Resolusi Tata Kelola Bisnis Air Minum

Resolusi Tata Kelola Bisnis Air Minum

A.M. Hasan Ali

 

AIR adalah sumber kehidupan. Tanpa air tidak akan ada kehidupan. Maka tidak salah jika menempatkan air sebagai bagian dari kebutuhan yang bersifat pokok (dharuriyat).

Air menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat, khususnya warga masyarakat yang menetap tinggal di wilayah perkotaan. Salah satu problem akut masyarakat perkotaan adalah ketersediaan adanya air tawar jernih. Apalagi air tawar jernih yang siap langsung diminum yang kini lebih populer dengan istilah air minum dalam kemasan (AMDK).

Hampir semua masyarakat perkotaan saat ini sudah mengalami ketergantungan dengan produk air minum yang dijual secara komersial. Problemnya, dikarenakan akses untuk memperoleh air minum bersih langsung dari tanah sudah tidak mudah lagi.

Di sisi yang lain, terlihat pemerintah agak abai untuk menjalankan kewajiban menyediakan air minum yang layak untuk dikonsumsi masyarakat. Di beberapa negara maju, seperti Jepang dan Jerman, negara hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan air minum. Bahkan di area publik, masyarakat dapat free mengakses air minum dengan sangat mudah.

Badan Pusat Statistik (BPS) membuat simulasi perkiraan ada 56% penduduk Indonesia yang menetap di wilayah perkotaan pada 2020. Persentase tersebut diperkirakan terus meningkat menjadi 66% di 2035

Artinya, jika pada 2020 dengan total jumlah penduduk Indonesia 271 juta, ada 151 juta orang yang menetap di perkotaan yang terindikasi ada ketergantungan dengan konsumsi air minum. Jika dikalkulasi menurut anjuran dari Kementerian Kesehatan RI, kebutuhan konsumsi air minum per orang sehari sebanyak 2 liter.

Sedangkan perusahaan ternama dalam bisnis AMDK yang juga berposisi sebagai market leader, menetapkan harga per liter air minum sebesar Rp1.000. Artinya, sehari ada cost yang harus ditanggung sebagai pengeluaran sebesar Rp2 ribu per orang dalam satuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi air minum.

Jika dalam satuan rumah tangga rerata dihuni 5 orang, berarti ada biaya pemenuhan kebutuhan konsumsi air minum sebesar Rp10 ribu per hari. Dalam satu bulan diperoleh angka pengeluaran sebesar Rp300 ribu untuk membeli air minum.

Belum lagi jika penghitungannya didasarkan pada harga eceran yang dijual oleh pedagang asongan atau pedagang kaki lima (PKL), harganya tidak lagi Rp1.000 per liter. Namun harganya sudah  berubah menjadi Rp5 ribu per kemasan botol 600ml.

Bahkan di tempat tertentu seperti di bandara, hotel, atau resto harganya bisa dua kali lipat menjadi Rp10 ribu. Kalau dibandingkan dengan harga pertalite yang dipatok di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), Rp10 ribu per liter, akan terlihat tidak jauh berbeda dengan harga produk AMDK kemasan 600ml.

Pada kondisi seperti ini, kadang kita tidak cepat sadar bahwa produk AMDK kemasan 600ml yang dibeli di pedagang asongan, harganya hampir setara dengan harga 1 liter pertalite. Artinya, kesadaran kita sudah hilang bahwa nilai air yang kita konsumsi kedudukannya sudah hampir menempati posisi yang sama dengan harga 1 liter pertalite.

Sering kali masyarakat lebih sensitif dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Namun tidak dirasakan ada gejolak kalau saat ini kita menikmati air minum dengan harga yang hampir setara dengan harga pertalite 1 liter.

Lebih dari itu, jika dihitung dengan memperhatikan jumlah orang yang tinggal di wilayah perkotaan dengan memakai prediksi BPS ada 151 juta orang, terdapat potensi perputaran kekuatan ekonomi yang sangat besar. Bila 151 juta orang yang menetap di perkotaan dikali kebutuhan konsumsi air minum per hari 2 liter senilai Rp2 ribu, akan diperoleh hasil Rp302 miliar per hari.

Kapitalisasi ekonomi yang besar dan fantastis besaran nilai ekonominya. Kondisi ini, sepertinya selama ini bisa jadi sengaja diabaikan oleh pemerintah dengan menyerahkan bisnis AMDK semuanya ke korporasi swasta. Buktinya, tidak ada satu pun BUMN berskala nasional yang melakukan usaha dalam bisnis air minum.

Memang ada banyak perusahaan daerah air minum (PDAM) yang dimiliki oleh pemerintah daerah yang mensuplai air minum, namun kualitas air minumnya tidak layak untuk langsung dikonsumsi oleh masyarakat, hanya bisa dimanfaatkan untuk keperluan mencuci mobil, perkakas rumah tangga dan mandi.

Jika ditelisik ke belakang, pendiri negara Indonesia sudah pada posisi shirathal mustaqim, jalan yang benar lagi lurus, dengan membuat ketentuan mendasar dalam pengelolaan sumber daya alam melalui UUD 1945, bahwa bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Senada dengan ketentuan yang ada di UUD 45, dalam pasal 5 UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air juga menyebutkan bahwa sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selain itu, dalam pasal 6 disebutkan bahwa negara menjamin hak rakyat atas air guna memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari bagi kehidupan yang sehat dan bersih dengan jumlah yang cukup, kualitas yang baik, aman, terjaga keberlangsungannya dan terjangkau.

Walakin, dalam praktiknya saat ini pemenuhan kebutuhan air minum yang layak bagi masyarakat harus melalui proses pembelian komersial yang dikuasai oleh perusahaan swasta. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) meliris data ada 7.780 produk AMDK yang terdaftar yang diproduksi oleh 1.032 perusahaan di seluruh Indonesia.

Paling tidak ada puluhan perusahaan swasta raksasa yang menjalani bisnis AMDK dengan produknya yang sudah familiar sehari-hari di sekitar kita. Belum lagi perusahaan swasta kecil yang ikut meramaikan bisnis AMDK di Indonesia.

Pemenuhan kebutuhan air minum oleh masyarakat melalui pembelian secara komersial dari produk AMDK yang ditawarkan oleh perusahaan swasta, tentunya akan memberikan keuntungan yang besar bagi perusahaan swasta. Ada pertanyaan besar yang belum terjawab sampai kini, kenapa tidak ada perusahaan BUMN yang melakukan investasi dalam bisnis AMDK.

Apa bisnis AMDK dianggap sebagai model usaha yang tidak menguntungkan? Tentu jawaban logisnya tidak. Karena prediksi di awal, model bisnis AMDK target marketnya masih terbuka luas bahkan trennya cenderung memberikan return yang sangat besar. Potensi nilai ekonominya Rp302 miliar per hari.

Kalau pemain di bisnis AMDK hanya diserahkan dan dikuasai oleh perusahaan swasta, semangat dari Pasal 19 UU no 17 tahun 2019 yang mengamanahkan adanya BUMN belum terpenuhi. Selain itu, jika kondisi penguasaan perusahaan swasta pada model bisnis ini terus dipertahankan, negara hanya diuntungkan dalam penerimaan pajak dari pelaku bisnis AMDK, tidak ada nilai lebihnya.

 

Perlu BUMN

Melihat fenomena bisnis AMDK selama ini, pelaku bisnisnya hanya dilakukan oleh perusahaan swasta, tanpa keikutsertaan negara melalui perusahaan plat merah BUMN, terasa kalau negara kurang peduli dalam melindungi kepentingan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air minum sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan UU No 17 Tahun 2019.

Artinya, arah tata kelola bisnis air minum sudah keluar dari rel konstitusi bernegara. Kedaulatan atas air minum sudah tidak lagi ada di tangan rakyat. Rakyat terpaksa mengakses air minum secara komersial melalui pembelian dari korporasi swasta, karena tidak ada satu pun perusahaan BUMN yang melakukan usaha bisnis AMDK.

Sudah saatnya, negara hadir kembali untuk melindungi kepentingan rakyat Indonesia dalam menjamin pemenuhan kebutuhan air minum. Negara dapat memaksa kepada Kementerian BUMN untuk menjalankan bisnis AMDK sebagai bentuk implementasi dari Pasal 19 ayat 2 UU No 17 Tahun 2019.

Ada beberapa keuntungan yang diperoleh jika ada perusahaan BUMN yang melakukan usaha bisnis AMDK. Pertama, sebagai bagian dari implementasi UU No 17 tahun 2019.

Dengan adanya perusahaan BUMN yang menjalankan bisnis AMDK berarti amanah yang ada dalam UU tersebut sudah ditunaikan. Jangan terus ada kesan kalau negara abai untuk melindungi kepentingan rakyat dalam pemenuhan kebutuhan air minum yang layak dikonsumsi.

Kedua, kehadiran perusahaan BUMN dalam bisnis AMDK dapat membawa dua tujuan, yakni tujuan komersial dan tujuan sosial. Tujuan komersial dapat dijalankan oleh perusahaan BUMN sebagaimana aktivitas bisnis yang dijalankan oleh korporasi swasta. Selain itu, perusahaan BUMN tersebut juga membawa misi sosial untuk melindungi kepentingan rakyat dalam memenuhi kebutuhan air minumnya.

Ketiga, adanya prediksi konstribusi keuntungan yang akan diberikan perusahaan BUMN yang menjalankan usaha bisnis AMDK. Konstribusi keuntungan tersebut nantinya dapat membantu pemasukan dalam struktur APBN.

Model yang bisa ditawarkan agar terwujudnya perusahaan BUMN yang melakukan bisnis usaha AMDK dapat melalui dua hal, yakni pendirian baru perusahaan BUMN atau melalui akuisisi perusahaan AMDK yang sudah ada.

Tidak ada yang sulit bagi negara jika berkehendak untuk mendirikan perusahaan BUMN baru yang menjalani bisnis AMDK, ataupun melakukan akuisisi perusahaan AMDK yang sudah ada. Dari kedua pilihan tersebut, jika dilihat dari sisi manajemen risiko bisnis, opsi pilihan yang agak ringan dalam memitigasi risiko bisnis AMDK yakni dengan memilih model akuisisi perusahaan AMDK yang sudah ada.

Di samping karena model bisnisnya sudah terbentuk, keuntungan dari proses akuisisi adalah bisa meneruskan atau mengembangkan model bisnis yang sudah ada. (ZM)

 

Penulis adalah Pendiri Sharia Business Intelligence (SBI) dan kandidat doktor hukum ekonomi syariah pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikelnya dimuat Media Indonesia, edisi Kamis 7 Desember 2023, dan bisa diakses di https://mediaindonesia.com/opini/635652/resolusi-tata-kelola-bisnis-air-minum