Relasi Kuasa di Periode Kedua

Relasi Kuasa di Periode Kedua

PEMERINTAHAN Jokowi periode kedua tidak lama akan terbentuk. Setelah memastikan memenangi kontestasi Pemilu Presiden 2019, saat ini Jokowi sedang bersiap menyusun komposisi kabinet untuk pemerintahan lima tahun ke depan. Inilah fase krusial yang menentukan nasib rakyat Indonesia, saat pos-pos kementerian dan lembaga akan diisi oleh orang-orang yang berasal dari ragam kekuatan serta ragam kepentingan. Jokowi pasti sedang berkomunikasi secara intens dengan mitra koalisi yang mengusungnya saat kontestasi, bahkan sangat mungkin juga sedang menjajaki masuknya mitra koalisi baru ke dalam kabinet yang akan dipimpinnya.

Pola Representasi 

Melihat kebiasaan yang sudah-sudah sejak rezim Orde Baru hingga era Jokowi periode pertama, rekrutmen calon menteri selalu mengulang hal yang sama. Ada tiga pola representasi yang menonjol. Pertama , mempertimbangkan representasi geopolitik. Lebih spesifiknya lagi, peta kewilayahan misalnya ada pos menteri yang biasanya diisi oleh orang yang merepresentasikan wilayah timur. Hampir setiap rezim misalnya ada menteri dari Papua atau wilayah timur lainnya.

Kedua, representasi khalayak kunci dalam peta kekuatan politik nyata di Indonesia. Misalnya kekuatan politik Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai dua ormas terbesar di Indonesia. Khalayak kunci lainnya adalah kekuatan militer dan kelompok pengusaha. Komponen khalayak kunci ini selalu ada wakilnya di hampir semua rezim berkuasa. Hal ini dibaca sebagai upaya pengendalian kuasa, terutama melalui simpul-simpul kekuatan yang penting dikuasai atau dikelola secara baik oleh presiden.

Ketiga, proporsionalitas kekuatan partai politik. Biasanya, perolehan suara partai di pemilu legislatif akan menjadi pertimbangan dalam negosiasi berapa jumlah menteri yang didistribusikan dan dialokasikan partai-partai yang turut serta menjadi mitra pembentuk pemerintahan, meskipun hal ini tidak selalu linear dengan kenyataan yang terjadi. Jumlah perolehan suara kursi di DPR tidak selalu menjadi patokan berapa jatah menteri yang didapat. Bisa jadi, negosiasi beralih ke pos-pos kementerian yang dianggap "basah", seperti kementerian-kementerian bidang ekonomi, bidang maritim dan sumber daya alam, atau lembaga dan BUMN. Bahkan posisi Jaksa Agung, Mahkamah Agung pun kerap tak luput dari godaan untuk diisi oleh yang merepresentasikan kekuatan parpol tertentu.Bagi-bagi kekuasaan antarpartai inilah yang biasanya sangat alot dihadapi presiden terpilih saat menyusun kabinet. Hak prerogatif presiden terpilih sering kali direcoki oleh politik "dagang sapi" dalam bagi-bagi jatah kursi menteri.

Hal ini yang sudah semestinya diatasi secara dini oleh Jokowi. Tekanan partai politik harus diatasi Jokowi dengan selalu mengutamakan kepentingan rakyat banyak. Tak salah berkomunikasi dengan banyak kekuatan, tetapi sudah saatnya pola-pola rekrutmen menteri ini out of the box . Keinginan Jokowi agar para menteri di periode kedua menjadi eksekutor yang kuat, cepat, dan tepat, harus dijawab dengan memilih jajaran menteri kabinet yang tidak biasa. Bukan sekumpulan orang yang aristokratis dan elitis. Pilihlah menteri yang sedari awal memang punya dedikasi penuh untuk bekerja optimal lima tahun ke depan menyukseskan beragam keinginan dan kebutuhan pemerintahan Jokowi.

Membentuk kabinet adalah hak prerogatif presiden. Oleh karena itu, Jokowi harus berani mengambil risiko dari situasi ini. Hati-hati memosisikan diri dalam relasi kuasa antar kekuatan, yang sangat mungkin bisa merugikan Jokowi sendiri. Merujuk ke pandangan ilmuwan Paul-Michel Foucault dalam tulisannya Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977 (1980), mengingatkan kita semua bahwa kekuasaan kerap dipahami sebagai kapasitas agen untuk memaksakan kehendaknya atas kehendak yang tidak berdaya, atau kemampuan memaksa orang lain agar melakukan hal-hal yang tidak mereka inginkan. Dalam konteks inilah, kekuasaan diposisikan sebagai kepemilikan.

Menurut Foucault, hal ini merupakan cara pandang yang keliru. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang dapat dimiliki, melainkan suatu cara bertindak dan memanifestasikan diri melalui cara tertentu. Intinya, kekuasaan lebih merupakan strategi dibanding kepemilikan. Oleh karena itu, kekuasaan harus beredar misalnya melalui periode kekuasaan yang dibatasi jangan membentuk kekuasaan yang absolut sehingga menjadi kepemilikan seseorang. Selain itu, kekuasaan juga harus berfungsi dalam bentuk mata rantai atau jaringan. Misalnya birokrasi kabinet yang dipimpin oleh presiden, jika salah satu bagian tidak berfungsi tentu akan merusak bagian-bagian lain dari sistem yang sedang dijalankan.

Berbasis Kebutuhan 

Jokowi sudah menyampaikan pidato visi Indonesia di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor, Minggu (14/7/2019) malam. Isi pesannya mengurai lima poin utama sebagai narasi kepemimpinan Jokowi di periode kedua. Kelima visi tersebut terkait dengan pembangunan infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia, investasi, reformasi struktural dan mindset dalam reformasi birokrasi, terakhir penggunaan APBN yang tepat sasaran. Memang dari visi ini masih banyak yang bolong belum disebutkan oleh Jokowi, misalnya tentang penegakan hukum dan hak asasi manusia, yang juga masih terlihat belum optimal sekali di periode pertamanya.

Mumpung ada kesempatan di periode kedua, Jokowi harus menata ulang secara lebih baik kabinet kerjanya. Dalam relasi kuasa antarkekuatan, Jokowi harus kukuh, tegar, dan benar-benar pro terhadap rakyat, baik dalam memilih orang yang akan mengisi kabinet maupun agenda-agenda kebijakan yang akan dibuatnya lima tahun ke depan. Pada Pemilu 2024, Jokowi tak akan lagi mencalonkan diri. Jadi, Jokowi tak lagi memiliki kepentingan elektoral. Modal kekuatan Jokowi saat ini juga sudah lebih dari memadai untuk memulai kerja pemerintahannya lebih baik dibandingkan saat 2014. Jika di awal periode pertama, relasi kuasa yang terbangun antareksekutif dan legislatif terhambat oleh minimnya dukungan partai pemerintah di DPR, kini situasinya berbeda. Dengan komposisi partai pengusungnya saat ini, Jokowi sudah mengantongi sekitar 61% suara di DPR. Apalagi kalau ditambah masuknya partai-partai lain seperti Gerindra, PA,N dan Demokrat ke dalam koalisi pemerintah.

Secara matematis, Jokowi punya peluang lebih besar untuk mengamankan rencana-rencana strategisnya yang memerlukan dukungan DPR. Namun, sebaiknya Jokowi tidak mengakumulasikan seluruh kekuatan berada di tangannya. Berilah kesempatan beberapa partai untuk mengoptimalkan peran dalam posisi dan sikap politik oposisi atau kekuatan penyeimbang di luar pemerintah. Supaya ada mitra tanding yang siap mengontrol dan menganalisasi kritik publik secara melembaga baik melalui partai politik maupun kekuatan oposisi di DPR. Jika seluruh kekuatan masuk, dan kekuasaan kumulatif di Jokowi, maka hal ini juga rawan godaan antara lain praktik penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi dan otoritarianisme. Kini terbuka lebar kesempatan Jokowi untuk mewujudkan dimensi keadilan yang berbuah kesejahteraan di masyarakat. Salah satu indikator awalnya tentu saja kabinet yang akan dibentuknya. Apakah menteri-menteri yang akan membantu Jokowi memiliki modal sosial, modal profesional, dan modal politik yang memadai. Menjadi menteri di era Jokowi harus mempertimbangkan tiga syarat utama.

Pertama, memiliki integritas diri yang mumpuni. Jangan pilih menteri yang bermasalah secara hukum dan sosial. Memilih orang bermasalah akan membebani Jokowi di kemudian hari. Kedua, punya kepemimpinan dan kemampuan manajerial. Tuntutan menjadi eksekutor yang kuat, cepat, dan tepat bukan sekadar menampung representasi orang partai di kabinet. Ketiga , kemampuan jejaring komunikasi (communication network ) karena menteri sendiri jabatan politis sehingga memerlukan kepiawaian berkomunikasi lintas sektoral.

Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta.

Artikel ini telah dimuat pada kolom Opini, harian SINDO, edisi Sabtu, 20 Juli 2019. (lr