Ramadhan dan Pendidikan Kesehatan

Ramadhan dan Pendidikan Kesehatan

Tidak lama lagi Ramadhan menghampiri umat Islam. Ramadhan tahun ini diselimuti keprihatinan dan ketakutan akibat merebaknya wabah virus corona (Covid-19). Virus China –karena bermula dari Wuhan China—telah menjangkiti lebih dari 193 dari 197 negara anggota PBB, dan membuat warga bumi ini merasa “terancam atau terteror” oleh penularan dan persebarannya yang tergolong cepat dan massif.

Bagaimana memaknai Ramadhan sebagai bulan pendidikan, khusus pendidikan kesehatan, agar para shâimîn (Mukmin yang berpuasa) setelah Ramadhan umat Islam menjadi lebih sehat? Nilai-nilai pendidikan apakah yang dapat dibiasakan dan dikembangkan selama menjadi ibadah puasa di bulan Ramadhan? Bagaimana pola hidup bersih dan sehat selama berpuasa Ramadhan dijadikan sebagai strategi preventif dalam membentengi diri dan menangkal persebaran Covid-19?

Tujuan Pendidikan Ramadhan

Ramadhan merupakan bulan suci penuh kemuliaan, keberkahan, dan ampunan. Di bulan Ramadhan, al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya. Di dalam bulan ini terdapat satu malam yang nilai kemuliaan dan kebaikannya lebih baik daripada seribu bulan (84 tahun). Sebagai sebuah universitas, Ramadhan menawarkan sistem pendidikan multidimensi dan multinilai. Salah satunya adalah pendidikan kesehatan, baik kesehatan jasmani maupun kesehatan rohani, termasuk kesehatan mental spiritual, moral, dan sosial.           

Tujuan pensyariatan atau pewajiban puasa Ramadhan adalah pembentukan Mukmin menjadi orang yang bertakwa kepada Allah SWT. Karena itu, kewajiban berpuasa Ramadhan itu ditujukan kepada orang beriman (ya ayyuha al-ladzîna âmanu!). Orang beriman pasti  memiliki keyakinan kuat bahwa syariat shiyâm Ramadhan itu merupakan panggilan ketaatan dari Allah dan dipercaya memberi nilai kebaikan.

Tujuan berpuasa Ramadhan sejatinya pararel dengan tujuan beribadah pada umumnya, yaitu membentuk dan membuahkan pribadi takwa. “Hai umat manusia, beribadahlah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (QS al-Baqarah [2]: 21). Apa hubungan ibadah dengan takwa? Orang yang beribadah, termasuk berpuasa, adalah orang yang mempunyai iman, meyakini kebenaran perintah Allah, sehingga dalam dirinya tertanam rasa takut melanggar perintah-Nya, sekaligus takut azab-Nya apabila melawan atau mendurhkai syariat-Nya.

Takwa yang dihasilkan melalui proses pendidikan Ramadhan bukan sekadar takut biasa, seperti takutnya manusia kepada binatang buas dan berbisa, yaitu takut yang diresponi dengan menghindar atau menjauh dari sumber yang ditakuti. Takwa hasil puasa itu sebaliknya, diresponi dengan semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Berpuasa membuahkan takwa dinamis, konstuktif, dan progresif. Karena takut kepada Allah, maka jangankan menjauhi yang haram, menjauhi dan berpantang terhadap yang halal, seperti makan, minum, dan berhubungan suami-istri yang sah dan halal pun dijalani, karena hal ini merupakan bagian dari ketakwaan kepada Allah SWT.

Tujuan mulia pendidikan Ramadhan tersebut menghasilkan  pribadi yang memiliki pertahanan diri dan ketahanan mental yang kokoh. Orang yang berpuasa karena iman dan mengharap ridha Allah SWT pasti tahan terhadap godaan hawa nafsu, godaan setan, dan kenikmatan duniawi. Pendidikan Ramadhan yang sejati pasti menghasilkan pribadi pejuang (mujahid) yang tidak akan pernah menyerah melawan aneka godaan,  selalu tahan dan tangguh menghadapi ujian kehidupan. Hasil didikan Ramadhan adalah pribadi pejuang kebenaran yang ulet, pantang mundur, dan sabar. Karena puasa itu sendiri, setengahnya adalah latihan kesabaran dalam menahan diri dan menghadapi aneka yang membatalkan puasa.

Pendidikan Kesehatan

Orang yang berpuasa Ramadhan idealnya memiliki pertahanan diri (self defance) yang kokoh, sehingga  menjadi pribadi yang sehat jasmani dan rohani. Hadis Nabi SAW bahwa “Puasa itu perisai atau benteng pertahanan mental spiritual yang dapat menjauhkan kita dari aneka perilaku sia-sia dan kontra produktif” (HR al-Bukhari dan Muslim) menunjukkan bahwa puasa itu menyehatkan. Puasa itu sarat dengan nilai-nilai positif dan dimensi pendidikan kesehatan.

Pertanyaannya, “Bagaimana pendidikan kesehatan itu dikembangkan dan diimplementasikan kepada orang yang puasa Ramadhan?” Beberapa  artikel menegaskan bahwa puasa Ramadhan itu merupakan ibadah fisik dan psikis (mental, spiritual, moral dan sosial) yang sarat dengan kemukjizatan. Dalam artikelnya, “al-I’jâz al-‘Ilmî fi ash-Shiyâm”, Rabi’ asy-Syaikh (2018) menegaskan bahwa selain merupakan ibadah, puasa Ramadhan merupakan pemeliharaan kesehatan fisik tahunan, terapi, dan obat dari Allah SWT.

Pendidikan kesehatan yang terintegrasi dalam prosesi ibadah puasa Ramadhan menarik dicermati, dimaknai, diyakini, lalu diamalkan dengan sebaik-baiknya. Ramadhan mendidik kita bangun lebih awal, setidak-tidaknya untuk mengamalkan sunah santap sahur. Pembiasaan bangun lebih awal itu sarat dengan nilai pendidikan. Dari segi kesehatan fisik, bangun lebih awal itu ternyata membuat badan lebih bugar, sirkulasi darah menjadi lebih lancar, dan kuota oksigen paling bersih dan murni di saat sahur itu menjadi asupan badan kita. Bayangkan, jika manusia itu tidak mendapatkan suplay oksigen paling bersih dan murni –yang hanya didapat saat sahur— dipastikan akan mudah pusing, migrain, vertigo, dan kurang bugar.

Bangun tidur lebih awal mendorong kita juga tidur dan beristirahat lebih awal. Dengan membiasakan bangun lebih awal, terutama di waktu istimewa, sepertiga terakhir (antara pukul 02.00 hingga adzan Subuh), orang yang berpuasa itu mendapatkan “kuota doa keberkahan” yang pernah dipanjatkan oleh Nabi SAW kepada umatnya: “Ya Allah berkahi umatku pada pagi harinya.” (HR Abu Dawud, Turmudzi, Ibn Majah, dan Ahmad). Doa Nabi SAW untuk keberkahan umatnya di waktu pagi hari menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan itu sangat penting dikembangkan dan diaktualisasikan melalui manajemen waktu dan disiplin waktu secara baik dan benar.

Keberkahan pagi hari itu sejurus dengan keberkahan yang dijanjikan oleh Nabi SAW bagi orang yang melakukan santap sahur. “Bersantap sahurlah, karena dalam santap sahur itu terdapat keberkahan.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Keberkahan yang disantap di waktu sahur menunjukkan pendidikan kesehatan akan pentingnya memberikan asupan gizi yang cukup dalam mengawali aktivitas hidup. Meskipun sedikit atau hanya seteguk air, santap sahur itu memberikan daya tahan tubuh dan semangat yang prima dalam menjalani puasa seharian.

Yang tidak kalah penting dari tiga poin penting terkait dengan “keberkahan pagi hari” tersebut adalah kuatnya sinyal spiritual waktu seperti malam terakhir sebagai waktu premium untuk beristighfar, bermunajat, berdoa, dan bercengkrama dengan Allah SWT. Karena, menurut sabda Nabi SAW, “Tuhan Kami, Allah tabâraka wa ta’âla turun ke langit dunia saat sepertiga malam terakhir masih tersisa”, lalu Allah berkata: “Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan responi doanya. Siapa yang meminta-Ku, maka Aku akan penuhi permintaannya. Dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, maka Aku akan ampuni dosanya, hingga terbit fajar.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Dalam konteks ini, pendidikan kesehatan spiritual menjadi sangat penting sebagai fondasi pendidikan kesehatan fisik.

Bangun pagi, menghirup oksigen waktu sahur, santap sahur, mendapat “kuato doa keberkahan” dan berada dalam waktu superistimewa untuk berkomunikasi langsung dengan Allah melalui doa, dzikir, dan istighfar merupakan menu pendidikan kesehatan integratif: kesehatan fisik dan mental spiritual.

Niat berpuasa yang suci dan tulus ikhlas di malam hari juga merupakan “asupan gizi spiritual” yang membuat orang yang berpuasa sehat jiwanya, tegar mentalitasnya, dan kuat perjuangannya dalam mengendalikan diri: tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan suami-istri di siang hari, dan tidak melanggar hal-hal yang membatalkan puasa. Pendidikan kesehatan yang dapat diaktualisasikan melalui niat dan prosesi puasa sejak adzan Subuh hingga waktu Maghrib adalah pendidikan holistik integratif. Karena puasa totolitas atau puasa holistik: puasa perut, puasa di bawah perut, puasa pancaindera, puasa anggota badan, puasa pikiran, dan puasa hati diyakini dapat membuahkan pendidikan kesehatan holistik integratif pula.

Pendidikan kesehatan dalam puasa Ramadhan itu berbasis ilmu, dilandasi pengetahuan dan kesadaran tentang pentingnya nilai kebaikan dari ibadah Ramadhan. Karena itu, Allah berfirman: “Engkau berpuasa itu lebih baik, jika kamu berilmu.” (QS al-Baqarah [2]: 184). Orientasi mulia puasa Ramadhan yang ditegaskan al-Qur’an adalah orientasi kebaikan (al-khairiyyah). Setidaknya ada tiga kata khair diulang di ayat yang sama: “Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya.” (QS al-Baqarah [2]: 184). Kebaikan hati dan diri adalah pangkal kesehatan. Bersuka rela berbuat kebaikan dan berpuasa berbasis ilmu merupakan kebaikan yang meniscayakan kesehatan holistik.

Puasa Ramadhan yang dijalani Nabi SAW mengajarkan pentingnya merawat kesehatan jantung dengan mengurangi makan dan minum secara proporsional. Saat puasa Ramadhan, idealnya dilakukan pengurangan hingga 50% porsi makan dan minum dari hari-hari biasa (umumnya tiga kali makan sehari). Nabi SAW menganjurkan mengurangi porsi santap sahur agar tidak membuat percernaan bekerja terlalu berat di pagi hari, sehingga menyebabkan rasa kantuk dan malas shalat subuh berjamaah.

Pembiasaan bangun pagi dan santap sahur lebih sedikit, serta di siang hari organ pencernaan “beristirahat dari tugas hariannya” memberikan dampak positif pada kesehatan jantung. Jantung diberi haknya untuk “beristirahat”. Relaksasi jantung itu, menurut medis, hanya terjadi saat orang berpuasa, baik Ramadhan maupun puasa sunah. Saat berpuasa, jantung berdetak 60 kali/menit, sementara ketika tidak berpuasa, jantung berdetak 72 kali/menit. Artinya, selama berpuasa Ramadhan (29-30 hari), jantung merasakan relaksasinya dengan pengurangan 270.000 detak. Dengan kata lain, Ramadhan mendidik orang berpuasa menjaga kesehatan jantungnya, sehingga sangat jarang ditemukan adanya kasus serangan jantung pada saat orang berpuasa Ramadhan.

Selain itu, pendidikan kesehatan dalam ibadah Ramadhan juga diaktualisasikan dengan detosifikasi “sampah dan racun” dalam tubuh yang menumpuk dan menjadi benih timbulnya berbagai penyakit akibat makanan dan minuman tidak sehat yang dikonsumsi di luar Ramadhan, seperti: zat pengawet, pewarna, lemak jenuh, gula buatan, dan sebagainya. Riset menunjukkan bahwa air yang diminum selama tidak puasa sepanjang 11 bulan mencapai 200 kg yang mengandung logam berat, oksidan, dan racun yang membayakan kesehatan pencernaan, kolestrol jahat, diabetes, dan penyakit degeneratif lainnya. Dengan berpuasa Ramadhan selama kurang lebih 13-14 jam setiap hari, badan melakukan “pembersihan” dan detoksifikasi, dengan mengeluarkan racun dalam tubuh, terutama saat membuang air seni (urin) dan mengambil “cadangan lemak” yang berada di lipatan bagian-bagian anggota tubuh untuk diolah dan dibakar sebagai asupan ketika badan memerlukannya. Dengan kata lain, pendidikan kesehatan puasa Ramadhan itu sangat potensial membersihkan diri dari segala penyakit, dengan syarat buka puasanya tidak berlebihan dan melakukan “balas dendam” atas nama kelaparan di siang hari.

Menurut Abdul Jawad ash-Shawi, dalam bukunya, al-Shiyam Mu’jizah ‘Ilmiyyah, proses detosifikasi kotoran, sisa-sisa makanan, sampah dan racun dalam tubuh selama berpuasa Ramadhan ternyata berdampak positif terhadap rejuvinasi (peremajaan) sel-sel saraf dan sel lainnya yang selama ini mulai mati dan kurang berfungsi. Dampak ikutan dari peremajaan sel itu adalah perbaikan sel-sel kulit, sehingga mata dan wajah orang berpuasa tampak lebih muda dan bugar.

Pendidikan kesehatan dari ibadah Ramadhan, secara ilmiah, juga terbukti pada peningkatan daya tahan tubuh (imunitas), akibat dari detoksifikasi dan peremajaan sel-sel tubuh tersebut. Riset membuktikan bahwa selama puasa Ramadhan, imunitas tubuh terhadap serangan penyakit itu meningkat hingga 10 kali lipat, dibandingkan saat tidak berpuasa di luar Ramadhan. Jika daya tahan tubuh meningkat, maka kinerja dan produktivitas orang berpuasa mestinya juga meningkat. Sejarah membuktikan bahwa puasa Ramadhan tidak menjadi halangan bagi umat Islam untuk meraih prestasi spektakuler. Kemenangan demi kemenangan pernah diraih umat Islam justeru di bulan Ramadhan, yaitu kemenangan Perang Badar, Fathu Makkah (pembebasan kota Mekkah), perang Tabuk, pembebasan Spanyol, dan kemerdekaan RI (17 Ramadhan, 17 Agustus 1945).

Ramadhan: Menyehatkan dan Membahagiakan

Ramadhan merupakan bulan penuh harapan dan kebahagiaan, karena puasa Ramadhan memberikan pendidikan holistik dengan nilai-nilai positif, keutamaan dan kebiasaan baik pada diri orang yang berpuasa. Puasa menanamkan nilai kesabaran, keuletan, keyakinan diri, dan ketahanan menahan rasa lapar, haus dan dahaga dengan tidak makan, tidak minum, tidak merokok, tidak berhubungan suami istri, dan aneka yang membatalkan puasa.

Sebagai bulan ketaatan dengan tidak melanggar aturan main dalam berpuasa selama sebulan penuh dapat membangkitkan rasa ridha, bahagia, aman, nyaman dan ketenangan jiwa yang mendalam. Oleh karena itu, mengapa orang berpuasa itu dijanjikan oleh Nabi SAW mendapatkan dua kegembiraan (gembira tanda bahagia) sekaligus, yaitu bahagia saat berbuka dan bahagia saat bertemu dengan (melihat langsung) Tuhannya? Secara medis, saat menunggu kumandang adzan maghrib tiba (karena tidak lama lagi tubuh diberikan haknya untuk makan dan minum), tubuh memproduksi hormon endorfin (hormon bahagia) yang dapat memberikan energi positif untuk merasakan nikmatnya berbuka setelah menahan rasa lapar dan dahaga. Selain mengurangi efek buruk dari stres dan rasa sakit, hormon endorfin juga dapat menambah nafsu makan dan meningkatkan respons kekebalan tubuh.

Nikmatnya berbuka bisa meningkatkan rasa bahagia manakala orang berpuasa mampu berbagi rezeki dalam bentuk takjil: minuman dan/atau makanan, atau keduanya kepada orang lain, karena ketika berbagi energi negatif dalam tubuh dibuang, sehingga memberi peluang menguatkan enegri positif. Energi positif iman, sedekah, senyum bahagia, dan amal shalih lainnya dipastikan dapat menambahkan imunitas dan kebahagiaan. Dengan kata lain, puasa dan ibadah Ramadhan itu menyehatkan dan membahagiakan. Karena itu, orang berpuasa perlu meningkatkan tadarus Alquran dan tadurus keilmuannya secara integratif agar dapat mempertahankan kualitas kesehatan dan kebahagiaannya.

Puasa Ramadhan mendidik shâimîn dan shâimât untuk menjadi manusia sehat dan bahagia. Manusia sehat itu adalah manusia yang tidak dikuasai oleh emosi dan hawa nafsunya. Manusia sehat dan bahagia itu adalah manusia yang mampu mengendalikan dirinya sendiri, dengan membudayakan pola hidup bersih dan sehat, jasmani maupun rohani. Dengan kata lain, secara psikologis, shâimîn dan shâimât selalu memiliki energi positif, berpikir positif, bersikap objektif, dan berkeshalehan produktif, progresif, dan transformatif. Inilah esensi pendidikan kesehatan yang dapat diaktualisasikan dalam puasa Ramadhan.

Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan kewaspadaan dan ketahanan fisik dan mental spiritual untuk “jihad melawan" virus corona, virus Cina yang mendunia, melatih diri puasa sunah prapuasa Ramadhan menjadi sangat penting. Dengan berbekal iman, ilmu, dan amal shaleh, terutama sedekah (sebagai aksi preventif, terapi, dan penolak bala), puasa Ramadhan dan puasa sunah itu merupakan sistem ajaran dan nilai Ilahi yang sarat dengan pendidikan kesehatan, agar dengannya manusia beriman menjadi sehat dan bahagia. Bukankah tidak ada yang melebihi nikmatnya sehat dan bahagia? Namun, puasa yang menyehatkan dan membahagiakan itu harus dilandasi iman, ilmu, amal shaleh, dan akhlak mulia. Selamat menunaikan ibadah Ramadhan, semoga kita semua menjadi hamba-Nya yang bertakwa: sehat dan bahagia!

Dr Muhbib Abdul Wahab MAg, Ketua Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Majalah Tabligh, No. 4/XVIII April 2020. (zm/mf)