Rumus Bahagia

Rumus Bahagia

Dr Muhbib Abdul Wahab MAg, Dosen Pascasarjana FIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Bahagia itu sederhana, mudah, dan tidak perlu mahal dan susah karena bersumber dari dalam diri kita. Esensi bahagia itu berhati tenteram dan damai, tidak diliputi rasa gelisah, galau, dan merana.

Karena itu, hidup ini harus dijalani dengan penuh rasa syukur dan optimistis. Sebab, hidup ini anugerah dan peluang terindah dari Allah SWT.

Akan tetapi, tidak semua orang menyelami dan merasakan hidup bahagia, karena hatinya mati dan akal budinya tidak berfungsi. Bahagia itu berpangkal pada kesucian dan kedamaian hati dan fungsi akal yang terkoneksi dengan cinta Ilahi.

 Taufiq Ahmad al-Qushayyir dalam Fann al-Istimta’: Kaifa Takunu Sa’idan, wa Najihan, wa Qawiyyan (Seni Menikmati Hidup: Bagaimana Menjadi Bahagia, Sukses, dan Kuat) memberi lima seni meraih dan menikmati kebahagiaan.

Pertama, sebelum tidur, bersihkan hati dan pikiran dari kebencian, kedengkian, dendam, dan rasa permusuhan kepada siapa pun.

Kedua, fokuskan pikiran kepada nikmat sehat, istirahat, dan bisa “tidur nyenyak” agar bisa bangun tidur lebih bugar dan penuh semangat.

Ketiga, ketika bangun tidur, sadarilah kita sudah berada di hari dan lembaran hidup baru. Kita Kembali dianugerahi kesempatan untuk melakukan hal-hal positif. Bulatkan tekad untuk menjadikan hari ini lebih baik, lebih optimistis, dan lebih sukses daripada kemarin.

Keempat, ketika melihat sinar mentari di pagi hari, ketahuilah bahwa matahari terbit untuk mencerahkan hidup kita, menerangi hati, dan membangkitkan energi positif untuk memperbarui hidup kita.

Kelima, ketika melihat cahaya mentari, tersenyumlah dengan tulus dan ucapkanlah Alhamdulillah bahwa hari ini dan seterusnya kita berhak hidup bahagia. Bahagia itu merupakan ketenangan dan kedamaian hati karena terjalinnya komunikasi spiritual (zikir) dengan Allah SWT (QS ar-Ra’d [13]: 28).

Menurut Alquran, ada enam rumus komunikasi spiritual yang membuat hidup bahagia, tidak menderita dan tidak sengsara, baik di dunia maupun akhirat.

Pertama, hidup bahagia itu selalu berinteraksi dengan Alquran, karena memang Alquran diturunkan sebagai petunjuk, peta jalan, kasih sayang, cahaya, penawar, dan peringatan agar kita tidak menderita dan sengsara duniawi dan ukhrawi. “Kami tidak menurunkan Alquran ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah.” (QS Thaha [18]: 2).

Kedua, bahagia selalu berpadu dengan kerendahan hati untuk selalu bermunajat dan berdoa kepada Allah SWT, di pagi, petang, siang, dan malam hari, karena Allah tidak pernah mengecewakan hamba-Nya. “Dia (Zakaria) berkata, 'Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku'.” (QS Maryam [19]: 4).

Ketiga, bahagia itu menyertai ketaatan dan keberbaktian anak kepada orang tua, selama orang tua tidak memaksa untuk berbuat maksiat. “Dia juga memerintahkanku untuk berbakti kepada ibuku, dan tidak menjadikan aku bersikap aniaya kepada manusia, serta celaka karena berbuat maksiat kepada-Nya.” (QS Maryam [19]: 32).

Keempat, hidup bahagia itu dapat dinikmati dengan tidak memperturutkan hawa nafsu, karena hawa nafsu itu cenderung menyengsarakan manusia. Sebaliknya, rumus bahagia itu harus setia mengikuti petunjuk Allah SWT.

“Dia (Allah) berfirman, 'Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka (ketahuilah) barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka'." (QS Taha [20]: 123).

Kelima, bahagia itu dilandasi kesadaran personal untuk selalu merasa takut kepada Allah berbasis ilmu. “Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya.” (QS al-A’la [87]: 10-11).

Takut azab Allah, takut tidak mendapat ampunan-Nya, dan tidak masuk surga-Nya memotivasi kita untuk menempuh jalan hidup bahagia dengan beriman dan bertakwa kepada-Nya.

Keenam, selalu yakin dan percaya kepada Allah sebagai sumber kebahagiaan, tidak mendustakan dan memalingkan diri dari kebenaran dan kekuatan iman. “Maka, kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala. Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman). Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya.” (QS al-Lail [92]: 14-18).

Bahagia paling ideal adalah bahagia ukhrawi dengan meraih ampunan, kasih sayang Allah dan surga-Nya.

"Ketika hari itu datang, tidak seorang pun yang berbicara, kecuali dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang sengsara dan ada yang berbahagia.

Adapun orang-orang yang sengsara, maka (tempatnya) di dalam neraka, di sana mereka mengeluarkan dan menarik nafas dengan merintih. Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain).

Sungguh, Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga; mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tidak ada putus-putusnya." (QS Hud [11]: 105-108).