Quo Vadis RUU Pemilu

Quo Vadis RUU Pemilu

Adi Prayitno

PEMBAHASAN RUU Penyelenggaraan Pemilu akhirnya selesai dibahas di tingkat pansus. Ada tiga hasil penting yang telah disepakati pemerintah dan DPR. Satu di antaranya membawa lima paket isu krusial RUU Pemilu ke sidang paripurna pada Kamis, 20 Juli, untuk diambil keputusan. Dalam lima paket isu yang ditawarkan, semua fraksi setuju soal sistem pemilu harus terbuka. Hanya, perbedaan signifikan terlihat pada poin ambang batas syarat pencapresan (presidential threshold ) , ambang batas perolehan suara parlemen (parliamentary threshold ) , alokasi kursi per dapil, dan metode konversi suara. Sejak awal konfigurasi kekuatan politik di Senayan terbelah menyikapi isu krusial ini. Apakah ambang batas minimum syarat pencapresan 20-25%, 10-15%, atau tanpa ambang batas (0%). Sementara usulan soal ambang batas parlementer ada perbedaan mencolok, masih stabil di kisaran 3,5%, 4%, dan atau 5%.

Sedangkan soal metode konversi suara menawarkan dua alternatif yakni quota hare atau saint lague  murni. Begitu pun tentang alokasi kursi per dapil, opsinya di seputar 3-10% atau 3-8%. Tak ada perbedaan yang sangat menonjol. Publik berharap lima paket isu yang akan dibawa ke sidang paripurna DPR menjadi titik kompromi akhir RUU Pemilu yang dramatis. Sebab, jika masih terjadi deadlock , usulan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk kembali ke UU Pemilu lama Nomor 8/2012 tentang Pemilu bisa jadi kenyataan. Bukan hanya langkah mundur, UU Penyelenggaraan Pemilu lama juga tak mengatur keserentakan pemilu seperti putusan Mahkamah Konstitusi. Belum lagi soal ketidakmungkinan menganulir sejumlah poin penting yang sudah ditetapkan Pansus RUU Pemilu. Betapa mubazirnya waktu, anggaran, dan tenaga jika akhirnya Pemilu 2019 dipaksa mengacu pada UU Pemilu lama. Karena itu, tak ada alasan untuk tidak menyepakati lima paket isu krusial tersebut. Kuncinya adalah political will  untuk menyudahi tarik ulur politik dengan mekanisme voting terbuka di DPR. Ini solusi cerdas ketimbang kembali pada UU Pemilu sebelumnya.

Sandera  Presidential Threshold  Jika ditilik secara seksama tiap rangkaian proses pembahasan RUU Pemilu, satu-satunya isu krusial yang menjadi poin "harga mati" ialah soal ambang batas syarat pencapresan. Fraksi-fraksi di DPR terbelah ekstrem yang berujung deadlock.

Sejumlah parpol berafiliasi pemerintah seperti PDIP, Golkar, dan NasDem ngotot  ambang batas presiden di kisaran 20-25%. Argumennya, bagaimana melahirkan presiden dengan sokongan mayoritas suara di parlemen. Itu artinya, hanya parpol besar yang memiliki karpet merah mengusung capres.

Namun, pada spektrum lain terendus aroma tak sedap di balik ke-ngotot -an fraksi pemerintah tersebut. Satu di antaranya soal ada upaya membatasi kemunculan capres alternatif dari parpol menengah ke bawah. Pilpres 2004 cukup menjadi pengalaman pahit parpol besar karena calon yang diusung keok melawan Susilo Bambang Yudhoyono. Realitas historis ini tak ingin terulang pada Pemilu 2019.

Parpol pendukung pemerintah lain yakni PKB, PAN, Hanura, dan PPP memilih jalan lain, mengusulkan besaran presidential threshold  diturunkan 10-15%. Usulan yang juga disokong parpol oposisi Gerinda dan PKS. Opsi ini dinilai jalan tengah, lebih moderat karena capres yang muncul akan lebih sederhana. Pecah kongsi parpol koalisi pemerintah pun tak terhindarkan.

Sementara Partai Demokrat bergeming agar ambang batas pencapresan dihapus atau 0%. Dengan demikian, Demokrat berharap bisa mengusung capres dan cawapres sendiri tanpa perlu berkoalisi. Apalagi, jika mengacu hasil Rakernas Demokrat di Mataram, NTB, beberapa waktu lalu yang mengharuskan mereka mengusung capres sendiri.

Polemik ambang batas syarat pencapresan ini yang sesungguhnya menjadi sandera politik pembahasan RUU Pemilu. Sementara empat isu lain relatif bisa diterima setiap fraksi karena tak terlalu berpengaruh signifikan terhadap masa depan politik mereka. Tapi, soal presidential threshold , semua fraksi beradu keras, bahkan rela "berkelahi" untuk menggolkan tawaran masing-masing. Jika melihat konfigurasi kekuatan politik di Senayan, sepertinya akan terjadi voting head to head  antara parpol pendukung pemerintah yang menyokong ambang batas pencapresan 20-25% dengan kubu penyokong 10-15% yang dapat amunisi tambahan dari PKS dan Gerindra. Sebab, Demokrat cenderung tetap bermain solo di opsi zero threshold . Di atas kertas, jika dilakukan voting, kekuatan fraksi penyokong pemerintah dipastikan kalah. Meski begitu, pemerintah masih bisa menggunakan tangan dingin kekuasaan "memaksa" parpol koalisi yang berseberangan mengalihkan dukungan. Jika tidak, gosip rombak kabinet yang liar berkembang belakangan ini bisa menjadi kenyataan. Tak Relevan  Siapa pun pemenang voting dalam paket lima isu krusial RUU Pemilu, nanti dihadapkan pada pertanyaan mendasar soal ambang pencapresan tersebut mengacu pada hasil pileg tahun berapa? Sebab, Pileg dan Pilpres 2019 bakal diselenggarakan secara bersamaan. Mengacu pada keserentakan Pemilu 2019, tentu tak relevan membicarakan ambang batas pencapresan karena pileg dan pilpres diselenggarakan berbarengan. Sementara jika mengacu Pemilu 2014, ini merupakan langkah mundur, bahkan berpotensi inkonstitusional karena klausul Pemilu 2014 tak mengatur keserentakan pemilu. Pada titik inilah kemudian menjadi penting untuk dijelaskan kepada publik  bahwa presidential threshold  mengacu pada hasil pileg periode kapan? Padahal, jika menggunakan nalar rasionalitas sederhana, putusan Mahkamah Konstitusi soal keserentakan pemilu meniscayakan penghapusan ambang batas. Jika begitu adanya, publik bertanya mau dibawa ke mana arah RUU Pemilu yang masih dalam polemik. Serba tak jelas, simpang siur, dan tak menentu. Belum lagi soal kritik RUU Pemilu yang tak menyentuh hal substansial berkaitan dengan upaya meningkatkan kualitas pemilu seperti melawan politik uang, intimidasi berbasis isu primordial, netralitas birokrasi, tingkat partisipasi, dan seterusnya. Padahal, ilmuwan politik tak ada hentinya mengingatkan urgensi menciptakan pemilu berkualitas, bukan malah terjebak pada persoalan teknis prosedural semata. Pemilu bukan melulu soal bagaimana memenangkan kontestasi elektoral, namun lebih pada bagaimana membangun demokrasi yang lebih ajek dan berkualitas. Josepth A Schumpeter dalam Capitalism, Socialism, and Democracy  tegas mengatakan demokrasi bukan semata prosedur yang direduksi sebatas persaingan elektoral. Namun, yang paling penting bagaimana menciptakan demokrasi yang lebih substansial dengan mengedepankan budaya demokrasi, partisipasi bukan mobilisasi, jujur, adil, dan transparan. Karena itu, cukup wajar jika akhirnya publik bertanya urgensi RUU Pemilu yang dalam banyak hal memang tak terlalu substansial, tak relevan, bahkan membingungkan. Justru yang lebih mengemuka ialah hasrat terus melanggengkan kekuasaan, bukan memberikan pendidikan politik berkualitas bagi rakyat. (Farah NH/zm)

Penulis adalah Dosen Politik FISIP UIN Jakarta dan Peneliti The Political Literacy Institute. Artikel dimuat Koran SINDO, Selasa, 18 Juli 2017.