Revitalisasi Islam Washatiyah

Revitalisasi Islam Washatiyah

Oleh Azyumardi Azra

ISLAM washatiyah, Islam 'jalan tengah'; mengapa perlu revitalisasi? Dalam konteks Indonesia, kekerasan yang terjadi di Cikeusik, Banten, dan Temanggung yang melibatkan penggunaan sentimen dan simbol Islam sungguh menyedihkan. Apa pun alasannya, jelas tindakan kekerasan tidak bisa dibenarkan. Kekerasan hanya menciptakan kekerasan selanjutnya sehingga menghasilkan lingkaran kekerasan (circle of violence) yang sulit diakhiri.

Bagi saya, Islam washatiyah sebenarnya merupakan salah satu karakter dan ciri Islam yang khas bagi Indonesia, meski terdapat keragaman mazhab dan aliran furu'iyah di kalangan kaum Muslim yang jumlahnya terbesar dibandingkan dengan negara-negara lain di Dunia Islam. Karena itu, saya gusar ketika beberapa media asing saat mewawancarai saya menyatakan, beberapa kekerasan kasuistik itu menjadikan wajah Islam Indonesia sangar dan mudah melakukan kekerasan.

Meski mayoritas mutlak kaum Muslimin Indonesia adalah orang-orang yang damai, jelas Islam washatiyah tidak bisa dianggap sebagai sudah selesai. Kekerasan yang masih saja terjadi justru merupakan pendorong untuk memperkuat dan merevitalisasi Islam wahshatiyah. Sebab itu, penyelengggaraan Konferensi Internasional "Revitalisasi Islam Washatiyah: Tantangan dan Peluang" oleh Forum Islamic Center di Jakarta akhir pekan lalu (12/2/11) sangat tepat waktu dan kontributif.

Forum Islamic Center pimpinan KH Mahrus Amin dari Pesantren Darun Najah; Sechan Shahab, dan Syahrul Effendi, wali kota Jakarta Selatan, itu menghadirkan sejumlah pembicara, antara lain, KH Hasyim Muzadi, mantan ketua umum PBNU; Profesor Imtiyaz Yusuf dari Assumption University Bangkok; Profesor Mark Woodward, Arizona University; Piet Hizbullah Khaidir intelektual muda Muhammadiyah; dan saya sendiri.

Islam washatiyah identik kaum Muslimin yang disebut sebagai 'ummatan washatan' (QS [2]:143). Umat seperti inilah yang dapat dan mampu menjadi saksi kebenaran bagi manusia lain. Mengutip tafsir Muhammad Asad, Abdullah Yusuf Ali dan Marmaduke Pitchal, Imtiyaz Yusuf memaparkan, ummatan washatan adalah umat yang selalu menjaga keseimbangan; tidak terjerumus ke ekstremisme kiri atau kanan, yang dapat mendorong kepada tindakan kekerasan.

Dalam pandangan KH Hasyim Muzadi, ummatan washatan adalah umat yang selalu bersikap tawashut (jalan tengah) dan i'tidal (bersikap adil-seimbang); menyeimbangkan di antara iman dan toleransi. Keimanan tanpa toleransi menbawa ke arah eksklusivisme dan ekstremisme; dan sebaliknya, toleransi tanpa keimanan berujung pada kebingungan dan kekacauan.

Dengan toleransi, ummatan washatan berusaha hidup bersama secara damai baik intra maupun antaragama. Inilah wajah Islam Indonesia yang diwakili ormas-ormas Islam yang jauh lebih tua daripada republik ini, semacam NU dan Muhammadiyah.

Memang, keragaman internal umat Islam menjadi sunnatullah-sebuah keniscayaan. Hemat, keragaman itu sudah bermula sejak dari hal ibadah, meski umumnya pada tingkatan furu'iyah. Ini terlihat misalnya dalam soal shalat Subuh; ada umat yang merasa lebih afdal mengerjakannya lengkap dengan qunut, tapi ada juga yang tidak-shalatnya sama-sama sah. Bahkan, hal furu'iyah juga ada pada kalam, atau teologi. Ada mutakallimun yang sepenuhnya percaya kepada takdir; tapi juga ada yang percaya kepada potensi kemampuan manusia untuk 'mengubah' takdirnya dengan mengerahkan semua potensi dirinya.

Keragaman itu terlihat juga pada tingkat sosial-budaya, yang kemudian mengalir ke dalam aspek-aspek kehidupan lain seperti politik. Keragaman ekspresi sosial-budaya banyak bersumber dari tradisi dan adat lokal, yang kemudian mengalami proses 'Islamisasi' dan menjadi apa yang disebut sejarawan Marshall Hodgson sebagai 'Islamicate', yakni bidang kehidupan yang dipengaruhi Islam sehingga menjadi Islami.

Mengamati keragaman sosial-budaya 'Islamicate' itu, saya menawarkan adanya delapan ranah budaya Islam (cultural Islamic spheres) yang berbeda satu sama lain dan memiliki karakter dan distingsinya masing-masing. Kedelapan ranah budaya Islam itu: Arab, Persia (Iran), Turki, anak benua India, nusantara, Sub-Sahara Afrika (Afrika Hitam), Sino-Islamic, dan belahan Dunia Barat (Eropa, Amerika, dan Australia).

Sering orang Islam sendiri tidak merasakan perbedaan-perbedaan itu, karena tidak melihat langsung ekspresi kehidupan sosio-kultural kaum Muslimin yang beragam; atau juga sebab tidak bisa menggunakan perspektif perbandingan masyarakat-masyarakat Muslim.

Bagaimana seharusnya menyikapi perbedaan-perbedaan itu? Tidak bisa lain adalah dengan memperkuat sikap tasamuh, toleransi, khususnya intra-Islam. Di sini, tak bisa lain, jelas memerlukan penguatan dan revitalisasi Islam washatiyah dari waktu ke waktu.

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 17 Februari 2011
Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta