Radikalisme dan Pendidikan Multikultural

Radikalisme dan Pendidikan Multikultural

Umat Islam Indonesia adalah teladan dalam hal toleransi, demokrasi, dan kerukunan antar umat beragama. Muslim bisa hidup berdampingan dengan pemeluk agama lainnya dengan penuh damai dan saling membantu satu sama lainnya. Rumah ibadah nonmuslim bisa berdiri berdampingan dengan masjid. Tidak ada masalah. Bertahun-tahun bahkan ratusan tahun mereka bisa hidup damai dalam kebhinekaan.

Dalam survei Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia (RI) yang melibatkan 7.140 responden yang tersebar di 34 Propinsi melibatkan 46 peneliti, 476 pembantu peneliti dan 3 orang spot checker, diperoleh Indeks Kerukunan Umat Beragama di Indonesia Tahun ini (2017—pen.) berada pada angka 72.27. Angka indeks ini diperoleh dari tiga indikator yaitu toleransi (70,91), kesetaraan (72,38), dan kerjasama (73,51) dengan beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain pendidikan, pendapatan, partisipasi sosial, pengetahuan terhadap peraturan serta wawasan kemajemukan (Zat, 2018: 4).

Mayoritas umat muslim Indonesia adalah toleran, penuh kasih sayang, dan cinta damai. Sedikit saja umat muslim yang radikal dan intoleran. Nonmuslim pun banyak yang radikal dan intoleran. Akan tetapi, bukan seberapa besar intoleransi umat muslim, tapi bahaya dampak pemikiran tersebut terhadap kedamaian, keamanan, dan kesatuan NKRI.

Temuan dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta (2017) mengonfirmasi bahwa siswa dan mahasiswa terpapar radikalisme. Sekitar 58% memiliki opini radikal, 51,1% opini intoleransi di kalangan internal muslim, dan 34,4% beropini intoleransi di kalangan eksternal muslim (Abdallah, 2018: 6). Tugas utama pendidikan adalah mencegah penyebaran radikalisme dan dampak pemahaman keliru tersebut bagi perdamaian dan keamanan bangsa ini.

Paham keagamaan seseorang dipengaruhi oleh pendidikan formal dan nonformal. Dengan kata lain, paham keagamaan seseorang dipengaruhi oleh buku, guru PAI, pesantren, dai, khatib, guru ngaji/ ustadz, dan internet. Masalahnya, tidak semua hal ini membawa pesan kedamaian, kesejukan, kasih sayang, dan persatuan. Sebaliknya, ia bisa menyulut perpecahan, tumpah darah, dan kebencian antar umat beragam, antar sesama warga Indonesia.

Pertama, buku PAI mengandung muatan radikalisme dan intoleransi. Materi bernuansa radikal ditemukan di buku PAI dan BP kelas 11 tingkat SMA di halaman 170. Buku itu merupakan buku paket Kurikulum 2013 yang dikirimkan dari Kemendikbud. Materinya menuliskan profil dan ajaran tokoh Islam garis keras Muhammad bin Abdul Wahab. Salah satu pendapatnya yaitu boleh membunuh orang yang tak menyembah Allah SWT (Kurniawan, 2015: 2-3).

Selain buku mapel PAI, buku keagamaan juga mengandung muatan intoleransi dan radikalisme. Hal ini bertentangan dengan tujuan PAI, yaitu pembentukan karakter siswa yang saleh secara sosial dan spiritual. Artinya, PAI diharapkan melahirkan manusia yang bisa menerima perbedaan agama, suku, dan pilihan politik, sehingga tercipta kehidupan yang aman, tenteram, damai, dan harmonis.

Hal diatas terjadi karena disengaja atau tidak disengaja oleh penulisnya. Karena itu, penulisan buku PAI harus diberi waktu yang cukup. Tidak tergesa-gesa atau mepet waktunya. Demikian pula koreksi dan penilaian buku PAI harus cukup waktu, dan dinilai oleh pakar PAI, dosen dan guru senior. Penulis buku PAI harus ahli di bidang tersebut. Buku PAI yang digunakan sekolah negeri dan swasta dinilai muatannya, baik yang diterbitkan pemerintah maupun swasta. Demikian juga muatan buku-buku keagamaan yang dijual di pasaran diperiksa secara berkala dan random sampling. Kecuali badan pemerintah, guru-guru di sekolah bisa memeriksan muatan buku agama yang dipakainya.

Penerbitan buku-buku keagamaan yang menampilkan wajah Islam moderat, toleransi, cinta damai, kasih sayang, rahmatan lil ‘alamin, bisa menjadi solusi alternatif. Upaya deradikalisasi juga dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT). Selain berdialog dengan napi teroris (napiter), BNPT telah menerbitkan buku-buku kontra radikalisme. Beberapa judul di antaranya: Tagut di Persimpangan Makna, Jihad Berjumpa Bidadari, dan Mengurai Benang Kusut Takfiri.

Kedua, guru PAI terpapar paham radikal dan intoleran. Dalam survei PPIM yang mengambil sampel 2.237 guru Muslim. Mereka terdiri dari guru TK, Raudatul Athfal, SD, Madrasah Ibtidaiyah (MI), SMP, Madrasah Tsanawiyah (MTS), SMA, dan Madrasah Aliyah (MA) di Indonesia. Dari jumlah tersebut, PPIM menemukan sebanyak 10,01 persen guru Muslim punya opini sangat intoleran secara implisit dan 53,06 persen memiliki opini yang intoleran secara implisit. Selain itu, 6,03 persen guru Muslim memiliki opini sangat intoleran dan 50,87 persen guru memiliki opini intoleran secara eksplisit (Tim CNN Indonesia, 2018: 3-4).

Pencegahan guru radikal bisa dilakukan saat proses perekrutan guru baru, dan pendataan guru dalam jabatan. Pemerintah, kepala sekolah, dan yayasan harus menilai paham keagamaan guru PAI dan lainnya saat perekrutan guru baru. Dibuat standar perekrutan guru agama yang toleran dan bebas radikalisme.

Guru PAI dalam jabatan yang terbukti berpaham radikal harus dievaluasi. Paham mereka diluruskan melalui pelatihan dan seminar. Jika mereka menolak menerima Islam yang toleran dan moderat, harus diberi sanksi sesuai hukum yang berlaku. Guru PAI swasta dan honorer yang berpaham intoleran perlu dibimbing. Jika mereka menolak berubah dan bimbingan, maka bisa diganti dengan guru yang lainnya.

Kecuali itu, guru PAI dan guru-guru mapel lainnya yang terindikasi berpaham intoleran harus segera dibina. Tahapan pembinaannya sama dengan yang di atas. Masjid sekolah dan Rohis adalah tempat yang bisa dijadikan penyebaran paham keagamaan tertentu. Kepala sekolah perlu mengevaluasi muatan kajian keagamaan di tempat-tempat tersebut.

Ketiga, sebagian kecil pesantren terbukti mengajarkan Islam radikal. Menurut data BNPT, ada lebih dari sepuluh pesantren di Indonesia terindikasi radikal. Pesantren tersebut berada di beberapa daerah Jawa dan Luar Jawa (Muhyiddin, 2017: 1).

Pesantren kini dihadapkan pada tantangan multikulturalisme yang telah menjadi kenyataan sosial. Pendidikan pesantren sebagai media pembebasan umat dihadapkan pada tantangan bagaimana mengembangkan teologi multikultural sehingga di dalam masyarakat pesantren akan tumbuh pemahaman yang inklusif untuk harmonisasi agama-agama, budaya dan etnik di tengah kehidupan masyarakat (Kasdi, 2012: 220).

Sudah saatnya dibentuk Badan Akreditasi Pesantren (BAP). Asesor pesantren hanya mendatangi dan menilai muatan kurikulum dan paham keagamaan ustadz dan kiyai yang terindikasi intoleran, radikal, anti pancasila, dan anti NKRI. BAP bisa memanfaatkan data hasil-hasil riset yang dilakukan pemerintah, kampus, organisasi masyarakat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pesantren apa dan dimana sudah teridentivikasi. Kementerian Agama dan BNPT (?) juga memiliki data pesantren yang sudah seharusnya terpisahkan berdasarkan kategori toleran dan intoleran.

Pesantren yang menolak pembinaan, dan bergeming dengan anti pancasila, radikal, dan intoleran dilarang beroperasi. Izin pendirian pesantren memerhatikan profil kiyai, kurikulum, kitab-kitab, dan para ustadznya. Masyarakat didorong aktif memberikan informasi ke pemerintah jika menemukan kejanggalan dalam praktik dan pengajaran di pesantren tertentu.

Keempat, dai, khatib, dan ustadz, pengisi pengajian generasi muda dan tua ada yang beraliran radikal dan intoleran. Materi dakwah dan pengajian mereka menebarkan kebencian, menghujat, tendensius, dan menggunakan diksi yang kasar. Khatib Jumat sering memberikan materi khutbah yang tidak mengajak umat pada kebaikan tetapi menyudutkan kelompok tertentu.

Takmir masjid seharusnya tidak mengundang ustadz semacam di atas. Apalagi masjid di kantor-kantor pemerintah, dan kampus-kampus Perguruan Tinggi Negeri. Mereka berkewajiban menampilkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Islam yang penuh kasih sayang, Islam yang damai, dan Islam yang toleran. Islam yang bersatu dengan pemerintah dan pemerintah daerah dalam membangun negeri ini untuk kemajuan umat.

Aparat harus tegas memproses secara hukum dai-dai yang menebar kebencian dan fitnah kepada kelompok tertentu atau pemerintah yang sah. Ustadz boleh memberi masukan atau kritik kepada pemerintah atau kelompok tertentu tetapi harus menggunakan Bahasa yang sopan dan tidak provokatif.

Pengurangan sikap-sikap prasangka, pengurangan penggunaan stereotipe, meminimalkan kesalahan komunikasi dan mengambil kesempatan untuk berinteraksi dengan orang-orang yang “berbeda” merupakan upaya menanamkan nilai-nilai moral dalam pemahaman keberagaman (Kusmaryani, 2006: 55).

Kelima, paham radikal dan intoleran juga disebarkan melalui internet. Banyak tulisan yang langsung dan tidak langsung mengandung paham radikal, dan intoleran, anti pancasila, dan anti NKRI. Survei BNPT menunjukkan aktivitas keagamaan masyarakat Indonesia masuk kategori tinggi dengan skor 77,73. Namun bekal keagamaan masyarakat tergolong rendah, yaitu 25,82. Survei menunjukkan responden mencari konten agama melalui media sosial itu kategorinya tinggi 61,23 (Alfons, 2018: 2 dan 7).

Pemerintah harus menghapus laman-laman yang terbukti mengandung konten tersebut. Pengelolanya diperiksa, dan diluruskan pemahamannya. Perlu dibentuk tempat khusus untuk pencucian otak orang-orang yang terpapar paham radikal dan intoleran. Hal ini untuk mencegah terjadinya teror bom, pencurian atas nama agama, dan lahirnya generasi garis keras.

Pendidikan Multikultural

Pendidikan memiliki peran strategis dalam menangkal radikalisme di kalangan generasi muda. Sekolah dan madrasah harus mempraktikkan dan membiasakan pendidikan multikultural. Siswa dan guru dibiasakan menerima, menghargai, dan bangga dengan perbedaan agama, suku, bahasa, dan pemahaman. Mereka melihat kebhinekaan sebagai potensi dan kekuatan untuk melahirkan mutu masyarakat, bukan sumber pemicu konflik, perpecahan, dan masalah.

Pendidikan multikultural adalah sebuah bentuk pendidikan yang menerapkan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan ras (Mania, 2010: 81).

Pendidikan multikultural memiliki cita-cita ideal, yaitu terwujudnya perdamaian, keadilan, dan persaudaraan sosial, anti konflik, kekerasan, dan diskriminatif (Ibrahim, 2008: 125). Dalam dunia multikultural harus mementingkan adanya berbagai macam perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya dan ada interaksi sosial di antara mereka. Para multikulturalis memfokuskan pada pemahaman dan hidup bersama dalam konteks sosial budaya yang berbeda (Fay, 1998: 3-4).

Pendidikan multikultural merupakan tujuan utama dari pembelajaran seumur hidup (Pay, 1990: 109). Setiap manusia pembelajar akan dan seharusnya bisa menerima perbedaan sebagai hal yang alami dan sunnatullah. Dia akan sampai pada kesimpulan bahwa setiap perbedaan apa pun itu harus diterima dan disikapi dengan akal jernih dan hati yang lapang.

Kepala sekolah, kepala madrasah, dan pimpinan pendidikan tinggi memiliki peran strategis dalam mewujudkan pendidikan multikultural. Bisa dinyatakan secara eksplisit atau tidak di lembaga pendidikan. Terpenting bagaimana praktik saling menghargai perbedaan, bekerjsama, hidup rukun dan damai terjaga dan terlaksana di lingkungan pendidikan. Jika di lingkungan pendidikan saja kita tidak bisa menghargai perbedaan, maka bagaimana kita bisa hidup damai di lingkungan masyarakat yang majemuk atau bhineka.

Pendidikan multikultural harus dikenalkan sejak pendidikan anak usia dini. Pembentukan sikap menghargai perbedaan harus ditanam sejak usia belia agar kelak mereka terbiasa hidup menerima perbedaan, bahkan bisa menolak gerakan radikal dan intoleran. Pendidikan multikultural bukan saja akan melahirkan manusia yang bisa menerima perbedaan dengan tulus, tetapi memberi mereka kemampuan dan keberanian untuk menolak gerakan radikal dan intoleran.

Kesimpulan Terorisme, radikalisme, intoleran, dan kebencian atas nama agama adalah fakta, bukan imajinasi dan hoax. Karena itu, upaya pencegahan atau deradikalisasi harus dilakukan sedini mungkin, secepat-cepatnya, dan melibatkan pemerintah dan masyarakat. Radikalisme tidak identik dengan muslim. Nonmuslim juga banyak yang tidak toleran.

Paham keagamaan seseorang dipengaruhi oleh lingkungan dan bahan bacaan. Penetrasi paham radikal dan intoleran bisa dicegah melalui pembenahan buku, guru PAI, pesantren, dai, khatib, guru ngaji/ ustadz, dan internet yang mengandung dan menyebarkan radikalisme. Pesan Islam damai, sejuk, cinta, dan moderat harus disampaikan secara berkesinambungan melalui ceramah, buku, dan seminar.

Pendidikan multikultural bisa mencegah lahirnya generasi yang radikal dan intoleran. Pembiasaan menerima perbedaan dan pemahaman tentang kebhinekaan akan melahirkan generasi yang bisa hidup damai dan saling menghargai meskipun berbeda agama, suku, bahasa, dan pilihan politik.

Paham radikal dan intoleran tidak kondusif untuk pembangunan Negara-bangsa menjadi komunitas yang unggul dalam pengetahuan, politik, ekonomi, dan keamanan diatas nilai-nilai Islam yang ada dalam Alquran dan hadits.

Referensi

Abdallah. “Radikalisme dan Quo Vadis Pendidikan Agama”, dalamhttp://mediaindonesia.com/…/163363-radikalisme-dan-quo-vadi…, diunduh pada 6 Desember 2018. Alfons, Matius. “BNPT: Cari Konten Agama Lewat Medsos Rawan Terpapar Radikalisme”, dalam https://news.detik.com/…/bnpt-cari-konten-agama-lewat-medso…, diunduh pada 6 Desember 2018. Amirin, Tatang M. 2012. “Implementasi Pendekatan Pendidikan Multikultural Kontekstual Berbasis Kearifan Lokal di Indonesia,” dalam Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, h. 1-16. Fay, Brian. 1998. Contemporary Philosophy of Social Science: A Multikultural Approach. Massachussets: Blank Well Publisher Ltd. Ibrahim, Ruslan. 2008. “Pendidikan Multikultural: Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era Pluralitas Agama,” dalam Jurnal Pendidikan Islam El-Tarbawi, h. 115-125. Kurniawan, Andy. “Buku PAI Bermuatan Radikal Ditemukan di SMAN 1 Karanganyar”, dalam http://news.metrotvnews.com/…/buku-pai-bermuatan-radikal-di…, diunduh pada 6 Desember 2018. Kusmaryani, Rosita Endang. 2006. “Pendidikan Multikultural Sebagai Alternatif Penanaman Nilai Moral Dalam Keberagaman,” dalam Jurnal Paradigma, h. 49-56. Kasdi, Abdurrahman. 2012. “Pendidikan Multikultural di Pesantren: Membangun Kesadaran Keberagaman yang Inklusif,” dalam Jurnal Addin Media Dialektika Ilmu Islam, h. 211-222. Mania, Sitti. 2010. “Implementasi Pendidikan Multikultural Dalam Pembelajaran,” dalam Jurnal Lentera Pendidikan, h. 78-91. Muhyiddin. “BNPT: Lebih dari 10 Pesantren Terindikasi Radikal”, dalamhttps://www.republika.co.id/…/oxc4fj396-bnpt-lebih-dari-10-…, diunduh pada 6 Desember 2018. Pay, Young. 1990. Cultural Foundations of Education. USA: Merril Publishing Company. Tim CNN Indonesia. “Survei: Guru Muslim Punya Opini Intoleran dan Radikal Tinggi”, dalam https://www.cnnindonesia.com/…/survei-guru-muslim-punya-opi…, diunduh pada 6 Desember 2018. Zat. “Hasil Survei Kerukunan Umat Beragama Tahun 2017 Menunjukkan Adanya Penurunan, Tapi Masih Aman”, dalam http://www.iain-surakarta.ac.id/?p=12032, diunduh 6 Desember 2018.

Dr Jejen Musfah MA, Ketua Prodi Magister Pendidikan Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Seminar Nasional, Pendidikan Agama dan Tantangan Radikalisme, Jakarta, 7-8 Desember 2018, Kerjasama Puslitbang Penda dan Keagamaan dengan Cerdev UIN Syarif Hidayatullah. (lrf/mf)