Retrospeksi Pemilu 2009

Retrospeksi Pemilu 2009

Oleh: Azyumardi Azra


RANGKAIAN pemilihan umum (pemilu) berupa pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) yang masing-masing berlangsung pada 9 April dan 8 Juli 2009 telah usai. Meskipun demikian, pileg masih menyisakan masalah berupa masih bakal berubahnya jumlah kursi DPR RI yang diperoleh parpol-parpol parlemen pasca-Keputusan MA. Jika perubahan ini dilaksanakan, pastilah menimbulkan banyak dampak; tersingkirnya mereka yang semula sudah siap-siap menjadi anggota DPR RI dengan segala implikasi psikologis, sosial, dan politiknya. Sebaliknya, bakal ada caleg yang semula telah putus harapan, kini seolah mendapat durian runtuh menjadi anggota DPR RI sesuai impian mereka.


Pilpres yang menurut rekapitulasi KPU dimenangkan pasangan SBY-Boediono juga menyisakan banyak masalah, ketika pasangan Megawati-Prabowo tidak datang, sementara pasangan JK-Wiranto yang meski hadir dalam penetapan perolehan suara oleh KPU, tetapi menolak menandatangani berita acara. Kedua pasangan capres-cawapres ini menyatakan pilpres mengandung cacat karena adanya masalah-masalah serius sejak dari DPT yang bermasalah, money politics , penggunaan aparat pemerintah dan birokrasi untuk memenangkan pasangan capres-cawapres tertentu, dan seterusnya. Mereka selanjutnya membawa berbagai pelanggaran dalam penyelenggaraan pilpres ke MK. Kita harus menunggu keputusan MK yang berwenang menentukan keabsahan atau tidak sahnya pilpres tersebut, yang boleh jadi bakal menimbulkan konsekuensi-konsekuensi politik yang panjang bagi negeri ini.


Di tengah masih terdapatnya masalah-masalah yang tersisa itu, satu hal yang patut kita apresiasi adalah berlangsungnya pemilu secara aman; baik pada waktu kampanye, pemungutan suara, rekapitulasi, dan bahkan sampai penetapan pemenang. Meski banyak protes dari pihak yang kalah, tidak terjadi ledakan kekerasan yang pada gilirannya tidak hanya merusak proses-proses demokrasi itu sendiri, tetapi juga bakal mengganggu ketenteraman dan keutuhan kehidupan sosial-politik bangsa.


Berlangsungnya pemilu secara damai sering kita banggakan kepada dunia luar tentang keberhasilan Indonesia dalam transisi dan konsolidasi demokrasi. Apalagi, Indonesia mengadopsi demokrasi yang relatif  genuine baru satu dasawarsa, ketika pemerintahan Presiden BJ Habibie melaksanakan pemilu legislatif multipartai dan kompetitif pada 1999. Selanjutnya adalah Pileg dan Pilpres 2004 yang juga berlangsung damai, menurut banyak kalangan jauh lebih baik dan demokratis dibandingkan Pilpres 2009 ini.


Tetapi, pemilu dalam sebuah demokrasi memang memerlukan lebih daripada proses-proses yang sekadar damai. Kedamaian tentu saja sangat penting, namun harus segera ditekankan, pemilu demokrasi yang kompetitif juga sangat memerlukan proses-proses yang jujur, adil, langsung, dan rahasia. Jika proses-proses pemilu tidak berlangsung sepenuhnya seperti itu, menjadi tidak sempurna, dan bahkan cacat, yang membuat para pemenang tidak sepenuhnya  legitimate di mata kalangan masyarakat. Dan hal ini, bukan tidak mungkin memengaruhi proses-proses politik selanjutnya di negeri ini.


Walaupun begitu, damainya Pemilu 2009 boleh jadi merupakan sebuah indikasi tentang telah menguatnya demokrasi dalam kehidupan rakyat. Atau setidak-tidaknya, semakin terbiasanya rakyat dengan proses-proses demokrasi, sehingga menganggapnya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Meski ada kalangan pemilih yang sangat marah dengan praktik dan cara yang tidak  fair , mereka tidak lagi mengungkapkan ketidakpuasan politik dengan cara-cara kekerasan dan pelanggaran hukum lainnya.


Memang, kini sudah ada  outlet untuk menyalurkan ketidakpuasan terhadap proses-proses pemilu, yaitu MK, dan ternyata juga MA, yang kini digugat parpol-parpol yang bakal kehilangan begitu banyak kursi di DPR RI. Pihak-pihak yang membawa kasus-kasus pelanggaran pemilu, khususnya dalam pilpres, bahwa belum tentu bukti-bukti yang mereka ajukan bisa diterima MK, dan bahwa keputusan MK nanti belum tentu memuaskan. Tetapi, fakta bahwa mereka memercayai lembaga hukum tertinggi di negeri ini, jelas merupakan penguatan tradisi dalam kehidupan yang berkeadaban, yaitu menghargai hukum dan menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan sengketa dan pertikaian pemilu.


Dalam konteks ini, merupakan tantangan berat bagi MK untuk menjaga integritasnya di tengah kurangnya atau tidak adanya kepercayaan banyak kalangan masyarakat kepada lembaga-lembaga penegak hukum penentu keadilan seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dan dalam kaitan dengan pemilu, juga minimalnya kepercayaan masyarakat kepada penyelenggara pemilu, yaitu KPU yang mereka pandang tidak profesional, partisan, dan seterusnya.


Demokrasi memang tidak bisa tegak baik dengan sendirinya; ia juga memerlukan respek dan ketundukan kepada hukum. Kini MK, lembaga tertinggi dalam penyelesaian sengketa hukum pemilu, menghadapi ujian untuk dapat membuat keputusan yang adil,  fair , dan objektif, sehingga demokrasi tetap terpelihara di negeri ini; dan--tak kurang pentingnya--rakyat bisa tetap percaya kepada proses-proses demokrasi dan  rule of law .

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 30 Juli 2009

Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Â