pasangan calon di website KPU (20-26 Januari).

Nanti setelah ditetapkan akan ada undian nomor urut, pada 13 Februari 2018.

Pun demikian, tahapan-tahapan lainnya, yakni masa kampanye, pencoblosan, hingga penetapan pemenang.

Bagi media massa, warga, analis/pengamat, harus juga punya tanggung jawab politik untuk menciptakan suasana yang kondusif.

Misalnya masa kampanye yang akan berlangsung dari 15 Februari hingga 23 Juni 2018.

Kampanye, secara resmi ada pertemuan-pertemuan dan penyebaran bahan kampanye (15 Februari-23 Juni), debat publik terbuka (15 Februari-23 Juni), kampanye melalui media massa (10-23 Juni), masa tenang dan pembersihan alat peraga (24-26 Juni).

Kampanye merupakan hal lumrah dalam upaya memersuasi khalayak.

Namun, tahapan ini sangat rawan disalahgunakan dengan melakukan kampanye hitam, propaganda, hoaks dan ujaran kebencian yang mengancam semangat kebinekaan.

Warga harus lebih cerdas menyuarakan pilihannya sementara media dan analis atau pengamat harus mampu memberikan literasi politik yang memadai bukan menjadi bagian dari masalah yang merusak semangat kekitaan Indonesia.

Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Artikel ini telah dimuat pada Kolom Pakar harian Media Indonesia, edisi Senin, 8 Januari 2018. (lrf)