Quo Vadis Bela Negara

Quo Vadis Bela Negara

Oleh: Iding Rosyidin

[caption id="attachment_7716" align="alignleft" width="300"]Iding Rosyidin Iding Rosyidin[/caption]

Rencana Kementerian Pertahanan (Kemenhan RI) Republik Indonesia untuk menerapkan kebijakan bela negara bagi warga negara Indonesia kini menjadi sorotan luas. Pasalnya, program yang dimaksudkan untuk mempertebal wawasan kebangsaan dan rasa cinta tanah air di kalangan rakyat Indonesia itu tampaknya mendapatkan resistensi dari sejumlah pihak. Mereka khawatir atas kemungkinan bergesernya kebijakan itu ke arah pembungkaman suara-suara kritis dari publik. Pertanyaan paling mendasar terkait dengan program bela negara tersebut adalah sejauh mana signifikansinya terhadap pembentukan karakter warga negara Indonesia yang diharapkan: taat, berdisiplin, dan sejensinya? Ataukah justru program itu malah akan membentuk karakter-karakter militeristik yang kaku, textbook, dan sebagainya? Nasionalisme luntur? Salah satu alasan Kemenhan untuk menerapkan kebijakan bela negara adalah kian lunturnya nasionalisme atau rasa cinta tanah air di kalangan warga negara Indonesia. Hal ini, misalnya, terlihat dari kegandrungan mereka terhadap kebudayaan dan berbagai ornamennya yang berasal dari negara-negara luar, terutama Barat. Hampir semua sendi kehidupan masyarakat di negeri ini telah dikuasai oleh Barat.

Jika alasan semakin dominannya kebudayaan luar memang masuk akal. Namun, hal itu tidak berarti bahwa nasionalisme masyarakat Indonesia secara otomatis menipis bahkan luntur. Dalam konteks dunia global seperti sekarang pergumulan budaya secara internasional agaknya sulit dihindari oleh semua orang. Yang terpenting adalah bagaimana kita tetap mampu bertahan dengan identitas sendiri di tengah gempuran kebudayaan lain tersebut.

Selain itu, tampaknya kita perlu membuat ukuran-ukuran baru terhadap nasionalisme di zaman sekarang sehingga pemerintah tidak mudah menuduh nasionalisme seseorang luntur. Misalnya, ketika ada orang Indonesia yang punya prestasi cemerlang, tetapi lebih memilih bekerja di luar negeri daripada di dalam negeri, bagi sebagian kalangan dianggap tidak nasionalis. Padahal, justru kehadirannya di luar negeri memberinya peluang besar untuk mengharumkan nama bangsa.

Demikian pula dengan program bela negara. Apakah seseorang yang, misalnya, jarang mengikuti upacara atau kegiatan-kegiatan seremonial kenegaraan lainnya secara otomatis dianggap tidak memiliki nasionalisme? Padahal, boleh jadi, orang-orang tersebut lebih memilih mengekspresikan rasa nasionalismenya dalam bentuk yang lebih substansial, seperti kontribusi pemikiran-pemikiran yang konstruktif bagi pembangunan negara dan bangsa Indonesia.

Dengan demikian, pemerintah, dalam hal ini Kemenhan, perlu berhati-hati dalam melayangkan tuduhan atas menipis atau lunturnya nasionalisme masyarakat Indonesia saat ini. Perlu ada parameter yang jelas dan logis untuk mengidentifikasi siapa yang sesungguhnya tidak nasionalis atau tidak mempunyai rasa cinta tanah air. Jebakan ritualisme Program bela negara yang lebih ditekankan pada kegiatan-kegiatan seremonial atau ritualistik seperti penyelenggaraan training-training yang bersifat kemiliteran belum tentu akan berdampak pada pembentukan karakter yang kuat. Kedisiplinan yang dibentuk pada saat training tersebut ternyata tidak terbawa ke dalam kehidupan di lingkungan pekerjaan mereka.

Pada zaman Orde Baru, misalnya, pemerintah mewajibkan kegiatan prajabatan bagi para calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang berbau militeristik. Mereka dilatih baris-berbaris, tata cara upacara, wawasan kebangsaan, dan semacamnya langsung oleh militer sendiri. Tetapi, ternyata mentalitas para calon abdi negara tersebut tetap rendah saat mereka benar-benar telah memasuki dunia kerja. Kedisiplinan yang dibentuk pada saat prajabatan seolah tidak ada artinya sama sekali.

Justru akibat yang paling terasa dari program prajabatan yang berbau militeristik tersebut adalah kian tumpulnya daya kritis para calon abdi negara itu. Mereka dijejali berbagai materi yang terkait wawasan kebangsaan dan kenegaraan, tetapi dengan cara indoktrinatif. Tidak ada dialog kritis atau perdebatan sengit yang berlangsung antara tutor dan peserta. Kalaupun ada satu atau dua orang peserta yang hendak bertanya secara kritis, biasanya langsung dibungkam dan ditandai oleh panitia.

Bila program bela negara yang dicanangkan Kemenhan di atas lebih berorientasi pada kegiatan-kegiata seremonial dan ritualistik serta pemateri atau tutornya dari kalangan militer, hasilnya tidak akan jauh dari program seperti prajabatan. Alih-alih dapat meningkatkan dan mempertebal wawasan kebangsaan dan rasa cinta tanah air masyarakat, justru yang terjadi adalah keengganan mereka untuk mengikuti program tersebut. Apalagi, anak-anak zaman sekarang sulit diajak untuk mengikuti kegiatan-kegiatan semacam itu.

Oleh karena itu, kalau memang pemerintah tetap ingin menerapkan program bela negara, sebaiknya pemerintah menghindari kegiatan-kegiatan seremonial dan ritualistik. Yang mesti dirancang adalah acara-acara yang bersifat dialogis sehingga peningkatan wawasan kebangsaan masyarakat diperoleh dari hasil pemahaman yang mendalam melalui dialog tersebut, bukan karena indoktrinasi. Namun, jika pemerintah pada akhirnya terjebak dalam kegiatan ritualistik, program bela negara tidak akan mendapatkan dukungan publik. Penulis adalah Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tulisan dimuat dalam kolom Opini Republika, Senin 19 Oktober 2015.