Ramadhan Tanpa Pelanggaran

Ramadhan Tanpa Pelanggaran

Ramadhan tahun ini, berimpitan dengan agenda politik nasional yakni Pilkada serentak di 171 daerah yang akan digelar selepas lebaran, tepatnya pada 27 Juni 2018. Yang menarik adalah konteks waktu Ramadhan dengan segala jenis ibadah yang menyertainya, hadir di tengah suasana masa kampanye pilkada.  Jadwal kampanye sesuai dengan Peraturan KPU No 2 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan KPU No. 1 Tahun 2017 tentang Tahapan Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota tahun 2018, berlangsung dari 15 Februari hingga 23 Juni 2018. Oleh karenanya, penting mengingatkan semua pihak, terutama para kandidat dan tim sukses serta tim relawannya agar menjaga kesucian dan kekhidmatan Ramadhan tanpa melakukan pelanggaran.

Jika merujuk ke literature komunikasi politik, Michael dan Roxanne Parrot dalam bukunya Persuasive Communication Campaign (1993), mendefinisikan kampanye sebagai proses yang dirancang secara sadar, bertahap, berkelanjutan dan dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan memengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan. Dengan demikian,  salah satu kata kunci penting dalam aktivitas kampanye selain sebagai tindakan persuasif, juga adanya batasan waktu. Makanya, dalam UU Pilkada maupun Peraturan KPU (PKPU) selalu eksplisit dibatasi waktu penyelenggaraannya.

Secara teknis operasional, dalam implementasi Pilkada serentak 2018, kampanye diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 4 Tahun 2017. Dalam peraturan tersebut, disebut tujuan kampanye adalah meningkatkan partisipasi pemilih. Kampanye oleh kandidat atau parpol dapat dilakukan dalam bentuk: pertemuan terbatas, tatap muka atau dialog, pemasangan bahan kampanye, pemasangan alat peraga kampanye, kegiatan lain yang tak melanggar aturan. Di antara metode itu, ada kampanye yang difasilitasi oleh KPU yakni debat publik, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga kampanye, dan iklan di media massa.

Intinya, aktivitas kampanye tidak bisa semena-mena, ada regulasi yang harus ditaati semua pihak. Termasuk, menghormati etika serta keadaban publik. Salah satu yang harus diingatkan selama momentum kampanye pilkada serentak tahun ini adalah kehati-hatian dalam menggunakan tempat ibadah. Jelas dan eksplisit, kampanye di tempat ibadah seperti masjid dan musholla sebagai salah satu yang dilarang dalam UU No.10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan PKPU No.4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pilkada. Selain rumah ibadah, tempat lain yang dilarang adalah rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan,  gedung milik pemerintah; dan lembaga pendidikan (gedung dan sekolah).

Dalam keseharian, nyaris mustahil memisahkan narasi politik dari komunitas umat beragama, termasuk selama bulan Ramadhan. Sebagai bangsa yang mayoritasnya umat Islam, tentu peran dan semangat membincang, bersikap dan melakukan aktivitas politik di masjid, musala atau surau, nyata adanya. Salahkah hal tersebut? Harus kita pilah dan kita sikapi secara cermat dan bijak. Dakwah, pemberian nasihat berbentuk pengajian, dialog, dan forum-forum sejenis lainnya, yang membincang urusan-urusan politik keumatan, tentu boleh-boleh saja! Yang tak boleh adalah kandidat, tim sukses, tim relawan berkampanye, mengajak orang untuk mencoblos salah satu pasangan. Terlebih, kalau memasang alat peraga kampanye, dan berupaya mengkamuflase zakat, infak dan sedekah dengan mencantumkan nama, nomor urut, program atau lebih jauh lagi visi dan misi dan citra diri kandidat. Sehingga, berpotensi mengubah keluhuran ibadah seperti zakat, infak dan sedekah tadi menjadi sebangun dengan tindakan membeli suara (vote buying) dari pemilih melalui teknik pay off ideas.

Tentu saja, kandidat bukanlah orang yang awam peraturan. Rata-rata mereka mengetahui mana yang boleh dan tak boleh dilakukan. Hanya saja, karena kepentingan politik untuk menggapai dua hal yakni suara dan kuasa maka kerapkali mengabaikan aturan, etika dan keadaban berpolitik. Banyak cara mengamankan diri dari peraturan. Misalnya, yang kerap kita jumpai adalah mengubah cara persuasif dari kampanye ke free ride publicity atau publisitas yang memanfaatkan acara atau kegiatan pihak lain. Konsep publisitas biasanya berorientasi pada empat tujuan utama yakni popularitas, penghargaan, niat baik dan pemahaman dari khalayak tujuan.

Selama bulan Ramadhan, rata-rata masjid dipenuhi jamaah. Aktivitas yang menghadirkan warga dalam jumlah banyak merupakan fenomena harian yang sangat lumrah adanya. Momentum ini, kerap dimanfaatkan oleh para kandidat untuk masuk, penetrasi ke simpul-simpul jamaah melakukan persuasi. Ada kandidat yang mendadak rajin ceramah, rajin menggelar pengajian, menggelar baksos, bagi-bagi sedekah, dan bagi-bagi zakat secara massal. Jika tak memenuhi unsur mengajak orang mencoblos, mengkampanyekan visi misi, program kerja dan citra diri kandidat sebagai peserta pemilu, maka Bawaslu tak akan bisa masuk. Teramat sulit mengidentifikasi aktivitas-aktivitas tersebut sebagai bagian dari pelanggaran kampanye.

Yang perlu kita himbau, di luar persoalan ketaatan pada undang-undang dan PKPU, ada tanggungjawab politik para kandidat untuk menjaga marwah Ramadhan sebagai bulan suci yang menenangkan semua kalangan.  Perlu menahan diri, bersikap proporsional dalam menjalankan strategi persuasi ke khalayak. Jangan sampai kampanye ke jamaah di tempat ibadah, membuat polarisasi tajam di kalangan umat akibat perbedaan pilihan.

Banyak hal yang perlu dijaga agar tak dilakukan di tempat ibadah. Muatan ceramah jangan sampai mengandung fitnah, hoaks, ujaran kebencian dan pembunuhan karakter. Kerapkali, karena terkait dengan syahwat melegitimasi dirinya serta mendelegitimasi pihak lawan, kandidat secara sengaja melakukan pelanggaran. Jangan biarkan mimbar-mimbar ceramah, beralih fungsi menjadi panggung kampanye terlebih jika isinya berpotensi menimbulkan kegaduhan dan perpecahan di kalangan umat.

Dalam terminologi dari Kent Greenawalt, Fighting Words: Individuals, Communities, and Liberties of Speech (1996), ujaran kebencian (hate speech) didefinisikan sebagai ucapan dan atau tulisan yang dibuat seseorang di muka umum untuk tujuan menyebar atau menyulut kebencian sebuah kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda baik karena ras, agama keyakinan, gender, etnisitas, kecacatan, dan orientasi seksual. Perbedaan harus disikapi dengan bijak dan mengedepankan dialog bukan memporak-porandakan tatanan hanya karena pilihan.

Kohesi Sosial

Di tengah konstelasi politik yang memanas hingga 2019, penting mengedepankan fatsun politik dan menjaga kohesi sosial. Masyarakat hakikatnya terbagi menjadi tiga tipologi. Pertama, kelompok elite yang intens bersentuhan dengan tindakan dan wacana politik. Tak jarang kelompok ini menjadi significant others atau orang lain yang berpengaruh. Tak jarang, mereka menjadi role model atau figur yang ditiru. Jika kelompok ini menularkan kebencian dan memprovokasi pihak lain yang berbeda, sedikit banyaknya akan ada yang mencontoh. Dalam budaya politik, tipe ini masuk ke dalam budaya politik partisipan.

Tipe kedua adalah publik yang berperhatian (attentive public). Yakni tipe masyarakat yang kerap menjembatani antara elite dengan masyarakat awam. Mereka biasanya sudah mengikuti realitas politik, meski seringkali selintas. Posisi mereka menjadi penting di masyarakat karena seringkali menggambarkan bandul pilihan sikap warga.

Tipe ketiga adalah publik umum (general public), yakni mereka yang awam dan seringkali menjadi pengikut (follower) dari dinamika politik yang dikonstruksi oleh elite maupun attentive public. Meski jumlahnya mayoritas, sesungguhnya peran dan posisi mereka kerapkali dikonstruksi oleh pihak lain melalui ragam instrumen pengondisian prilaku. Budaya politiknya parokial yakni masih sangat bergantung pada figur-figur utama di sekitarnya.

Para kandidat, para tokoh agama, tokoh pemuda dan sejumlah figur lainnya, wajib memiliki agenda bersama membangun harmoni guna menciptakan situasi kondusif. Dari perspektif komunikasi politik, paradoks yang muncul lebih banyak disebabkan faktor gangguan (noise) komunikasi yang berdampak pada hilangnya penghargaan (respect), niat baik (good will), pemahaman bersama (mutual understanding), dan keuntungan bersama (mutual benefit).

Sejumlah faktor berpotensi menjadi gangguan dalam membangun kohesi sosial. Antaralain, karakter negatif dari elite baik kandidat, tokoh masyarakat tokoh agama maupun individu-individu masyarakat biasa. Pengendalian karakter negatif seharusnya menjadi salah satu substansi ajaran berpuasa selama Ramadhan. Oleh karenanya, sangatlah tidak pada tempatnya jika di bulan Ramadhan justeru prilaku kita melanggar etika dan hukum. Faktor lainnya adalah terpaan media massa dan media sosial (media exposure) yang menstimulasi konflik horizontal. Bingkai pemberitaan media arus utama (mainstream) dan lini masa media sosial yang tendensius, penuh bias apalagi penuh kebencian dapat merusak kerukunan umat. Dalam perspektif komunikasi, penting untuk membangun manajemen privasi komunikasi. Mana yang layak dan tak layak dikemukakan di ruang publik. Penting agar semua pihak menjaga konsistensi mengisi Ramadhan tanpa pelanggaran.

Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Artikel ini telah dimuat pada kolom Opini  harian Republika edisi Rabu, 23 Mei 2018 (lrf)