Revitalisasi Partai Politik

Revitalisasi Partai Politik

“One Man can be a crucial Ingredient on a team, but One Man cannot make a team”. Barangkali inilah postulat yang tepat untuk melukiskan besarnya dominasi figur beberapa tokoh politik nasional di beberapa partai besar di tanah air paska pemilu legislatif dan menjelang pemilu presiden mendatang. Eksistensi mereka seakan menenggelamkan eksistensi partai itu sendiri.

Kini, harus diakui bahwa faktor perbedaan idiologi dan platform politik partai tidak terlalu penting untuk dipersoalkan karena diskursus tersebut sudah basi dan kurang menarik. Hal ini disebabkan perhatian dan simpati publik tidak lagi dialamatkan kepada partainya, namun kepada figur tokoh partai yang diusung menjadi calon presiden.

Coba tengok, popularitas SBY di partai Demokrat yang menenggelamkan pengaruh sang ketua umum, Hadi Utomo. Begitu pula dengan kharisma Amien Rais di PAN menenggelamkan pamor Sutrisno Bachir. Sementara itu, Megawati di PDIP, Wiranto di Hanura, dan Prabowo di Gerindra dimana masing-masing kebetulan menjadi ketua umum, tetap menjadi figur utama yang tak terbantahkan. 

Harus diakui memang, tidak semua partai memiliki pemimpin kharismatik. Partai Golkar misalnya, dianggap tidak memiliki tokoh yang menjadi pusat pengaruh, melainkan menyebar di antara beberapa tokoh seperti Jusuf Kalla, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Sultan Hamengku Buwono X dll. Sementara itu, PKB hingga kini belum memiliki figur kharismatik yang bisa menjadi simbol partai semenjak ditinggal Gus Dur, hanya Muhaimin Iskandar yang melambung namanya sebagai ketua umum. Begitu pula dengan PPP dengan Surya Dharma Ali sebagai ketua umumnya, masih mengalami krisis ketokohan sejak reformasi bergulir di Indonesia. Sementara itu, PKS terbukti belum berhasil melahirkan tokohnya sendiri karena memang dari awal tidak bergantung pada pesona seorang tokoh panutan partai.


Harus diakui bahwa partai politik yang mengedepankan faktor ketokohan seseorang dalam meraih simpati masyarakat dapat lebih mudah menjalankan misi politiknya terutama dalam pilpres 2009 ini. Hal ini disebabkan oleh minimnya perdebatan calon yang akan diusungnya menjadi kandidat calon presiden maupun wakil presiden. Hampir dipastikan tidak akan ada perdebatan, apalagi berujung perpecahan partai yang dikarenakan perbedaan kandidat yang akan diusungnya. 


Namun harus diakui bahwa partai-partai yang memiliki ketergantungan penuh kepada ketokohan dan kharisma figur tertentu maka sesungguhnya tidak akan bisa bertahan lama karena bisa menjadi bumerang bagi partai itu sendiri dikala figur tersebut tiada. Dinamika relasi tersebut berpotensi membawa akibat jangka panjang yang kurang menguntungkan bagi masa depan partai itu sendiri. 

Sedangkan bagi partai-partai yang tidak terlalu bergantung kepada figur tetapi kepada kokohnya mekanisme dan mesin partai maka eksistensi partai dimasa-masa mendatang bisa dipertahankan.  
 
Hal ini sejalan dengan pendapat Hannah Arendt, dalam dalam On Violence (1970) dan The Human Condition (1959), dimana ia secara tepat mengillustrasikan relasi figur dan kekuasaan, ”saat kita beranggapan bahwa seseorang tengah berada dalam kekuasaan, sesungguhnya ia ditopang dan didayakan oleh sekelompok orang agar ia bertindak atas nama mereka. Ketika daya topang itu lenyap, maka kekuasaannya pun ikut lenyap”. Begitulah prediksi nasib partai-partai yang mengandalkan faktor ketokohan seseorang. 

Partai-partai yang seperti di atas, akan dinilai oleh masyarakat sebagai partai pragmatis, dimana hanya bertugas mengantarkan calon yang diusungnya menuju kursi RI-1 semata. Fungsi-fungsi hakiki dari sebuah partai politik seperti visi misi, program kerja, agenda perjuangan untuk rakyat dan sebagainya hampir tidak pernah terlihat atau dijadikan prioritas utama Partai tersebut. Karena lagi-lagi terhapus oleh kebesaran tokoh sentralnya. 


Melihat fenomena di atas, seharusnya seluruh partai politik melakukan political rethinking demi menjaga eksistensi di masa mendatang. Sudah bukan zamannya lagi sebuah partai politik hanya mengandalkan figur guna memperoleh simpati publik. Membangun sistem manajemen yang mandiri jauh lebih penting dan substantif untuk dilakukan oleh sebuah partai besar. Karena dari sana publik akan mampu menilai kapasitas partai yang sesungguhnya dalam kancah politik nasional. 

Untuk memaksimalkan urgensi kehadirannya bagi masyarakat dan meneguhkan masa depan yang cerah, partai politik juga harus melakukan reformasi dan revitalisasi beberapa hal dibawah, diantaranya adalah:

Pertama, revitalisasi orientasi politik dan program partai. Selama ini partai hanya sebagai entitas politik yang lebih mencitrakan sebagai satuan politik dalam mencapai kekuasaan atau bentuk-bentuk keuntungan materi lainnya daripada sebagai saluran kehendak para konstituen (masyarakat). Partai politik harus benar-benar memiliki program kongkret untuk kesejahteraan rakyat.

Selama ini partai hanya berada di menara gading dengan program mercusuarnya yang terus mengambang karena tidak berkaki di tengah kepentingan konstituen dan masyarakat. Partai harus senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat dengan memaksimalkan kinerja dan program partai di setiap daerah, bahkan ke tingkat masyarakat paling bawah sekalipun. Jika hal ini tidak dilakukan, maka jangan harap partai bisa dikenal luas oleh masyarakat. Harus diingat bahwa 60% pemilih masih tinggal di daerah pedesaan yang jauh dari publikasi partai.

Kedua, reformasi sistem partai yaitu menjauhkan partai dari oligarki. Sejauh ini, partai hanya dikuasai oleh segelintir elite yang berada di pucuk pimpinan organisasi. Coba lihat, siapa sebenarnya lingkaran elit utama partai? Anggota calon maupun yang telah terpilih menjadi legisltif? Dipastikan dipenuhi oleh kroni keluarga-keluarga elite partai. Hal ini menunjukkan ”kue” partai tak terdistribusikan dengan baik ke lingkaran luar elit partai yang justeru akan mengecilkan pamor partai.

Ketiga, revitalisasi kualitas Sumber daya manusia (SDM) partai. Hal ini seringkali luput dari perhatian pimpinan partai. Rekruitmen anggota partai kadangkala menegasikan unsur kualitas dam komitmennya. Mereka akhirnya bukan membesarkan partai tapi justeru mengecilkan partai karena mereka tidak memiliki kapasitas untuk senantiasa berusaha mencari terobosan-terobosan baru meningkatkan citra partai. Jika ini terjadi, dipastikan masyarakat akan melirik partai yang memiliki SDM yang bagus. Itu artinya kepercayaan (trust) publik sangat tergantug kepada kader-kader partai yang berkualitas. 

Keempat, revitalisasi mental kader partai. Setiap kader partai haruslah yang benar-benar bersih dari cap ”KKN” (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme), berkualitas, memiliki integritas, amanah dan senantiasa memperjuangkan kepentingan rakyat. Jika hal ini dilakukan dengan baik, maka diyakini betul para pemilih akan memilih partai ini.

Penulis berharap, peta dan kualitas partai-partai di tanah air benar-benar ditingkatkan, dari sekedar menjual ketokohan seseorang menjadi menjual program-program pilihan yang berorientasi untuk kepentingan masyarakat. Begitu pula dengan upaya reformasi dan revitalisasi yang mutlak dilakukan partai demi menjamin eksistensi partai di masa depan. Kini saatnya, seluruh stakeholder bangsa ini sadar bahwa masa depan bangsa benar-benar berada di tangan kita semua, termasuk partai-partai politik. 

Khusus untuk pilpres 2009, kita doakan semoga berjalan dengan jurdil, aman lancar dan sukses. Siapapun kelak yang terpilih menjadi presiden nanti, diharapkan mampu menjadi presiden yang benar-benar amanah menjalankan kepercayaan rakyat, menuju indonesia yang lebih bermartabat, maju, dan dapat mensejahterakan rakyatnya. Semoga.





Penulis adalah Peneliti Center for the Study of religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta