Ramadhan dan Pendidikan Ketaatan

Ramadhan dan Pendidikan Ketaatan

Dr Muhbib Abdul Wahab MA, Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah

Tujuan Allah SWT menciptakan manusia adalah agar beribadah hanya kepada-Nya (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56). Sedangkan tujuan utama ibadah, termasuk puasa Ramadhan, adalah agar menjadi hamba yang bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 21 dan 183). Menjadi hamba bertakwa itu tidak bisa instans, tetapi menghendaki proses perubahan menuju perbaikan kualitas hidup. Proses perubahan menuju aktualisasi diri sebagai hamba bertakwa pada hakikatnya merupakan proses pendidikan. Dengan kata lain, ibadah dalam Islam sarat dengan proses edukasi sepanjang hayat untuk menjadi hamba bertakwa.

Salah satu dimensi pendidikan ibadah adalah pendidikan ketaatan. Esensi ketaatan adalah pengakuan, komitmen, penerimaan, dan kerelaan untuk tunduk dan patuh mengikuti regulasi, aturan (syariah) berbasis keyakinan (akidah) bahwa ibadah itu didesain dan diwajibkan Allah SWT kepada manusia, semata-mata untuk kemaslahatan hidupnya. Harus diyakini pula bahwa tidak ada kewajiban ibadah yang dimaksudkan untuk menyengsarakan, menjerumuskan, apalagi membinasakan manusia.

Realitas empirik menunjukkan bahwa manusia terkadang tidak menyadari tujuan pembumian syariah (maqashid asy-syari’ah), termasuk tujuan ibadah, sehingga berbagai kewajiban syar’i diabaikan, ditinggalkan, tidak diindahkan, bahkan ditolak dan dilawan. Secara teologis, manusia juga kerapkali tidak menyadari posisinya sebagai bagian dari sistem makrokosmos yang didesain oleh Allah begitu indah, teratur, seimbang, dan sempurna.

Oleh karena itu, Allah SWT menunjukkan kepada manusia bahwa makhluk-Nya selain manusia selalu tunduk, bertasbih, dan bersujud kepada-Nya, meskipun manusia tidak memahami ketaatannya. ““Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barang siapa yang dihinakan Allah, maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS al-Hajj [22]: 18). Pertanyaannya, “Mengapa sebagai makhluk terbaik (ahsan taqwim) sebagian manusia tidak tunduk dan taat kepada Allah dengan beribadah kepada-Nya?” Mengapa pula kewajiban syariah, seperti shalat dan puasa Ramadhan, dipandang memberatkan, sehingga tidak ditaati dan dijalankan, padahal sarat nilai kebaikan, kemaslahatan, dan kemuliaan.

Ramadhan: Rejuvinasi dan Rehumanisasi

Ibadah Ramadhan merupakan ibadah tahunan (setiap bulan Ramadhan) yang menggembirakan dan membahagiakan. Betapa tidak? Sepanjang tahun, seseorang boleh jadi terjebak dalam rutinitas dan berada di dalam zona nyaman (comfort zone), sehingga melupakan jatidirinya sebagai makhluk yang perlu “general check up”: fisik, mental, spiritual, dan sosial. Esensi ibadah Ramadhan adalah penyadaran diri terhadap pentingnya merawat diri, mengelola emosi, dan meningkatkan iman dan imun tubuh, agar tetap fresh, sehat, dan memiliki kebugaran fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Oleh karena itu, puasa Ramadhan menyadarkan kembali pentingnya memahami hak-hak fisik, psikis, dan spiritualitas diri. Sebagai ibadah yang esensinya “menahan dan mengelola diri”, puasa tidak hanya berfungsi sebagai rejuvinasi (peremajaan) sel-sel dan fungsi-fungsi tubuh yang terkadang mengalami degradasi medis dan fisiologis, tetapi juga berfungsi sebagai rehumanisasi (pemanusiaan kembali) akan posisi, tugas, dan fungsinya sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.

Puasa mengedukasi para shaimin dan shaimat untuk menerima dan mengaktualisasikan kasih sayang Allah terhadap mereka. Kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya luar biasa besar dan dilimpahkan melalui aneka bentuk dan momentum seperti: bangun  pagi lebih awal, santap sahur, shalat subuh berjamaah, menjalani puasa di siang hari dengan “mengosongkan” perut, mengelola hawa nafsu, shalat dhuha, memperbanyak sedekah, menanti saat-saat indah dan membahagiakan berupa buka puasa, shalat tarawih, bertadarus al-Qur’an, beri’tikaf, membayar zakat fitrah dan zakat harta, dan sebagainya. Semua muatan “kurikulum Ramadhan” adalah untuk keberkahan, kemaslahatan, dan kemanusiaan hamba.

Puasa Ramadhan bukan sekadar formalitas, ritualitas, dan rutinitas “menahan lapar, haus, dan tidak berhubungan suami istri di siang hari” semata. Sebab jika puasa itu sebatas puasa “perut dan di bawah perut”, maka puasa demikian hanyalah puasa fisik, atau dalam terminologi Imam al-Ghazali, shaum al-‘awam, puasa mayoritas orang. Puasa level ini miskin nilai dan boleh jadi gagal tujuan, tidak meningkatkan kualitas takwa, tidak berimplikasi positif terhadap pembentukan karakter positif dan akhlak mulia. Oleh sebab itu, puasa Ramadhan harus dimaknai dan dikerjakan secara totalitas, puasa lahir batin, sebagaimana memohon maaf lahir batin.

Puasa lahir batin sejatinya bermuara kepada rejuvinasi, peremajaan fungsi-fungsi organ tubuh, sehingga setelah “lulus” pendidikan Ramadhan shaimin dan shaimat menjadi lebih sehat, lebih bugar, dan lebih memahami hak-hak tubuh. Pada waktu yang sama, puasa Ramadhan juga idealnya membuahkan rehumanisasi, pemanusiaan kembali, memahmi fitrah kemanusiaannya, setelah terkungkung dalam rutinitas dan formalitas kehidupan yang kurang manusiawi. Misalnya saja, seseorang menjadi semacam “robot” birokrasi, mesin pencari uang, dan tersandera oleh rutinitasnya. Puasa yang humanis itu bersifat liberatif, membebaskan manusia dari segala bentuk “penjajahan hawa nafsu” dan egoisitas diri yang membelenggu.

Dengan kata lain, puasa Ramadhan harus dimaknai dan dipahami sebagai salah satu bentuk kasih sayang Allah. Ramadhan didesain untuk membebaskan hamba dari kekerdilan konsep diri dan dari orientasi duniawi, menuju pemuliaan diri dengan menjadi manusia merdeka yang mencintai Allah dan sesamanya. Puasa Ramadhan melatih dan membiasakan diri untuk menjadi hamba yang taat dan disiplin mengikuti “tasbih kehidupan”, ritme kasih sayang Ilahi, dan orientasi humanisasi. Oleh karena itu, ayat tentang ibadah ibadah puasa dikontekstualisasikan dengan (1) tujuan puasa, menjadi hamba bertakwa, (2) orientasi kebajikan (khair) berbasis ilmu (in kuntum ta’lamun), (3) harapan menjadi hamba yang bersyukur, (4) harapan menjadi orang yang mendapat petunjuk, dan (5) harapan menjadi orang takut kepada Allah (QS al-Baqarah [2]: 183-186).

Pendidikan Ketaatan

Menjadi hamba bertakwa  itu bukan hanya merupakan harapan, tetapi juga dambaan dan cita-cita mulia, karena hamba paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa (QS al-Hujurat [49]: 13). Proses menuju pribadi takwa dapat dilalui melalui pemenuhan rukun Islam, dimulai dengan ikrar dua kalimah syahadat sebagai password keberislaman, ditindaklanjuti dengan shalat lima waktu, berpuasa Ramadhan, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, jika memiliki kemampuan. Pelaksanaan rukun Islam sejatinya hanyalah merupakan kewajiban minimal, karena selain 5 rukun ada masih banyak amalan ibadah sunah yang juga penting dilaksanakan sekaligus menjadi penyempurna proses menjadi pribadi bertakwa.

Integrasi pelaksanaan ibadah wajib dan sunah sejatinya sarat dengan pendidikan ketaatan. Sikap dan respon positif “sami’na wa atha’na” menghendaki istiqamah (konsistensi) karena ujian ketaatan itu terlihat pada seberapa konsisten seorang hamba “menekuni dan merawat” kebiasaan positif dalam beribadah. Dengan kata lain, esensi pendidikan ketaatan adalah proses penyadaran dan penerimaan diri secara positif dalam memaknai, menjalani, dan mengaktualisasi aneka amal ibadah secara tulus dan konsisten.

Inspirasi pendidikan ketaatan itu dapat dipelajari dan dipahami dari semua makhluk Allah yang selalu taat mengikuti sunnatullah secara istiqamah. Matahari terbit di timur dan terbenam di barat, pergantian siang dan malam, presisi perjalanan waktu yang terus bergulir (sehari 24 jam, 1 jam 60 menit, 1 pekan 7 hari, 1 bulan 30 atau 31 hari, 1 tahun 365 hari), silih berganti musim (panas, hujan; panas, gugur, dingin, dan semi), perubahan cuaca, dan sebagainya merupakan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah yang dapat disaksikan, dipikirkan dan ditadabburi. Semua itu berjalan indah, serasi, harmoni, dan tertib karena Allah itu Rabb al-‘Alamin dan karena makhluk-makhluk-Nya itu tunduk dan taat kepada hukum keteraturan yang diciptakan-Nya.

Pendidikan ketaatan sejatinya juga merupakan bagian integral dari eksistensi diri manusia sendiri. “Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS adz-Dzariyat [51]:21). Menurut Wahbah az-Zuhaili, di bumi terdapat tanda-tanda nyata yang menunjukkan kemahaesaan dan kesempurnaan kekuasaan Allah. Tanda-tanda ini berguna bagi orang-orang yang yakin dan  memiliki ilmu, dan pandangan dalam keagungan ciptaan-Nya. Dan juga dalam mewujudkan diri-diri mereka dari yang tidak ada menjadi ada tanpa ada yang mendahului-Nya. Dan itulah tanda-tanda penciptaan dan keselarasan yang menujukkan atas keesaan dan kesempurnaan akan kekuasaan-Nya, tidakkah kalian melihatnya dan menjadikan ketauhidan dan keimanan kepada Allah?!

Mengapa alam raya dan diri manusia diciptakan dan ditundukkan oleh Allah sehingga menunjukkan keserasian, keteraturan, kesempurnaan, dan keindahan? Setiap hari manusia bernafas, detak jantung memompakan darah ke sekujur tubuh tanpa ada yang bisa mengintervensi. Nafas dan aliran darah merupakan salah satu bukti tasbih ketaatan yang sangat nyata pada diri manusia. Jadi, tujuan pendidikan ketaatan sejatinya adalah reinterkoneksi dan reintegrasi diri manusia dengan sistem makrokosmos dan sistem syariah yang ditetapkan oleh Allah kepada makhluk-Nya agar dapat beradaptasi dan mendekatkan diri kepada-Nya, karena manusia mustahil bisa hidup dan menikmati kehidupan tanpa pertolongan dan kasih sayang-Nya. Oleh karena itu, dalam shalat, Mukmin wajib membaca surat al-Fatihah dan terus mengulangi komitmen spiritualnya: “Hanya kepada-Mu kami beribadah; dan hanya kepada-Mu pula kami memohon pertolongan” (QS al-Fatihah [1]: 5)

Shalat juga mencerminkan pendidikan ketaatan yang dahsyat, karena dilaksanakan dengan penuh keteraturan dan keserasian. Takbiratul ihram, membaca doa iftitah, al-Fatihah, surat lain, rukuk, i’tidal, sujud hingga salam dengan gerakan dan bacaan tertentu adalah manifestasi ketaatan formal dan personal yang sangat sempurna. Pendidikan ketaatan dalam menjalankan ibadah diwujudkan dengan keharusan memenuhi syarat dan rukun ibadah itu sendiri. Ketika para ulama fiqh (fuqaha’), seperti Imam Syafi’i, menambahkan “tertib” sebagai salah satu rukun pelaksanaan ibadah, sejatinya keteraturan dan konsistensi prosedural dalam beribadah itu merupakan bentuk pendidikan ketaatan.

Demikian pula, ibadah Ramadhan dengan “paket komplit kurikulumnya” memiliki multidimensi pendidikan ketaatan. Bangun lebih awal untuk santap sahur plus qiyam al-lail mendidik hamba untuk memiliki ketaatan personal dengan memahami prime time (waktu istimewa) untuk bertahajjud, berdoa, beristighfar, dan tentu saja santap sahur yang oleh Nabi SAW dinilai sarat keberkahan. Bangun tidur lebih awal juga menyehatkan, memberi kesempatan untuk memperoleh asupan oksigen paling bersih dan murni, selain melatih diri untuk belajar disiplin waktu, disiplin beribadah, dan disiplin berolah raga.

Selain ketaatan personal, Ramadhan juga mendidik hamba untuk memiliki ketaatan sosial melalui pembiasaan shalat subuh dan shalat lainnya secara berjamaah. Ketaatan sosial ini diwujudkan dengan membangun kesadaran kolektif untuk menjadikan masjid sebagai pusat ibadah, pendidikan dan dakwah, sekaligus pembangunan peradaban berkemajuan. Ketaatan sosial dibina dan dikembangkan selama Ramadhan melalui intensifikasi sedekah, ifthar jama’i (buka puasa beersama), tadarus al-Qur’an, membayar zakat, silaturrahim, dan sebagainya.

Aktualisasi pendidikan ketaatan selama Ramadhan juga tampak jelas dalam ketaatan mental spiritual. Dalam berpuasa Ramadhan terintegrasi tiga kesabaran sekaligus, yaitu kesabaran dalam menaati perintah Allah, kesabaran dalam menjauhi larangan-Nya, dan kesabaran dalam menerima ketetapan-Nya yang dirasa kurang nyaman, seperti haus, lapar, lemas, dan sebagainya. Ramadhan juga sering disebut sebagai sekolah kesabaran dan kejujuran (madrasah ash-shabr wa ash-shidq). Kesabaran merupakan separoh dari puasa itu sendiri, sebab berpuasa tanpa sabar (sabar menahan diri, menahan rasa lapar, haus, dahaga, dan sebagainya) itu tidak mungkin terlaksana dengan baik.

Pendidikan ketaatan melalui latihan sabar dan menahan diri sejatinya tidak hanya dapat meningkatkan pengendalian diri (self control) dan pertahanan mental, seperti tidak mudah marah dan bertindah ceroboh, tetapi juga dapat melejitkan kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi yang diasah dan dibiasakan melalui disiplin waktu, disiplin beribadah, disiplin belajar, disiplin berolah raga, disiplin pola hidup sehat dan bersih, disiplin bekerja, dan sebagainya dapat membentuk karakter positif dan regulasi diri (self regulation) yang tangguh. Karena itu, hamba bertakwa senantiasa berpikir positif dan konstruktif, misalnya: jangankan melakukan korupsi yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah dan melanggar hukum positif, mengonsumsi makanan dan minuman yang halal di siang hari Ramadhan saja bisa dihindari. Regulasi diri pribadi shaimin dan shaimat pada gilirannya akan membentuk kebiasaan positif: disiplin, taat hukum, mengikuti prosedur, menekuni proses dan usaha, tidak mengambil jalan pintas, tidak menghalalkan segala cara, dan sebagainya.

Pendidikan ketaatan dalam madrasah atau universitas Ramadhan dapat terwujud, apabila didahului dan dibarengi dengan proses kognitif: pengenalan, pemahaman, dan pendalaman fikih puasa, ayat-ayat dan hadits-hadits tentang Ramadhan, sirah nabawiyyah terkait dengan ibadah Ramadhan, dan sebagainya. Selama hidupnya, Nabi SAW itu mengalami puasa Ramadhan 9 kali (karena puasa Ramadhan mulai disyariatkan pada tahuan kedua Hijriyah), namun kualitas puasa beliau dan dampak yang ditimbulkannya sungguh patut diteladani dan diaktualisasikan di era modern ini. Melalui proses kognisi (edukasi), siapa pun yang akan memasuki dan menjalani ibadah Ramadhan idealnya melakukan evaluasi diri terkait dengan performa puasa tahun sebelumnya: apa yang masih kurang ideal dan apa yang perlu ditingkatkan dalam puasa Ramadhan tahun ini?

Kesempatan bertemu Ramadhan kembali pada tahun ini harus disyukuri dengan peningkatan kualitas imun, iman, ilmu, dan amal shalih. Ibadah Ramadhan tahun ini harus diniati dan dijalani dengan target, performa, dan hasil/dampak (impact) yang lebih baik daripada puasa tahun-tahun sebelumnya. Pendidikan ketaatan penting dijadikan agenda pemaknaan dan aktualisasi puasa Ramadhan secara totalitas. Tentu saja, berpuasa selama 29 atau 30 hari, apalagi jika disempurnakan dengan puasa 6 hari di bulan Syawwal, merupakan bentuk tarbiyah Ilahiyyah untuk aktualisasi ketaatan sebagai hamba. Hamba yang taat beribadah Ramadhan adalah hamba bertakwa dan beruntung, tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat.

Akhirul kalam, ibadah yang disyariatkan Allah, termasuk puasa Ramadhan, penting disikapi dan dimaknai secara positif; tidak hanya dijadikan sebagai kewajiban syar’i dan kebutuhan ruhani, tetapi juga sebagai kenikmatan spiritual dan gaya hidup sehat. Akibatnya, setiap hamba bukan saja merasakan kerinduan mendalam terhadap datangnya bulan suci Ramadhan, melainkan juga melejitkan harapan dan cita-cita mulia untuk bisa meraih kasih sayang (rahmat), ampunan (maghfirah), dan pembebasan diri dari siksa api neraka. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW: “Siapa berpuasa Ramadhan berbasis iman dan harapan mulia, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa masa lalunya.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Melalui pendidikan ketaatan multidimensi, Ramadhan merupakan madrasah dan universitas yang paling ideal untuk membentuk pribadi bertakwa. Dengan pendidikan ketaatan, pribadi bertakwa tidak hanya menjadi pribadi merdekan dari segala “penjara” hawa nafsu dan orientasi atau kesenangan duniawi yang menipu (mata’ al-ghurur), tetapi juga menjadi pribadi sehat lahir batin, kuat dan bermanfaat bagi bangsa dan umat manusia.

Sumber: MAJALAH TABLIGH EDISI NO. 4/XIX RAMADHAN 1442H/APRIL 2021 M. (mf)