Rektor Tegaskan Kembali Penguatan Tiga Elemen Penting dalam Berdemokrasi

Rektor Tegaskan Kembali Penguatan Tiga Elemen Penting dalam Berdemokrasi

Auditorium, UIN Online – Tiga elemen penting dalam berdemokrasi perlu ditegakkan. Hal itu guna mewujudkan bangsa dan negara yang tertib serta berperadaban. Ketiga elemen itu adalah kebebasan, hukum dan etika.

Penegasan tersebut disampaikan Rektor UIN Jakarta Prof Dr Komaruddin Hidayat saat melepas sarjana baru pada Wisuda Sarjana ke-81 di Auditorium Prof Dr Harun Nasution, Sabtu (16/10). Turut memberi sambutan atas nama wakil alumni dan wisudawan mantan Menteri Pemberdayaan Wanita era Presiden Soeharto, Prof Dr Tutty Alawiyah AS.

“Demokrasi tak ada maknanya tanpa ada kebebasan berserikat dan berekspresi. Begitu pula suatu keyakinan dalam agama, tanpa kebebasan orang beriman tidak tulus jika karena paksaan,” katanya.

Rektor menyatakan, karena kebebasan kondisi sosial politik Indonesia saat ini telah menunjukkan kemajuan luar biasa. Orang bebas mendirikan partai politik (parpol) dan juga kebebasan berekspresi lain. Namun, kelak masyarakat sendiri yang akan menentukan hidup-matinya suatu parpol tersebut.

Kedua, kata Rektor, dalam hal penegakan hukum pemerintah mesti bersikap tegas dan jelas. Sebuah masyarakat, jika hanya menikmati kebebasan dan tidak disertai penegakan hukum yang jelas dan tegas, iklim kebebasan lama-lama akan menghancurkan dirinya. Masyarakat akan terjebak dalam suasana kompetisi tanpa kendali yang berujung pada konflik dan pertempuran.

“Karena itu, sistem demokrasi dalam sebuah negara yang sehat, kebebasan mesti dikawal dan dijaga oleh penegakan hukum,” katanya seraya mencontohkan bahwa dua negara yang selama ini dikenal sebagai kampiun demokrasi seperti Inggris dan Amerika Serikat, hukum justru sangat berwibawa di sana.

Personifikasi hukum di kedua negara tersebut, jelas Rektor, tampil dalam korps kepolisian, kehakiman, dan kejaksaan. Di Indonesia aspek penegakan hukum ini sangat menyedihkan sehingga pilar kebebasan menjadi destruktif, menghancurkan dirinya sendiri dan menggerogoti demokrasi, kecuali jika penegakan hukum yang tegas dan wibawa segera diwujudkan. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dirancang untuk mengawal demokrasi dan reformasi agar hukum tegak, korupsi bisa dikurangi secara drastis sehingga kesejahteraan rakyat terwujud. Tetapi, yang terjadi sungguh menyedihkan.

Sementara elemen ketiga, lanjut dia, masyarakat semestinya mengetahui bahwa etika berpolitk juga sangat penting untuk membangun demokrasi. Jika mengacu pada Pancasila yang menjadi dasar dan ideologi negara, perjalanan berbangsa dan bernegara ini mestinya sudah sampai pada tahapan etika.

“Di atas kebebasan dan penegakan hukum di sana ada etika berpolitik dan berdemokrasi. Ini lebih tinggi derajatnya, merupakan refleksi dan manifestasi sila ketuhanan dan kemanusiaan,” jelas Rektor.

Kalau kebebasan dan hukum untuk memperkokoh semangat kebangsaan dan kerakyatan, etika merupakan pesan ketuhanan dan kemanusiaan. Pada tahap ini orang berdemokrasi dan berpolitik tidak saja berpegang pada kaidah hukum, tetapi juga lebih pada kesadaran dan kepantasan moral (moral decency). Ini sesungguhnya bukan suatu utopia. Di Jepang misalnya seorang pejabat tinggi akan mundur karena pertimbangan moral. Malu ketika gagal melaksanakan tugas, lalu mundur. “Jadi, mereka lebih menghayati sila kemanusiaan,” ungkapnya.

Wisuda sarjana bertema “Penguatan Hukum dan Etika dalam Berdemokrasi” tersebut diikuti 881 peserta, terdiri atas 822 sarjana Program S-1 dari 11 fakultas, 39 sarjana Program S-2 (Magister), 20 sarjana Program S-3 (Doktor), serta seorang Magister Philosophy atau MPhil.

Selain melantik sarjana baru, Rektor juga memberi piagam penghargaan kepada 13 sarjana terbaik yang berpredikat amat baik dan kumlaude, baik dari program S-1 maupun sekolah pascasarjana.(ns)